Perempuan dinilai punya kesempatan untuk mengembangkan diri di luar sektor rumah tangga. Hal ini bisa dicapai apabila paradigma publik terhadap pekerjaan berbasis jender dihapuskan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan dinilai punya kesempatan untuk mengembangkan diri di luar sektor rumah tangga. Hal ini bisa dicapai apabila paradigma publik terhadap pekerjaan berbasis jender dihapuskan.
Menurut Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, perempuan punya hak dan pilihan untuk berpartisipasi di dunia kerja. Namun, hal itu kerap terkendala pekerjaan rumah tangga yang secara kultural jadi tanggung jawab perempuan. Di sisi lain, publik pun belum sepenuhnya mendukung perempuan pekerja.
”Menurut survei kami, ada lebih banyak (koresponden) perempuan yang tidak setuju bahwa perempuan boleh aktif di luar rumah daripada (koresponden) laki-laki. Artinya, perempuan yang bekerja akan mendapat tekanan dari sesama perempuan, misalnya mertua atau saudara. Itu sebabnya, perubahan pola pikir (terhadap karier perempuan) perlu dilakukan, termasuk oleh perempuan juga,” tutur Yenny pada Indonesian Women’s Forum 2019 di Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Indonesian Women’s Forum (IWF) 2019 digelar oleh majalah Femina pada 21-22 November 2019. Acara serupa pertama kali diadakan pada 2018. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan di IWF 2019 antara lain konferensi, masterclass, dan lokakarya.
Yenny mengatakan, kendala yang dialami perempuan untuk bekerja merupakan akibat dari ketidaksetaraan jender. Padahal, pelibatan perempuan di dunia kerja dinilai bisa memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional dan global.
Merujuk pada laporan ”The Power of Parity: Advancing Women’s Equality in Asia Pacific 2018” oleh McKinsey Global Institute, pelibatan perempuan bisa meningkatkan produk domestik bruto (PDB) di Asia Pasifik hingga 4,5 triliun dollar AS pada 2025. Sementara itu, penambahan PDB global pada 2025 diprediksi mencapai 28 triliun dollar AS.
Saya percaya, masa depan ada di tangan perempuan. Namun, perlu kebijakan inklusif agar perempuan berdaya.
Menurut laporan yang sama, ketidaksetaraan jender di Indonesia pada bidang kerja tergolong tinggi dengan skor 0,52. Semakin dekat skor dengan angka 1, semakin rendah tingkat ketidaksetaraan jender. Kondisi serupa dialami negara lain, seperti Singapura (0,68), Australia (0,66), Selandia Baru (0,72), Malaysia (0,51), Vietnam (0,55), dan China (0,51).
”Saya percaya, masa depan ada di tangan perempuan. Namun, perlu kebijakan inklusif agar perempuan berdaya. Di sisi lain, kita juga menghadapi kondisi ketika perempuan harus menghentikan karier demi keluarga,” kata Yenny.
Pada acara yang sama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terpilih 2019-2023 Lili Pintauli Siregar mengatakan, membagi waktu untuk pekerjaan dan rumah tangga adalah tantangan setiap perempuan pekerja. Pengertian dan komunikasi antar-anggota keluarga dibutuhkan untuk mengatasinya.
Profesional
Terlepas dari tantangan-tantangan yang dihadapi perempuan, perempuan tetap dituntut profesional dalam bekerja. Perekrutan perempuan sebagai tenaga kerja pun harus tetap dilakukan berdasarkan meritokrasi.
Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar mengatakan, peluang pekerjaan di perusahaannya terbuka untuk semua orang. Perbedaan jenis kelamin tidak dipandang sebagai aspek penilaian utama, tetapi kemampuan individu.
Hingga kini, PT MRT memiliki 22 karyawan perempuan di divisi konstruksi, 75 perempuan di bidang operasi dan pemeliharaan, serta 9 perempuan masinis.
”Ini bukan soal jender, tapi kemampuan. Kultur ini perlu dibangun sejak awal sehingga bisa diteruskan,” kata William.
Menurut William, perempuan yang ingin terjun ke dunia kerja harus berpikiran terbuka. Stereotip tentang peran individu berbasis jender pun harus dihilangkan, baik oleh perempuan maupun laki-laki. Ia juga berpesan agar perempuan tidak segan untuk mengejar mimpinya.