Warga Desa Tropodo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, tidak terpengaruh hasil penelitian yang menyatakan emisi pembakaran limbah plastik mencemari telur ayam kampung. Mereka membiarkan ayam berkeliaran mencari makan.
Oleh
Runik Sri Astuti / Defri Werdiono
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Warga Desa Tropodo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, tidak terpengaruh hasil penelitian yang menyatakan emisi pembakaran limbah plastik mencemari telur ayam kampung. Mereka membiarkan ayam berkeliaran mencari makan.
Selasa (19/11/2019), beberapa ekor ayam tampak berkeliaran di dekat industri pengolahan tahu dan peternakan sapi perah. Industri tahu tersebut menggunakan bahan bakar sampah plastik untuk memasak kedelai. Ayam-ayam itu mematuk apa saja, termasuk tumpukan sampah plastik di dekat tungku pembakaran serta ampas tahu di dekat peternakan sapi perah.
Kepala Dusun Klagen, Desa Tropodo, Arifin mengatakan, ayam kampung yang berkeliaran itu milik warga. Skala budidayanya perorangan, bukan usaha peternakan besar. ”Telur ayam biasanya ditetaskan. Apabila tidak ditetaskan, telur dikonsumsi sendiri atau diberikan ke tetangga yang memerlukan,” ujarnya. Arifin memastikan tidak ada peternakan ayam petelur di desanya. Produk unggulan Tropodo adalah susu sapi perah, daging sapi, dan tahu.
Telur ayam itu diduga terpapar asap hasil pembakaran sampah plastik pada industri tahu.
Beberapa hari belakangan, banyak instansi datang dan mengambil sampel produk-produk itu untuk pemeriksaan keamanan pangan. Hal itu merupakan respons terhadap laporan peneliti dari jaringan global untuk eliminasi zat pencemar (IPEN), yakni Arnika Association, Nexus 3, dan Ecoton.
Hasil penelitian mereka, telur ayam kampung dari Desa Tropodo, Kabupaten Sidoarjo, dan Desa Bangun, Kabupaten Mojokerto, mengandung kadar dioksin terbesar kedua di dunia, yakni 70 kali lebih tinggi dari jumlah dioksin yang bisa ditoleransi oleh Lembaga Keamanan Pangan Eropa (EFSA).
Telur ayam itu diduga terpapar asap hasil pembakaran sampah plastik pada industri tahu. Ada 50 usaha tahu, semua menggunakan sampah plastik impor sebagai bahan bakar untuk memasak kedelai. Sampah diperoleh dari industri kertas daur ulang yang mengimpor kertas daur ulang sebagai bahan baku. Sampah plastik ditemukan bersama kertas daur ulang impor.
Lebih dari 20 tahun
Salah satu pengusaha tahu, Muhajir, menuturkan, penggunaan sampah plastik berlangsung sejak tahun 1998. Sampah plastik dipilih karena harganya murah dan menghasilkan panas yang stabil. ”Satu truk sampah plastik hanya Rp 250.000 untuk produksi empat hari. Sementara satu truk limbah kayu harganya Rp 1 juta,” ujarnya.
Menurut Muhajir, pengusaha tahu tidak keberatan jika pemerintah melarang penggunaan bahan bakar sampah plastik. Namun, pemerintah harus konsisten dan tidak tebang pilih dalam penerapan. ”Pemerintah harus tegas menangani sampah plastik, terutama sumber utamanya, industri kertas daur ulang.
"Perusahaan itu juga harus ditindak karena mengimpor sampah plastik dan membuang ke masyarakat,” katanya. Jika demikian, produsen tahu pasti akan mencari bahan bakar lain, seperti limbah kayu, gas, atau batubara.
Perusahaan itu juga harus ditindak karena mengimpor sampah plastik dan membuang ke masyarakat.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Senin (18/11), mengundang pelaku usaha tahu untuk membahas masalah bahan bakar. Ia menawarkan penggunaan elpiji dari Pertamina. Namun, hal itu disambut pesimistis oleh pelaku usaha. Mereka pernah uji coba menggunakan gas dari Perusahaan Gas Nasional (PGN). Hasilnya, biaya membengkak dan produksi tidak berjalan lancar.
”Satu tabung gas panjang harganya Rp 600.000. Tidak sampai dua jam, gas habis, padahal tungku boiler belum panas,” tutur Muhajir. Dari Blitar, Jatim, dilaporkan, peternak ayam broiler memastikan telur produksi mereka bebas dari dioksin. Semua ayam di Blitar dipelihara dengan baik di dalam kandang dan terjamin dari sisi pakan. Hal itu dikatakan Wakil Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nasional Blitar Sukarman, Selasa.