Pengambilan Air Bawah Tanah Percepat Laju Penurunan Muka Tanah
Kota Pekalongan, Jawa Tengah, belum bisa melepaskan ketergantungan terhadap pengambilan air bawah tanah. Padahal, pengambilan air bawah tanah termasuk salah satu penyebab terbesar penurunan muka tanah di kota itu.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
PEKALONGAN, KOMPAS — Kota Pekalongan, Jawa Tengah, belum bisa melepaskan ketergantungan terhadap pengambilan air bawah tanah. Padahal, pengambilan air bawah tanah termasuk salah satu penyebab terbesar penurunan muka tanah di Kota Pekalongan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti geodesi dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, pada 2018, laju penurunan muka tanah di Kota Pekalongan 8-20 sentimeter per tahun. Heri mencatat, dari 2007 hingga 2017, Kota Pekalongan sudah mengalami penurunan muka tanah sekitar 85 cm.
Kalau mau penurunan tanah berhenti atau minimal melambat, pengambilan air bawah tanah harus dihentikan.
Menurut Heri, penurunan muka tanah disebabkan pemadatan tanah, aktivitas tektonik, beban berat bangunan, dan pengeboran air bawah tanah. Dari beberapa penyebab tersebut, pengeboran air bawah tanah memiliki andil terbesar dalam percepatan penurunan muka tanah di Kota Pekalongan. Akibat pengambilan air bawah tanah, muka tanah di Kota Pekalongan bisa turun 13-18 cm per tahun.
”Kalau mau penurunan tanah berhenti atau minimal melambat, pengambilan air bawah tanah harus dihentikan,” kata Heri saat dihubungi pada Rabu (20/11/2019).
Secara terpisah, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Pekalongan Anita Heru Kusumorini mengatakan, hingga saat ini, pengurangan jumlah sumur bawah tanah belum dilakukan. Sebab, Pemerintah Kota Pekalongan belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan air bersih di Kota Pekalongan.
Kendati belum bisa menghentikan aktivitas pengambilan air tanah, Pemerintah Kota Pekalongan sudah berupaya menghentikan pemberian rekomendasi atas pengajuan izin baru pengambilan air bawah tanah. Di beberapa kesempatan, Pemerintah Kota Pekalongan juga melakukan operasi terhadap sumur air bawah tanah yang tidak berizin. Hal ini dilakukan dalam rangka mengontrol pengambilan air bawah tanah.
”Tahun ini sampai dengan semester I tahun 2020 kemungkinan Kota Pekalongan masih akan banyak bergantung pada sumur bawah tanah. Nanti setelah pembangunan sambungan rumah dari Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional Petanglong jadi, insya Allahkami bisa beralih secara bertahap,” ujar Anita.
SPAM Regional Petanglong yang dibangun dengan kapasitas 850 liter per detik itu diharapkan bisa memenuhi kebutuhan air minum di Kabupaten Pekalongan sebanyak 200 liter per detik, Kabupaten Batang 250 liter per detik, dan Kota Pekalongan 400 liter per detik.
Proyek itu ditargetkan selesai pada 2019. Namun, hingga saat ini, progres pembangunan baru sampai pada pembangunan jaringan distribusi. Adapun pemasangan sambungan rumah diperkirakan selesai pada 2020.
Rob kian parah
Tingginya laju penurunan muka tanah di Kota Pekalongan berdampak pada semakin parahnya rob yang melanda Kota Pekalongan. Posisi daratan yang menurun membuat air laut lebih mudah masuk ke daratan.
”Rencana tata ruang wilayah harus benar-benar dijalankan. Ketika sebuah tempat dianggap tidak layak dijadikan tempat tinggal karena tergenang rob, relokasi perlu dilakukan,” ucap Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Pekalongan Suseno.
Menurut Suseno, beberapa daerah di pesisir utara Kota Pekalongan yang ketinggian tanahnya lebih rendah dari laut, khususnya Kecamatan Pekalongan Utara, tergenang rob. Setiap hari, warga di daerah tersebut harus berhadapan dengan rob. Jalan-jalan sudah diuruk dan rumah-rumah milik warga sudah berulang kali ditinggikan. Namun, rob masih terus melanda.
Mutiati (33), warga Padukuhan Kraton, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, berujar, sudah tiga tahun belakangan dirinya hidup dibayang-bayangi rob. Mutiati yang sudah lebih dari lima kali meninggikan rumahnya tersebut merasa putus asa.
”Saya sudah pasrah hidup di tengah-tengah ancaman rob seperti ini. Sebab, mau pindah juga rasanya tidak bisa karena kami tidak punya biaya,” ujarnya.
Warga lain, Kholidin (40), berharap, dirinya dan keluarganya bisa mendapat bantuan untuk relokasi. Sebab, tinggal di lingkungan yang terendam rob membuat kesehatan anaknya terganggu. Selain menderita gatal-gatal, anak Kholidin juga mudah terserang diare.