Bau Tak Sedap Lelang Cepat di Sebelah Istana (1)
Proyek relokasi pedagang kaki lima kawasan Malioboro di lahan bekas Bioskop Indra, Kota Yogyakarta, dipersoalkan. Masalah muncul dari penggunaan metode tender cepat pada proyek tahap pertama.
Pembangunan tempat relokasi pedagang kaki lima di kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, diwarnai sejumlah masalah. Salah satu yang dipertanyakan adalah tender tahap pertama proyek itu yang menggunakan metode lelang cepat. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tiga tulisan terkait proyek tersebut.
”Enggak boleh motret di sini. Harus ada izin dari pemerintah daerah dulu!”
Pernyataan itu keluar dari seorang lelaki berbadan gempal yang mengaku sebagai petugas sekuriti proyek tempat relokasi pedagang kaki lima (PKL) Malioboro. Dia lalu meminta Kompas dan beberapa wartawan lain meninggalkan lokasi proyek. ”Ada surat izinnya enggak? Kalau enggak, ya enggak bisa,” ujar lelaki yang tak memakai seragam seperti lazimnya petugas sekuriti itu.
Jumat (27/9/2019) sore itu, Kompas dan sejumlah wartawan lain mendatangi lokasi proyek tempat relokasi PKL Malioboro di bekas gedung bioskop Indra, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tujuan utamanya untuk memotret bangunan tempat relokasi PKL yang sudah selesai pembangunan konstruksinya. Namun, belum 5 menit berada di sana, beberapa lelaki bergegas menghampiri dan mengusir kami.
Pembangunan tempat relokasi PKL Malioboro merupakan salah satu proyek besar di lingkungan Pemerintah Daerah DIY dengan anggaran lebih dari Rp 60 miliar. Proyek itu bagian dari penataan kawasan Malioboro, destinasi wisata favorit di DIY. Sejak beberapa tahun lalu, Pemerintah Provinsi DIY memang tengah gencar menata Malioboro agar wilayah itu kian nyaman saat dikunjungi wisatawan.
Pembangunan tempat relokasi PKL Malioboro merupakan salah satu proyek besar di lingkungan Pemerintah Provinsi DIY dengan anggaran lebih dari Rp 60 miliar.
Sebagai bagian dari penataan itu, sejumlah PKL di Malioboro akan dipindahkan ke tempat baru. Untuk memuluskan rencana ini, Pemprov DIY membangun tempat relokasi untuk menampung para PKL. Tempat relokasi PKL itu dibangun di lahan bekas Bioskop Indra, salah satu bioskop tua di DIY yang sudah lama tak beroperasi. Lokasi tempat relokasi PKL itu berada di seberang Pasar Beringharjo dan hanya berjarak sekitar 100 meter di sebelah utara Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta.
Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi, dan Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) DIY, tempat relokasi PKL itu terdiri dari empat gedung, yakni gedung utama dan tiga gedung taman kuliner. Gedung utama terdiri dari tiga lantai dan satu lantai semi-basemen. Di sekitar gedung utama terdapat tiga gedung taman kuliner yang terdiri dari dua lantai.
Saat ini, pembangunan konstruksi empat gedung di kompleks itu telah selesai dan menyisakan pekerjaan penataan lanskap. Namun, sejak awal, proyek ini diwarnai sejumlah pertanyaan. Salah satu yang disorot adalah proses tender atau lelang proyek.
Baca juga: Sengketa Lahan Eks Bioskop Indra, Kasasi Pemda DIY Ditolak
Sebagai gambaran, proyek pembangunan tempat relokasi PKL itu dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama pembangunan konstruksi dengan pagu anggaran sekitar Rp 44 miliar yang dilelang pada 19 Februari 2018. Proyek tahap pertama itu mencakup pembangunan konstruksi gedung utama hingga selesai serta pembuatan pondasi tiga gedung taman kuliner.
Tahap kedua adalah pembangunan konstruksi lanjutan dengan pagu anggaran Rp 15 miliar dan dilelang pada 6 Juli 2018. Pada tahap kedua, dilakukan penyelesaian konstruksi tiga gedung taman kuliner. Adapun tahap ketiga adalah pekerjaan penataan lanskap dengan anggaran Rp 3 miliar yang dilelang pada 30 April 2019.
Dalam proses lelang cepat, tidak semua perusahaan penyedia barang dan jasa bisa mendaftar untuk ikut lelang. Hanya perusahaan yang terdaftar di Sistem Informasi Kinerja Penyedia dan memenuhi kualifikasi mendapat undangan mengikuti lelang.
