Kekhawatiran aparatur sipil negara tidak menyurutkan pemerintah untuk merampingkan birokrasi. Penataan birokrasi besar-besaran tak bisa ditunda lagi karena termasuk program prioritas untuk meningkatkan pelayanan publik.
Oleh
Anita Yossihara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekhawatiran aparatur sipil negara tidak menyurutkan pemerintah untuk merampingkan birokrasi. Penataan birokrasi secara besar-besaran tak bisa ditunda lagi karena termasuk program prioritas untuk meningkatkan pelayanan publik dan mempermudah investasi.
Untuk mematangkan rencana itu, Selasa (19/11/2019), Presiden Joko Widodo kembali memanggil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo ke Istana Merdeka, Jakarta. Dalam pertemuan tertutup itu Presiden memberikan arahan tambahan terkait visi-misi serta skala prioritas reformasi birokrasi.
Seusai pertemuan, Tjahjo menjelaskan, sebenarnya reformasi birokrasi sudah dilakukan sejak lama. Namun, selama ini reformasi birokrasi baru dilakukan di permukaan, belum masuk ke ranah yang lebih substansial.
”(Reformasi birokrasi) sekarang sudah jalan, tapi kebanyakan hanya di kulit. Yang diinginkan Beliau (Presiden), reformasi birokrasi sampai ke jantungnya. Ini yang Beliau ingin cepat karena menyangkut skala prioritas,” tutur Tjahjo menjelaskan.
Reformasi birokrasi akan dilakukan dari hulu ke hilir. Penataan dimulai dengan perbaikan mekanisme perekrutan calon pegawai negeri sipil (PNS). Salah satunya dengan tidak lagi merekrut calon PNS untuk tenaga administrasi, baik di pusat maupun daerah.
Langkah terpenting yang berkali-kali diingatkan Presiden adalah memperbaiki manajemen kinerja dan perampingan organisasi pemerintahan. Untuk keperluan itu, pemerintah akan mengurangi eselon yang biasanya bisa sampai lima eselon menjadi dua saja, yakni eselon I dan II.
”Dalam visi-misi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, termasuk kemarin dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), intinya adalah memangkas rutinitas, memangkas rentang jalur birokrasi,” kata Tjahjo.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menjelaskan bahwa perampingan birokrasi dilakukan untuk membangun sistem tata kelola pemerintahan yang profesional. Selain efektif, birokrasi yang ramping juga diyakini dapat mendorong efisiensi dalam pemberian pelayanan pubik. Proses perizinan, terutama untuk investasi, juga akan lebih cepat.
”Jadi, izin yang selama ini harus diparaf eselon IV, eselon III, kenapa tidak langsung eselon II saja? Lalu eselon II memerintahkan di bawahnya untuk segera memproses,” katanya.
Tak ada pencopotan
Tjahjo juga menegaskan bahwa perampingan itu bukan berarti akan ada aparatur sipil negara (ASN) yang dicopot. Pemerintah tetap akan mempekerjakan 4,2 juta ASN dari pusat hingga daerah. Hanya saja, sebanyak 1,6 juta dari 4,2 juta ASN tenaga administrasi yang selama ini merangkap menjadi tenaga kesehatan dan tenaga pendidikan akan dikurangi, diseleksi, dan dididik.
Pejabat eselon yang dirampingkan juga tidak akan terkena dampak. Mereka hanya akan diberikan tugas dan pekerjaan fungsional. ”Camat, kepala desa, dirjen, direktur, kasubdit tetap, tapi mereka melakukan tugas-tugas fungsional,” kata Tjahjo.
Meski begitu, Tjahjo memastikan bahwa gaji yang diterima ASN tetap sama sesuai dengan pangkat dan golongan saat ini. Selain itu, ASN juga tetap akan diberikan tunjangan kinerja.
Menanggapi rencana perampingan organisasi kepegawaian itu, anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, M Arwani Thomafi, meminta agar pemerintah berhati-hati. Jangan sampai kebijakan itu malah menimbulkan keresahan di kalangan ASN, dan berpengaruh terhadap pelayanan publik.
”Kenapa rawan ada keresahan? Karena jumlah eselon III dan IV cukup besar, eselon III sebesar 98.947 dan eselon IV 327.771,” tuturnya.
Tak hanya itu, pemerintah juga harus memastikan pemindahan ASN dari jabatan struktural ke jabatan fungsional benar-benar dihitung secara saksama. Tak hanya dari sisi anggaran, tetapi juga dari aspek nonteknis lainnya.
DPR berharap pemangkasan jabatan struktural ASN benar-benar diarahkan pada semangat reformasi birokrasi, yang menjadi salah satu agenda penting dalam reformasi 20 tahun lalu.
Bertahap
Pakar kebijakan publik Universitas Indonesia (UI), Lina Miftahul Jannah, berpendapat, upaya pemerintah merampingkan birokrasi merupakan langkah yang positif mengingat selama ini jenjang birokrasi terlalu banyak.
Pemindahan posisi struktural eselon III dan IV menjadi fungsional juga sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang lebih menitikberatkan kompetensi sebagai basis penempatan pegawai.
Akan tetapi, persiapan yang dilakukan pemerintah harus benar-benar matang. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memetakan pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah. ”Pemetaannya harus matang, apa saja pekerjaan yang dibutuhkan,” katanya.
Selain itu, penting pula mendefinisikan ulang pemangkasan karena struktur organisasi pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota berbeda. Pemangkasan eselon III dan IV akan menyulitkan pemerintah kabupaten/kota karena pejabat tertinggi adalah eselon II, yakni sekretaris daerah (sekda). Jika eselon III dan IV dipangkas, semua pegawai di bawah sekda merupakan tenaga fungsional.
”Pertanyaannya, apakah sekda sendiri sebagai eselon lalu di bawahnya fungsional? Apakah nanti tidak ada persoalan pertanggungjawaban? Itulah mengapa perlu didefinisikan ulang,” ujar Lina.
Lina mengusulkan, jika perampingan tetap dilakukan, pertama kali harus dilakukan oleh pemerintah pusat. Setelah perampingan semua kementerian/lembaga selesai, barulah beralih ke provinsi, kemudian yang terakhir di kabupaten/kota.