Kecurian di Negara Teraman di Dunia
Dalam perjalanan, saya melihat dua imigran meringkuk di pinggir jalan. Restoran makanan cepat saji itu saya lewati lagi. Di gerai itu, saya kehilangan benda berharga.
Di Indonesia, yang di beberapa tempat masih susah sinyal internetnya, telepon pintar sudah menjadi suatu kebutuhan. Apalagi di Benua Biru yang notabene lebih maju teknologinya. Lalu, bisakah bertahan tanpa ponsel di sana? Bisa!
Pada mulanya adalah Angela! Ya, seorang teman dari Zambia, Afrika Timur, yang sangat penasaran dengan sebuah restoran cepat saji (fast food) waralaba asal Amerika Serikat. Gerainya berlokasi di dekat hotel kami di Slussen, pusat kota Stockholm, Swedia.
Kami berdua sama-sama ditugasi kantor masing-masing untuk mengikuti Gather Festival di Stockholm selama tiga hari, 12-14 September 2019. Kami bersama rombongan wartawan dari sejumlah negara menginap di Scandic Hotel di bilangan Slussen, yang berdekatan dengan ”Kota Tua” Gamla Stan.
Hawa sejuk Swedia dan pemandangan langit bersih negeri Skandinavia itu memukau. Satu per satu gambar saya abadikan dengan ponsel pintar. Ponsel ini inventaris kantor yang dipercayakan pemakaiannya kepada para wartawan kantor kami, termasuk saya.
Sayangnya, ponsel inventaris itu kemudian menjadi satu-satunya ponsel yang saya bawa ke Swedia karena ponsel pribadi saya disita polisi. Ceritanya bakal panjang lagi soal ponsel ini.
Ponsel kantor itulah yang kemudian membantu tugas saya untuk mengabadikan momen-momen menarik di Swedia. Salah satunya, adegan pemuda-pemudi memakai skuter yang hilir mudik di depan hotel kami. Persis skuter di film Teletubbies!
Tidak terbayangkan bila itu terjadi di Jakarta. Mungkin akan terjadi kerepotan dengan suara klakson mobil, motor, belum lagi harus menghindari tukang ketoprak, siomay, dan pedagang kecil lainnya yang berburu hidup di kota itu. Ah, Jakarta....
Saat macetnya Jakarta memenuhi benak, orang-orang hilir mudik dengan langkah cepat, melewati jalanan Stockholm. Di sini, berjalan kaki menjadi kegiatan rutin yang menyenangkan di samping mengayuh sepeda atau menyewa skuter. Orang-orang mengenakan jaket atau sweater yang tidak terlalu tebal di musim gugur itu.
”Tetapi hati-hati, cuaca bisa berubah dengan drastis. Jadi, siapkan mantelmu, atau jaket tebal, karena hujan bisa saja turun dan angin bisa sangat dingin,” kata Livia Podesta, Manajer Public Relations (PR) Swedish Institute, yang mendampingi kami selama acara berlangsung.
Di Swedia, Livia adalah pendatang dari Italia dengan peminatan di bidang jurnalistik. Sayang sekali ia tidak mendapatkan karier yang diinginkan di negaranya. ”Gajinya buruk,” kata Livia.
”Oh, begitu,” kata saya. ”Iya, kita masuk di jurusan yang salah, ha-ha-ha,” ucapnya.
Livia sangat menyenangkan. Ia berupaya mengajak siapa pun untuk bicara. Matanya berkejap-kejap ketika mengekspresikan sesuatu yang superlatif. Tangannya kerap bergerak seolah ikut berkata-kata ketika bercerita.
Swedia paling tidak merupakan negara yang membuat Livia nyaman. Pendatang seperti dia bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dengan jaminan kesejahteraan yang lebih baik daripada di negaranya sendiri. Swedia merupakan negara makmur dengan kualitas demokrasi yang juga baik.
Bahkan negara demokratis seperti Swedia harus mati-matian mempertahankan demokrasi dari sikap ekstremisme.
Hasil penelitian The Economist, sebuah majalah berbasis di Inggris, menempatkan Swedia sebagai negara demokratis terbaik ketiga di dunia pada tahun 2018. Ia hanya tertinggal dari Norwegia dan Eslandia. Selain itu, berbagai lembaga dunia juga memasukkan Swedia dalam jajaran negara paling aman di dunia.
