Selain upaya hukum peninjauan kembali atau gugatan perdata, kebijaksanaan negara juga bisa menjadi alternatif solusi dalam perkara kasus penipuan First Travel.
Oleh
Rini Kustiasih / Al Fajri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Polemik terkait putusan Mahkamah Agung bahwa aset biro perjalanan umrah First Travel disita negara dapat diselesaikan dengan upaya hukum ataupun nonhukum. Upaya hukum itu misalnya melalui pengajuan peninjauan kembali atau gugatan perdata oleh para korban First Travel.
Sementara upaya nonhukum misalnya dengan cara negara mengeluarkan kebijaksanaan untuk memberangkatkan umrah para korban First Travel dengan biaya dari hasil rampasan aset biro perjalanan itu.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Mudzakir, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (19/11/2019), menuturkan, kasus First Travel menjadi contoh adanya celah dalam sistem hukum pidana yang belum mempertimbangkan kepentingan korban dalam prosesnya. Hal itu kerap tak disadari jaksa dan advokat yang mewakili korban. Polemik penyitaan aset tidak terjadi jika sejak awal kepentingan korban dipertimbangkan.
Mereka bisa menggugat sebagai pihak ketiga yang berkepentingan sejak proses peradilan dimulai.
”Sejak awal, korban First Travel semestinya punya kedudukan hukum. Mereka bisa menggugat sebagai pihak ketiga yang berkepentingan sejak proses peradilan dimulai. Hal itu dimungkinkan dengan penggabungan perdata dalam proses pidana, seperti diatur KUHAP,” kata Mudzakir.
Pengajuan korban sebagai pihak berkepentingan akan membuka kesempatan hakim mempertimbangkan hak-hak dan klaim atas aset First Travel. Di sisi lain, jaksa semestinya detail merumuskan siapa yang berhak atas aset itu. ”Jika jaksa mau serahkan aset ke korban, harus bisa membuktikan uang atau aset itu milik korban. Rincian pembagian asetnya harus detail, siapa pemiliknya harus jelas. Jika jaksa tak bisa buktikan, klaim kepemilikan aset korban gugur,” tutur Mudzakir.
Proses hukum
Dalam putusan Pengadilan Negeri Depok, 31 Mei 2018, tiga unsur pimpinan First Travel, Andika Surachman, Anniesa Hasibuan, dan Siti Nuraidah Hasibuan alias Kiki Hasibuan, dinyatakan bersalah melakukan penipuan dan pencucian uang.
Di tingkat pertama, hakim memvonis Andika Surachman 20 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 8 bulan; Anniesa Hasibuan 18 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 8 bulan; sementara Siti Nuraida alias Kiki Hasibuan 15 tahun dan denda Rp 5 miliar subsider 8 bulan kurungan (Kompas, 31 Mei 2018).
Putusan PN Depok ini dikuatkan Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasinya. Putusan kasasi itu menolak memori kasasi dari jaksa yang antara lain meminta agar aset sitaan dari First Travel tidak diserahkan kepada negara, tetapi dibagikan kepada korban secara merata dan proporsional.
Juru Bicara MA Andi Samsan enggan mengomentari putusan itu karena ia hakim yang menangani perkara. Kemarin, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan, pihaknya menuntut agar aset First Travel dikembalikan ke korban. Pihaknya hingga kini masih membicarakan langkah hukum yang akan dilakukan.
Kebijaksanaan negara
Tanpa melanggar hukum dan putusan pengadilan, Mudzakir menyatakan, hak-hak korban First Travel masih bisa diberikan. Namun, hal itu tak lagi soal hukum dan keadilan formal, tetapi lebih pada kebijaksanaan negara. Setelah putusan hakim dieksekusi dan aset rampasan diserahkan ke negara, bisa saja rasa keadilan diberikan lewat pemberangkatan jemaah korban First Travel oleh negara dengan uang rampasan.
Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai, Kejaksaan Agung berpeluang memperjuangkan aset First Travel agar dikembalikan ke korban. Sebagian kalangan berpendapat, peninjauan kembali atau gugatan perdata bisa diajukan para korban.