Hanya perusahaan yang terdaftar di Sistem Informasi Kinerja Penyedia dan memenuhi kualifikasi mendapat undangan mengikuti lelang.
Pada proyek tahap pertama, Pemprov DIY menggunakan metode lelang cepat untuk memilih perusahaan pelaksana proyek. Dalam proses lelang cepat, tidak semua perusahaan penyedia barang dan jasa bisa mendaftar untuk ikut lelang. Hanya perusahaan yang telah terdaftar di Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP) dan memenuhi kualifikasi yang akan mendapat undangan untuk mengikuti lelang.
Menurut informasi di situs Layanan Pengadaan secara Elektronik (LPSE) Pemprov DIY, hanya satu perusahaan yang menjadi peserta dalam lelang cepat itu, yakni PT Matra Karya, dengan harga penawaran Rp 43,994 miliar. Perusahaan itu kemudian ditetapkan menjadi pemenang tender dengan harga kontrak Rp 43,953 miliar
Baca juga: Tolak Pengosongan Lahan Keraton Yogyakarta, Lima PKL ”Tapa Pepe”
Potensi risiko
Berdasarkan analisis menggunakan situs Opentender.net yang dikembangkan Indonesia Corruption Watch (ICW), proyek pembangunan tempat relokasi PKL tahap pertama itu tergolong proyek dengan potensi risiko tinggi. Penilaian itu dilakukan berdasarkan beberapa parameter, misalnya nilai proyek, efisiensi anggaran, partisipasi peserta lelang, aspek monopoli, serta waktu penyelesaian proyek.
Dengan memakai parameter itu, situs Opentender.net memberi nilai antara 1-20 untuk setiap proyek pengadaan yang dilakukan pemerintah. Bila sebuah proyek mendapat nilai 1-10, maka potensi risiko proyek itu tergolong rendah, nilai 11-15 tergolong potensi risiko sedang, sementara nilai 16-20 termasuk potensi risiko tinggi.
Analisis menggunakan situs Opentender.net menunjukkan, proyek pembangunan tempat relokasi PKL Malioboro tahap pertama itu mendapat nilai 19 sehingga termasuk proyek berpotensi risiko tinggi. Hasil analisis situs Opentender.net, proyek itu menjadi proyek pengadaan dengan potensi risiko tertinggi di DIY pada tahun 2018. Selain itu, proyek tersebut juga bertengger di peringkat 8 pengadaan paling berisiko secara nasional pada 2018.
Baca juga: Kalah di Pengadilan, Lapak PKL di Lahan Keraton Yogyakarta Digusur
Salah satu faktor yang membuat proyek itu dinilai memiliki potensi risiko tinggi adalah rendahnya tingkat partisipasi karena hanya ada satu perusahaan yang menjadi peserta. Selain itu, efisiensi dalam proyek ini juga rendah. Bila melihat perbandingan antara nilai kontrak proyek itu dan harga perkiraan sendiri (HPS) yang disusun Pemda DIY, efisiensi yang diperoleh hanya sekitar 0,23 persen dari HPS.
Selain masalah partisipasi dan efisiensi, penggunaan metode lelang cepat itu juga memunculkan pertanyaan. Mengacu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana diubah dengan Perpres No 4 Tahun 2015, tender atau lelang cepat dilakukan untuk pengadaan barang dan jasa yang tidak memerlukan penilaian kualifikasi, administrasi, dan teknis, serta tidak ada sanggah dan sanggah banding.
Kepala Seksi Keterangan Ahli Pekerjaan Konstruksi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Mira Erviana mengatakan, lelang cepat hanya bisa digunakan untuk pekerjaan dengan spesifikasi atau metode teknis yang dapat distandarkan. Dia menyebut, dalam pekerjaan konstruksi, lelang cepat hanya bisa digunakan untuk proyek pembuatan bangunan sederhana atau telah distandardisasi, misalnya sekolah.
Lelang cepat tidak bisa digunakan untuk pekerjaan yang kompleks atau tidak sederhana. Hal ini karena pekerjaan yang tidak sederhana membutuhkan penilaian kualifikasi, administrasi, dan teknis.
Kepala Seksi Keterangan Ahli Barang dan Jasa LKPP Mita Astari menyatakan, lelang cepat tidak bisa digunakan untuk pekerjaan yang kompleks atau tidak sederhana. Hal ini karena pekerjaan yang tidak sederhana membutuhkan penilaian kualifikasi, administrasi, dan teknis. Berbagai jenis penilaian itu dibutuhkan untuk mengevaluasi apakah perusahaan penyedia barang dan jasa memiliki kapasitas untuk melakukan pekerjaan yang kompleks.
