Tiga dari lima unsur pimpinan KPK meminta MK membatalkan UU No 19/2019 tentang KPK secara keseluruhan. Proses pembuatan UU KPK itu dinilai tak sesuai dengan peraturan perundangan.
JAKARTA, KOMPAS— Untuk keenam kalinya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi. Kali ini, tiga unsur pimpinan KPK dan tokoh antikorupsi mengajukan uji formil atas UU tersebut. Soal kalah dan menang di pengadilan disebut bukan merupakan tujuan utama permohonan itu.
Rabu (20/11/2019), pukul 15.00, tiga unsur pimpinan KPK, yaitu Ketua KPK Agus Rahardjo bersama dua Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif dan Saut Situmorang, menyerahkan berkas permohonan uji formil kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain tiga unsur pimpinan KPK tersebut, pemohon lainnya juga dicantumkan dalam berkas tersebut, antara lain dua mantan pimpinan KPK, M Jasin dan Erry Riyana Hardjapamekas; Betti Alisjahbana; Ismid Hadad; Abdillah Toha; dan Omi Komaria Madjid, yang adalah istri dari almarhum cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid. Total ada 13 pemohon dalam satu berkas permohonan.
Sebelumnya, telah ada empat perkara uji materi dan uji formil UU KPK yang ditangani MK dalam tahap perbaikan permohonan dan pendahuluan. Satu perkara lainnya kini masih dalam tahap registrasi. Mereka yang mengajukan judicial review ke MK berasal dari kalangan mahasiswa, dosen, dan advokat. Dengan permohonan dari unsur pimpinan KPK dan tokoh antikorupsi, kini ada enam perkara uji materi dan uji formil terhadap UU KPK.
Kuasa hukum pemohon, Feri Amsari, mengatakan, pengajuan uji formil ke MK oleh tiga unsur pimpinan KPK selaku pribadi dan warga negara ini tidak mewakili institusi. Mereka mengajukan uji formil UU KPK selaku warga negara yang merasa pembentukan UU KPK itu tidak dilakukan sesuai dengan prosedur pembentukan regulasi yang baik sebagaimana diatur di dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kesempatan pengujian formil terhadap UU KPK ini diambil, sekalipun sejak MK berdiri pada 2003 belum ada satu pun perkara pengujian formil dikabulkan oleh MK.
”Ini bukan soal kalah dan menang. Kami ingin memperlihatkan kepada publik bahwa ada yang salah dalam pembentukan UU KPK. Melalui persidangan yang terbuka untuk umum di MK, kami akan menjelaskan bagaimana seharusnya proses pembentukan UU, dan bagaimana UU KPK ini cacat prosedural karena tidak dibuat sesuai dengan ketentuan,” kata Feri di sela-sela penyerahan berkas.
Sementara itu, Agus mengatakan, dua unsur pimpinan KPK lainnya, yaitu Alexander Marwata dan Basaria Pandjaitan, memang tidak tercantum sebagai pemohon uji formil, tetapi mereka memberikan dukungan. ”Dua komisioner lainnya mendukung, tetapi mewakilkan kepada kami. Kami sudah koordinasikan dengan mereka,” katanya.
Uji formil diutamakan
Ia mengatakan, permohonan mereka ini dibantu oleh sedikitnya 39 pengacara dan tokoh- tokoh antikorupsi. Pilihan mengajukan uji formil ini diambil sekalipun pada dasarnya mereka tetap berharap Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Syarif menambahkan, secara formil dan materiil banyak hal yang dirasakan janggal oleh pemohon. Dari sisi formil, pemohon menilai pembahasan UU KPK terburu-buru. Selain itu, pembahasannya juga tidak melibatkan konsultasi publik. Bahkan daftar isian masalah (DIM) tidak diperlihatkan kepada KPK sebagai stakeholder (pemangku kepentingan) utama UU KPK.
”Bahkan tidak ada naskah akademik dari UU itu. UU tersebut juga tidak masuk di dalam program legislasi nasional,” katanya.
Dari sisi materiil, Syarif menyebutkan ada beberapa ketidaksinkronan di UU KPK yang baru. Pihaknya juga mempertanyakan peran dewan pengawas karena masuk ke ranah operasional yang menjadi kewenangan penyidik dan pimpinan KPK. Meskipun demikian, pengujian formil lebih diutamakan dalam permohonan mereka.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, permohonan dari pimpinan KPK itu akan menjadi perhatian MK, begitu juga permohonan lain. ”Yang terpenting ialah tetap argumentasi dan pembuktian setiap perkara. Sejauh ini belum ada permohonan pengujian formil yang dikabulkan MK. Jika suatu pengujian formil dikabulkan, tentu konsekuensinya seluruh ketentuan UU yang diuji menjadi tidak berlaku. Sebab, pembentukannya dinyatakan inkonstitusional,” katanya.