Selama di Swedia, kami bertemu banyak orang di sana dan mendapatkan pemahaman tentang demokratisasi yang harus diperjuangkan. Bahkan negara demokratis seperti Swedia harus mati-matian mempertahankan demokrasi dari sikap ekstremisme.
Kelompok neo-Nazi dengan pandangan far-right yang ekstrem, dan supremasi kulit putih yang muncul belakangan ini, cukup mengkhawatirkan. Munculnya aktor-aktor antidemokrasi membuat demokrasi dalam ancaman.
Dalam demokrasi, siapa pun boleh mendirikan organisasi dan bebas berpendapat. Termasuk juga orang-orang dengan pandangan ekstrem tersebut.
”Mereka (kelompok far-right) juga punya organisasi yang rutin bertemu dan setiap organisasi yang didirikan di Swedia dibiayai negara,” kata Lena Posner-Korosi, Duta Besar Swedia untuk Demokrasi.
Semua orang, bahkan anak kecil, boleh berunjuk rasa dan menyampaikan pendapatnya. Maka, tidak heran, aktivis lingkungan Greta Thunberg mendapatkan porsi dan penghargaan yang sama dalam mengutarakan pendapatnya.
Ia pertama kali mogok sekolah dan berunjuk rasa sendirian setiap hari Jumat di depan sekolahnya. Aksi Greta menuai dukungan hingga mendapatkan apresiasi dari dunia.
Suara begitu berharga di Swedia. Setiap manusia dilindungi hak-hak dasarnya tanpa memandang suku, agama, ras, dan antargolongan. Namun, hidup tak selamanya mudah di Swedia.
Bagi pendatang atau imigran, mereka harus bekerja keras untuk dapat hidup. Lima tahun pertama mereka datang di Swedia, negara memberikan rumah singgah, tetapi belum bisa bekerja mencari nafkah sebagaimana warga negara lainnya.
”Selama lima tahun pertama, Anda bisa hidup, tetapi tidak memiliki kehidupan,” kata Elcim Yilmaz, orang Swedia keturunan Turki.
Ia datang bersama orangtuanya ke Swedia lebih dari 40 tahun lalu. Elcim mengakui, Swedia berupaya keras memberikan kesamaan hak dan perlakuan kepada imigran dan warganya yang keturunan imigran.
Namun, sikap rasis dan diskriminasi masih menjadi kabut yang harus terus diperangi.
Namun, sikap rasis dan diskriminasi masih menjadi kabut yang harus terus diperangi. Dalam hal pemberian hak kepada warganya tanpa membeda-bedakan, konstitusi Swedia memberikan jaminan.
Namun, dalam beberapa tahun belakangan, gelombang imigran yang datang dari negara-negara yang dilanda krisis ekonomi dan perang menjadi pekerjaan berat Swedia dan juga negara-negara Eropa lainnya.
Kondisi itu antara lain terlihat dari mulai banyaknya tunawisma yang tidur di emperan toko dan jalan utama di Swedia pada malam hari. Tidak terkecuali di dekat hotel kami menginap. Mereka tidur mengenakan selimut dan kasur tipis.
Pada 13 September 2019 malam, kami menuju hotel dengan berjalan kaki dari acara penutupan festival. Rombongan terpisah karena masing-masing ingin menghabiskan malam dengan cara berbeda.
Aku dan Angela memutuskan jalan kaki pulang ke hotel untuk secepatnya istirahat. Esok hari adalah waktu bebas untuk jalan-jalan dan mengeksplorasi kota. Keasyikan sudah terbayang.
Kami sempat tersesat dan berjalan memutar beberapa kali, hingga akhirnya seorang Swedia yang baik hati memandu kami menuju Slussen. Perjalanan yang cukup panjang membuatku ingin segera tidur, tetapi tidak dengan Angela.
Ia rupanya memperhatikan ada restoran cepat saji di dekat Stasiun Slussen, tidak jauh dari hotel kami. Kami beberapa kali melewatinya. ”Hei, aku penasaran dengan restoran itu. Apakah di negaramu ada?” tanyanya.
”Ya, ada gerai cepat saji itu di negaraku,” jawabku. ”Di tempatmu tidak ada?” tanyaku.
”Iya, tidak ada di negaraku. Tetapi aku sering melihat iklannya saat aku berkunjung ke AS. Kakakku menjadi sopir truk di AS,” ucapnya.
”Aku ingin mencobanya. Ayo kita ke sana,” lanjutnya.