”Kalau pekerjaan yang kompleks atau tidak sederhana, bisa dipertanyakan kenapa memakai metodenya tender cepat? Dalam tender cepat tidak ada evaluasi penawaran teknis, lalu bagaimana pemilik pekerjaan menilai si penyedia punya kapasitas untuk melaksanakan pekerjaan yang tidak sederhana?” kata Mita.
Baca juga: Penutupan Jalan Malioboro Perlu Kajian Komprehensif
Tidak sederhana
Mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2018 tentang Pembangunan Bangunan Gedung Negara, bangunan sederhana adalah bangunan dengan jumlah lantai maksimal dua lantai dan luas maksimal 500 meter persegi. Jika merujuk aturan itu, gedung utama tempat relokasi PKL yang dibangun Pemda DIY itu tidak bisa digolongkan sebagai bangunan sederhana.
Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PUP-ESDM DIY Arief Azazie Zain mengakui, gedung utama tempat relokasi PKL di lahan eks Bioskop Indra itu tidak termasuk bangunan sederhana. ”Kalau bangunannya, ini termasuk bangunan tidak sederhana. Kalau kategori bangunan sederhana itu, kan, bangunan maksimal dua lantai dan luasannya maksimal 500 meter persegi,” katanya.
Saat ditanya kenapa proyek itu menggunakan metode lelang cepat, Arief mengaku tak tahu secara pasti. Dia menuturkan, Dinas PUP-ESDM DIY hanya menyusun perencanaan teknis bangunan tersebut. Arief pun menyarankan agar alasan pemilihan metode lelang cepat itu ditanyakan kepada Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) atau kelompok kerja (pokja) penyelenggara lelang.
Jika merujuk aturan, gedung utama tempat relokasi PKL yang dibangun Pemda DIY itu tidak bisa digolongkan sebagai bangunan sederhana.
Dalam struktur organisasi Pemda DIY, UKPBJ berada di bawah Biro Pengembangan Infrastruktur Wilayah dan Pembiayaan Pembangunan (PIWPP) Sekretariat Daerah (Setda) DIY. Pada biro itu, terdapat Bagian Layanan Pengadaan yang mengurusi teknis pengadaan, termasuk pembentukan pokja lelang.
Namun, Kepala Bagian Layanan Pengadaan Biro PIWPP Cahyo Widayat memberikan pernyataan yang berbeda dengan Arief. Cahyo mengatakan, metode pemilihan penyedia dalam suatu proyek—apakah akan menggunakan lelang cepat, lelang umum, atau metode lain—sebenarnya sudah diusulkan dalam rencana umum pengadaan yang menjadi dasar penyelenggaraan lelang. Rencana umum pengadaan itu disusun organisasi perangkat daerah (OPD) terkait.
”Di rencana umum pengadaan itu ada banyak informasi, salah satunya metode pemilihan yang juga harus diisi oleh teman-teman OPD sebelum masuk ke sini (UKPBJ),” kata Cahyo.
Baca juga: Pro dan Kontra Rencana Penataan PKL Malioboro
Dalam proyek pembangunan tempat relokasi PKL ini, OPD yang menyusun rencana umum pengadaan adalah Dinas PUP-ESDM DIY. Oleh karena itu, Dinas PUP-ESDM DIY harusnya mengetahui ihwal pemilihan metode lelang cepat tersebut. Sebab, usulan pemakaian metode lelang cepat itu sudah tercantum dalam rencana umum pengadaan yang dibuat dinas tersebut.
Fakta itu bisa dilihat dari situs Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) LKPP yang memuat informasi rencana umum pengadaan pembangunan tempat relokasi PKL Malioboro tahap pertama. Dalam rencana umum pengadaan tertanggal 23 Januari 2018 itu tercantum secara jelas metode pemilihan penyedia untuk proyek itu akan menggunakan metode lelang cepat.
Usulan pemakaian metode lelang cepat itu sudah tercantum dalam rencana umum pengadaan yang dibuat dinas tersebut.
Menurut Cahyo, setelah rencana umum pengadaan selesai, dokumen itu akan dibahas dalam rapat pokja penyelenggara lelang bentukan UKPBJ. Seluruh aspek terkait rencana umum pengadaan itu, termasuk metode pemilihan penyedia yang akan dipakai, dibahas oleh pokja yang beranggotakan beberapa orang itu.
”Jadi, mereka (OPD) mengusulkan melalui rencana umum pengadaan, kemudian dokumen itu masuk ke sini (UKPBJ). Setelah itu, teman-teman pokja akan membahas segala macam terkait pengadaan, termasuk hal itu (metode pemilihan). Kalau itu (metode lelang cepat) sudah diusulkan oleh OPD dan pokja tidak keberatan, ya sudah jalan terus,” ungkap Cahyo.
