Pesantren Ramah Anak untuk Lindungi Anak dari Kekerasan dan Radikalisme
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengembangkan Pesantren Ramah Anak sebagai solusi perlindungan anak dari kekerasan dan radikalisme.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengembangkan Pesantren Ramah Anak sebagai solusi perlindungan anak dari kekerasan dan radikalisme. Selain untuk menanamkan nilai agama yang moderat, karakter, dan moral kepada santri, pengembangan pesantren ramah anak dilakukan karena kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga terjadi di lingkungan pesantren.
”Pengembangan pesantren ramah anak karena besarnya jumlah pesantren secara nasional di Indonesia. Data terakhir dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama, jumlah pesantren di Indonesia sekarang ini sekitar 50.000,” ujar Dodi Mohamad Hidayat, Kepala Bidang Partisipasi Organisasi Keagamaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), pada acara Halaqoh Perlindungan Anak dengan tema ”Peran Tokoh Agama dalam Membangun Budaya Perlindungan Anak untuk mewujudkan SDM Unggul”, Rabu (20/11/2019), di Jakarta.
Pada acara yang diselenggarakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan dihadiri pimpinan pesantren se-Jabodetabek tersebut, Dodi mengatakan pentingnya pemerintah mengembangkan Pesantren Ramah Anak (PRA). Hal ini karena melihat besarnya partisipasi santri di pesantren, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pengembangan PRA, selain untuk menghargai hak-hak anak di pesantren menjadi adab keseharian, juga bertujuan agar anak dapat merasa terlindungi dan menyenangkan berada di pesantren. Tak hanya itu, PRA dikembangkan agar tercipta nilai ta’aruf (kenal-mengenal), tarahum (saling menyayangi) bagaimana diajarkan cinta kasih, kemudian ta’awun (tolong-menolong), tawashu (saling menasihati), tasamuh (toleransi), tawazun (kesetaraan), ta’adul (saling bersikap adil), dan mengajarkan tawasuth (moderat).
”Ini yang terpenting. Pesantren mengajarkan tawasuth, mengajarkan nilai-nilai moderat. Jadi, tidak ada pesantren yang mengajarkan radikalisme, terorisme. Pesantren yang sejatinya mengajarkan nilai-nilai luhur, nilai-nilai Islam yang penuh kelembutan,” ujar Dodi. Dia mengatakan, nilai toleransi bukanlah hal yang baru di lingkungan pesantren.
Pesantren mengajarkan tawasuth, mengajarkan nilai-nilai moderat. Jadi, tidak ada pesantren yang mengajarkan radikalisme, terorisme.
Adapun konsep PRA, kata Dodi, sebagai upaya dalam mewujudkan pesantren yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif, serta nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi, dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki, termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus. ”Jadi, dengan kata lain, Pesantren Ramah Anak membuat santrinya betah di pesantren,” katanya.
Sejauh ini PRA sudah dikembangkan di tujuh provinsi, yakni Jawa Tengah (Ponpes Alhamdulillah, Rembang), Jawa Barat (Ponpes Darul Muttaqien, Bogor), Sulawesi Selatan (Ponpes Nahdhatul Ulum, Maros), Kalimantan Selatan (Ponpes Al-Falah, Banjar Baru), Banten (Ponpes At-Thohariyah, Pandeglang), Sumatera Utara (Ponpes Darul Arafah, Deli Serdang), dan Jawa Timur (Ponpes Darul Ulum, Jombang).
Kekerasan terhadap anak
Pada kesempatan tersebut, Dodi menyampaikan, di sejumlah pesantren terjadi kekerasan terhadap anak. Dari data KPPPA tentang Persebaran Kasus Kekerasan di Lingkungan Ponpes 2017-2019, ada 54 kasus kekerasan anak di pesantren di 14 provinsi. Paling tinggi terjadi di Jawa Timur (16 kasus), diikuti Jawa Barat (8), kemudian Banten (6) dan Lampung (6). Bentuk kekerasan berupa kekerasan fisik (13 kasus) dan kekerasan seksual (41 kasus).
Selain Dodi, tampil juga sebagai pembicara Prof HM Darwis Hude, Direktur Program Pascasarjana di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, yang menyampaikan materi ”Peran Tokoh Agama/Pendidik Dalam Penguatan Karakter Anak”.
Mengenai materi soal kekerasan terhadap anak, sejumlah peserta diskusi mengajukan beberapa pertanyaan. Misalnya, batasan soal kekerasan terhadap anak seperti apa, termasuk kekerasan verbal batasan seorang pendidik untuk berbicara seperti apa.
”Yang mana sebenarnya batas kekerasan yang masih diperbolehkan, atau kekerasan apa saja yang tidak diperbolehkan. Kalau verbal sudah tidak boleh, maka seperti apa pendidikan pesantren itu, kalau anak-anak dibiarkan seenaknya, ini jadi kendala juga. Akhirnya bingung dua-duanya, santri bingung, gurunya juga takut. Mohon kejelasan regulasi dan batas-batasnya,” ujar salah seorang peserta dari pondok pesantren.
Yang mana sebenarnya batas kekerasan (terhadap anak) yang masih diperbolehkan, atau kekerasan apa saja yang tidak diperbolehkan.
Komitmen bersama
Ketua KPAI Susanto mengatakan, pesantren merupakan sejarah model pendidikan tertua di Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, ragam model pesantren terus berkembang, di antaranya pesantren modern dan pesantren salaf. ”Umumnya pimpinan pesantren menjadi figur multitasking, sebagai guru sekaligus pendakwah, juga rujukan konsultasi masalah sosial dan lain sebagainya,” katanya.
Mengingat peran pimpinan pesantren yang sangat signifikan, KPAI mengundang sekitar 60 pimpinan pesantren se-Jabodetabek dalam acara Halaqoh Perlindungan Anak tersebut. Pimpinan pesantren yang hadir menyampaikan komitmen bersama untuk mengembangkan pesantren ramah anak, meningkatkan kapasitas pendidik dan tenaga kependidikan terkait perlindungan anak, serta berkomitmen mendakwahkan perlindungan anak kepada masyarakat luas.
”Kami memberikan apresiasi atas komitmen dari para pimpinan pesantren se-Jabodetabek. Hal ini akan menjadi pilar penting untuk mencegah potensi pelanggaran hak anak sekaligus sebagai bentuk inisiasi budaya ramah anak,” kata Susanto.