”Ah, tidaklah. Aku mau segera tidur,” kataku.
”Ayolah...,” katanya.
”Oke, deh,” kusanggupi juga pintanya.
Dia memesan lebih dulu, tetapi tampaknya kartu kreditnya bermasalah saat pembayaran. Sementara saya yang menghadap kasir yang berbeda telah mendapatkan pesanan makanan. Tidak ada nasi. Hanya nugget ayam dan kentang goreng. Ah, mana bisa menutupi lapar....
Saya letakkan ponsel di atas meja sembari mengunyah kentang dan ayam nugget. Dari belakang, terdengar Angela memanggil, meminta tolong. Dengan segera saya tinggalkan meja. Di depan kasir, saya mengeluarkan kartu kredit untuk membayar pesanannya.
Kami pun kembali ke tempat duduk kami. Tetapi setelah duduk, saya menyadari ponsel yang tadi diletakkan di atas meja telah raib. Saya yakin seyakin-yakinnya ponsel itu ada di atas meja ketika saya tinggalkan. Saya mencarinya di bangku, saku jaket, dan di bawah meja. Tidak ada!
Saya menoleh ke belakang. Terlihat seorang wanita kulit putih dengan banyak tas dan barang bawaan duduk yang membelakangi. Dia sedang menghadap makanan di mejanya. Saya kembali menoleh ke makanan di hadapan. ”Jangan-jangan wanita ini mengambilnya,” kataku dalam hati.
Namun, saya tepis jauh-jauh kecurigaan itu. Saya bertanya lagi kepada Angela, mungkin dia melihat ponsel saya terjatuh atau tertinggal di meja kasir. ”Tidak,” jawabnya.
Saya menanyakan kepada kasir dan manajer gerai perihal ponsel itu. Mereka mengatakan tidak melihatnya. Lalu, mereka mengingatkan, banyak kejadian ponsel hilang di gerai itu.
”Jika Anda meninggalkan apa pun di atas meja, bisa saja ada yang mengambilnya. Di sini sering sekali ada laporan ponsel hilang. Jadi sebaiknya Anda melapor ke polisi,” kata manajer gerai itu, seorang lelaki asal Eritrea, Afrika.
Lutut tiba-tiba terasa lemas. Pikiran saya ke mana-mana. Terbayang sejumlah rekaman kerja yang hilang. Foto-foto kenangan pun hilang. Angela ikut sedih dengan kejadian itu dan dia merasa bersalah karena ponsel saya hilang lantaran dia meminta saya menghampirinya untuk meminjami kartu. Angela beberapa kali minta maaf dan menyesali kejadian tersebut. Tetapi apa daya, itu bukan salahnya juga.
Baca juga : Inisiatif Menangkal Hoaks Digalang
Kami kembali ke bangku dengan lunglai. Saat saya dan Angela memutuskan untuk kembali ke hotel, secara refleks saya menoleh kembali ke belakang dan melihat wanita yang tadi saya lihat. Kali ini kami bertatapan. Dia tersenyum sembari memberesi barangnya. Saya sulit menerjemahkan senyuman itu.
Meski begitu, saya membalas senyumannya dengan sejumlah dugaan dan prasangka yang kemudian saya tepis jauh-jauh. Saya hanya membatin, banyak sekali tasnya. Tas plastik seperti barang belanjaan dan aneka bawaan lain yang ditumpuknya di bangku.
Kecurigaan menyelimuti pikiran dan saya hanya bisa lesu berjalan keluar dari gerai itu. Sepanjang jalan saya memandangi jalanan di hadapan. ”Ah, dasar bodoh,” rutuk saya kepada diri sendiri.
Sesampai di hotel, saya menyampaikan apa yang baru saja saya alami kepada resepsionis. Saya meminta tolong disambungkan dengan kantor polisi. Saya berharap ponsel itu ditemukan.
Naif mungkin, tetapi setidaknya ini menjadi catatan juga bahwa ada problem keamanan di sebuah negara dengan peradaban tinggi sekalipun.
Sembari menunggu jawaban dari operator sana, resepsionis menceritakan banyaknya kejadian pencurian dan pencopetan di sana. Sasarannya adalah turis.