Baca juga: PKL dan Trotoar, Kawan atau Lawan?
Kesepakatan
Mantan ketua pokja lelang proyek tempat relokasi PKL Malioboro tahap pertama, Muhammad Fathurrahman, mengatakan, pemakaian metode lelang cepat merupakan hasil kesepakatan para anggota pokja. Menurut Fathurrahman, lelang cepat dipilih agar pembangunan tempat relokasi PKL itu bisa segera dilakukan.
Sesuai aturan, proses lelang cepat memang lebih singkat sehingga bisa selesai dalam waktu paling cepat tiga hari. Adapun lelang umum butuh waktu minimal 12 hari.
”Itu (metode lelang cepat) bukan keputusan pribadi, tapi sudah menjadi kesepakatan. Pertimbangan kami waktu itu adalah untuk mengejar waktu supaya pekerjaan segera dilakukan,” kata Fathurrahman, yang sekarang menjadi pengawas jalan dan jembatan di Dinas PUP-ESDM DIY.
Fathurraman menjelaskan, ada beberapa pertimbangan pembangunan tempat relokasi PKL Malioboro mesti segera dimulai. Pertama adalah lokasi proyek itu berada di kawasan Malioboro yang lalu lintasnya padat. Oleh karena itu, bongkar muat di lokasi proyek tersebut hanya bisa dilakukan pada malam hari ketika lalu lintas kendaraan tidak lagi padat.
Dengan demikian, proyek itu tentu membutuhkan waktu lebih lama daripada proyek serupa di wilayah relatif sepi. Pertimbangan kedua, proyek itu memiliki anggaran besar sehingga otomatis mencakup pekerjaan cukup banyak sehingga membutuhkan waktu cukup lama untuk penyelesaiannya.
Kalau misalnya lelang mundur dan waktunya mepet, kekhawatiran kami, pekerjaannya juga tidak baik karena terburu-buru. (Fathurrahman)
”Kalau misalnya lelang mundur dan waktunya mepet, kekhawatiran kami, pekerjaannya juga tidak baik karena terburu-buru,” kata Fathurrahman.
Pertimbangan ketiga, anggaran proyek itu bersumber dari dana keistimewaan (danais) DIY yang dikucurkan pemerintah pusat kepada Pemda DIY. Sesuai aturan, dalam satu tahun anggaran, danais tidak bisa dicairkan seluruhnya dalam satu waktu, tetapi mesti dicairkan dalam beberapa tahap.
Baca juga: Upacara Bendera Pedagang Kaki Lima Malioboro
Pencairan danais tahap selanjutnya membutuhkan laporan pertanggungjawaban (LPJ) danais tahap sebelumnya. Oleh karena itu, agar pencairannya lancar, penyerapan danais mesti dilakukan dengan baik.
Menurut Fathurrahman, apabila proyek itu tak segera dikerjakan, dikhawatirkan penyerapan anggarannya tersendat. Jika itu terjadi, penyerapan danais secara keseluruhan di DIY dikhawatirkan bakal tersendat karena anggaran proyek tersebut cukup besar. ”Nilainya yang besar ini jadi kunci. Kalau sampai mundur, kemungkinan pencairan di tahap selanjutnya bisa kacau,” tuturnya.
Fathurrahman menuturkan, dalam lelang cepat proyek, pokja hanya memasukkan syarat kualifikasi perusahaan yang bersifat umum. Berdasarkan informasi di situs LPSE Pemda DIY, ada beberapa persyaratan kualifikasi dalam lelang cepat itu yang mencakup aspek pengalaman perusahaan dan izin usaha.
Dalam aspek pengalaman, perusahaan yang ingin mengikuti lelang cepat itu harus punya pengalaman minimal satu kali menggarap proyek konstruksi dengan nilai Rp 14,685 miliar —atau sepertiga pagu anggaran proyek pembangunan relokasi PKL Malioboro tahap pertama—antara tahun 2014 dan 2017.
Sementara itu, dalam aspek izin usaha, perusahaan yang akan ikut lelang itu mesti mengantongi sejumlah izin, yakni Sertifikat Badan Usaha (SBU), Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU). Semua izin usaha itu mesti berkategori nonkecil.
Dengan syarat kualifikasi yang bersifat umum itu, Fathurrahman mengatakan, tidak ada persyaratan yang mengarahkan perusahaan tertentu sebagai pemenang. ”Kami enggak mau dikira mengerucut pada penyedia tertentu. Semua perusahaan se-Indonesia yang masuk kualifikasi itu diundang ikut lelang. Undangan dikirimkan melalui sistem (SIKaP). Tapi saya tidak tahu berapa perusahaan yang diundang karena undangannya dikirimkan sistem,” ungkapnya.
Faktanya hanya ada satu perusahaan yang akhirnya mendaftar sebagai peserta lelang cepat dan mengajukan harga penawaran.
Meski demikian, faktanya hanya ada satu perusahaan yang akhirnya mendaftar sebagai peserta lelang cepat dan mengajukan harga penawaran. Menurut Fathurrahman, dirinya sebagai ketua pokja tidak bisa menentukan berapa banyak perusahaan yang bakal mendaftar dan mengajukan harga penawaran. ”Kalau orang enggak mau daftar, apakah kami yang salah?” katanya.
Fathurrahman menambahkan, berdasar aturan yang berlaku saat itu, meski hanya ada satu perusahaan yang menyampaikan harga penawaran, lelang cepat bisa dilanjutkan. Oleh karena itu, pokja kemudian menetapkan PT Matra Karya—satu-satunya peserta lelang cepat itu—sebagai pemenang.
Fathurrahman mengklaim, saat lelang cepat proyek itu hendak dilakukan, tidak ada wacana bahwa lelang cepat hanya bisa digunakan untuk pengerjaan bangunan sederhana. Dia juga menyebut, tidak ada aturan yang menyatakan bahwa lelang cepat hanya bisa dilakukan untuk pengerjaan bangunan sederhana.
Baca juga: Bisa Gunakan Trotoar, PKL Harus Bersih dan Tertata
Hingga kini, jumlah perusahaan yang diundang dalam lelang cepat pembangunan tempat relokasi PKL Malioboro tahap pertama itu belum diketahui secara pasti. Apalagi, sejumlah pemilik perusahaan konstruksi di DIY yang diwawancarai Kompas juga mengaku tidak tahu mengenai pengumuman atau undangan lelang cepat itu.
”Saya enggak tahu karena enggak ngikuti proyek itu,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional (Gapeknas) DIY Bambang Widayanto.
Kondisi itulah yang membuat pembangunan relokasi PKL Malioboro tahap dua tak lagi menggunakan lelang cepat.
Muncul pertanyaan
Setelah lelang pembangunan tempat relokasi PKL Malioboro tahap pertama selesai dilaksanakan, mulai muncul pertanyaan dari sejumlah pihak. Fathurrahman mengakui, sesudah proses itu selesai, muncul pertanyaan dari beberapa pihak tentang metode lelang cepat yang digunakan.
Kondisi itulah yang membuat pembangunan relokasi PKL Malioboro tahap dua tak lagi menggunakan lelang cepat. Padahal, proyek tahap dua itu memiliki anggaran yang jauh lebih rendah daripada proyek tahap pertama.
”Ada diskusi panjang di pokja soal ini. Makanya di tahap dua kita enggak pakai lelang cepat,” kata Fathurrahman, yang juga menjadi anggota pokja lelang tahap kedua.
Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Gatot Saptadi mengatakan, sepengetahuan dirinya, metode lelang cepat hanya pernah dipakai pada dua proyek besar di DIY, yakni pembangunan tempat relokasi PKL Malioboro tahap pertama serta pembangunan trotoar sisi barat Malioboro. Setelah dua proyek itu, Gatot mengaku memberi perintah lisan pada UKPBJ Pemda DIY untuk tidak lagi memakai metode lelang cepat.
Menurut Gatot, pemakaian metode lelang cepat memiliki risiko tinggi, terutama untuk proyek-proyek dengan anggaran besar. Selain itu, dia menyebut, penggunaan metode lelang cepat juga rawan disoal.
”Waktu itu sudah saya putuskan, kalau tidak terpaksa sekali, tidak usah lelang cepat. Itu bukan keputusan tertulis, tapi keputusan lisan saya kepada teman-teman,” kata Gatot, yang pensiun pada 1 Oktober 2019.
Sementara itu, perwakilan PT Matra Karya tak mau banyak berkomentar terkait proses lelang cepat tersebut. Staf PT Matra Karya, Lisa Heratami, hanya mengatakan, tidak ada masalah dalam proses lelang cepat proyek tempat relokasi PKL Malioboro yang diikuti perusahaan itu.
Lisa juga mengaku tak tahu saat ditanya kenapa hanya PT Matra Karya yang mengikuti lelang cepat itu. ”Saya kurang tahu kalau soal itu. Itu kewenangan pemda,” katanya.
(bersambung ke bagian 2)