”Hati-hatilah meninggalkan barangmu. Sering kali mereka menutupi dompet atau ponselmu di atas meja dengan tisu, lalu mengambilnya. Hati-hati pula dengan orang yang tidak sengaja menabrak atau tiba-tiba bersikap ramah kepadamu. Bisa jadi mereka mengambil sesuatu darimu dan menutupinya dengan bersikap baik,” tutur resepsionis itu dengan serius.
Dia menunjukkan brosur di mejanya. Di sana tertulis trik yang kerap dipakai pencoleng dan pencopet yang menargetkan turis atau orang asing sebagai korban.
Menyesal sekali saya baru membaca brosur itu. Semestinya brosur itu dipajang besar-besar supaya tamu yang kebetulan orang asing lebih waspada dengan copet atau pencurian.
Dengan tidak bermaksud menuduh, resepsionis kemudian menjelaskan banyaknya imigran yang menjadi beban bagi Swedia. Mereka yang makan di gerai cepat saji itu, menurut dia, hampir dipastikan bukan orang Swedia karena biasanya hanya imigran atau turis minim pengetahuan yang makan di sana.
Pekerja di gerai itu sebagian besar imigran dari Afrika. Adapun pengunjungnya bervariasi dan banyak pula dari negara-negara Eropa Tengah dan Balkan yang mencari penghidupan di Swedia. Banyak dari mereka tidak punya tempat tinggal tetap.
Baca juga : Sikap Ekstrem Ancam Swedia
Saya makin lemas mendengarkan resepsionis itu bicara. Sungguh kita mudah terkecoh. Di Tanah Air, makan di gerai makanan cepat saji oleh sebagian orang masih dianggap memberi ”gengsi” tersendiri. Tidak heran gerai makanan cepat saji laris manis.
Saya sebenarnya senang makan di mana pun. Asalkan ketemu nasi. Namun, ternyata, ketika berharap bertemu nasi di Swedia, ketemunya malah pencoleng. Apa enaknya makanan cepat saji. ”Ah, Angela, seharusnya kamu tak mengajakku ke sana,” saya membatin.
Saya juga seharusnya tak menurutinya. Setelah melapor via telepon ke polisi, kami duduk lesu di lobi hotel. Angela masih menyimpan kentang goreng yang dibelinya tadi.
Dia lalu mengajak berpindah tempat duduk ke kursi-kursi di dekat restoran. Lobi hotel malam itu ramai sekali. Tamu-tamu berdatangan untuk menginap. Hotel kami kecil, tetapi cukup nyaman ditinggali.
Saya menurut saja kepada Angela. Ia masih lapar rupanya. Di kursi sofa, kami duduk dan dia meneruskan makan kentang gorengnya. Aku termangu saja menatap orang lalu lalang di kejauhan.
Dari balik kaca jendela hotel, orang-orang sedikit menahan dingin dengan merapatkan jaketnya dan berjalan cepat-cepat. Cuaca di Swedia memang tidak mudah ditebak.
Tetiba seorang lelaki berambut panjang dengan seragam hitam mendatangi kami. Dengan postur tegak dan senyum dilebarkan dia berkata agak keras. Aku terperanjat melihat sikapnya.
”Apakah Anda tahu, Anda dilarang makan di tempat ini karena ini adalah area restoran. Jadi, tolong Anda bisa mengerti hal ini,” ujarnya.
Kira-kira begitulah perkataannya. Kami diusir halus dengan kata-kata keras sehingga seorang pemuda yang mengenakan headset menoleh kepada kami. Saya malu. Angela lebih malu lagi.
Ah, malam yang mengesalkan. Setelah ponsel hilang, lalu didamprat petugas restoran. Jujur saja, saya tidak terlalu memperhatikan bahwa kursi sofa itu masih bagian dari restoran, sebab ia berada di luar area tempat duduk kami biasa sarapan. Tetapi, sudahlah, kami pergi dari sana dan memutuskan naik ke kamar.
Di dalam lift, Angela mengutuki lelaki itu. Ia tersinggung berat. Ia merasa lelaki itu bersikap rasis.
”Dia sangat kasar. Semestinya dia bisa lebih baik menyampaikan. Tidak perlu seolah-olah perkataannya ingin didengar semua orang. Aku tidak tahu apakah dia akan berkata hal serupa kepada orang kulit putih. Mungkin karena aku berkulit hitam dan kamu jelas-jelas seorang Asia, maka dia berkata demikian jahat,” urainya.
Saya mendengarkannya. Benar juga. Perkataan lelaki itu menyiratkan kami ini orang udik, bodoh, tidak sopan karena makan di area restoran dengan makanan yang tidak kami pesan dari restoran.
Namun, gugatan Angela benar juga. Sekalipun kami ini memang udik, jujur saja, tidak ada niat berlaku tidak sopan dengan makan di area restoran. Kami mengira lokasi itu bukan bagian dari restoran.
Lelaki itu baiknya mengingatkan kami dengan lebih sopan. Tidak asal nyelekit dan keras-keras diucapkan. Saya kurang respek pada sikapnya. Hanya saja, saya tak menyangka itu benar-benar melukai perasaan Angela. Ah, kawanku....
Baca juga : Belajar Demokrasi dari Swedia
Kami sampai di lorong kamar. Angela memeluk dan menepuk pundak saya beberapa kali. Dia meminta maaf atas kejadian malam itu. Saya juga minta maaf. Tidak ada yang perlu disesali. Saya lalu menghiburnya agar ia tidak risau dengan perkataan lelaki di restoran tadi. Dia mengangguk, lalu melangkah ke kamarnya.
Saya masuk ke kamar dengan rasa kosong merayapi. Malam yang tidak terduga di Swedia. Setelah segala kisah demokratisasi, problem imigran, dan gambaran peradaban tinggi Eropa menempel di kepala, malam itu saya dihinggapi perasaan dan pikiran yang lain. Betapa kita ini udik dan mudah percaya. Saya khususnya.
Manusia bisa memangsa manusia lain tanpa ampun. Pencoleng yang mengambil ponsel saya tak tahu betapa itu begitu berharga. Demikian pula lelaki restoran itu yang semena-mena pada harga diri Angela. Manusia bisa sangat buas dan kejam.
Tetiba teori Darwin itu membuat saya tergelak. Darwin hebat. Memang hanya yang kuat yang bisa bertahan. Orang jangan menjadi lemah. Bila lemah, ia akan dimangsa orang lainnya. Air luh menitik di pipiku, membayangkan semua kejadian yang berlangsung cepat itu.
Namun, sungguhkah hanya banalitas yang akan berkuasa di bumi? Jika begitu adanya, kenapa orang susah-susah membangun demokrasi. Sistem yang memungkinkan orang diperlakukan sama hormatnya, egaliter, dan sama tingginya.
Hak-hak privat dan kepemilikan diakui, kebebasan berekspresi dihargai. Penegakan hukum dijamin. Pencuri ditangkap dan dihukum. Korban dilindungi. Ha-ha-ha, berpikir kok kejauhan. Itu kan konsepsi.
Nyatanya, saya kecurian di negara kaya-makmur dengan indeks demokrasi terbaik di dunia. Sementara kawan saya, seorang Afrika, dilarang duduk makan di sofa restoran dengan perkataan yang menyakitkan. Sialan.
Saya merebahkan kepala di atas bantal. Malam itu saya tak bisa mengontak siapa-siapa. Tidak ada bunyi telepon dari seberang. Tidak bisa ”sayang-sayangan” dengan orang terkasih. Jahanam dan sepi benar kamarku.
Ibu saya pasti kalut di rumah karena tiada kabar. Saya pun demikian. Tapi malam itu ternyata berhasil saya lewati dengan mulus. Saya relakan saja ponsel itu. Polisi Swedia juga belum tentu menemukannya.
Baca juga : Nyaris Pingsan Saat Liputan Bencana
Pagi-pagi saya sarapan dengan Angela. Kawan saya itu masih kesal dengan perlakuan lelaki restoran semalam. Saya juga kesal. Teman-teman sesama wartawan mendatangi dan menanyakan kabar saya setelah tersebar berita kehilangan itu. Kuceritakan kisah itu dan mereka hampir tidak percaya.
”Ya ampun! Kukira ini negara aman,” komentar teman dari Rusia. Kawanku dari Malaysia hanya menggelengkan kepalanya. Seorang editor dari Yunani menenangkanku. ”Jangan terlalu dipikirkan ponselmu itu. Aku juga pernah mengalaminya. Kamu akan baik-baik saja,” ujarnya.
Saya setuju dengan perkataannya. Hari itu kami berjalan-jalan keliling kota. Kami bersemangat karena itu hari terakhir kami di sana. Esok harinya kami akan pulang ke negara masing-masing.
Saya sudah rindu rumah. Ponsel hilang sudah saya relakan. Untungnya saya terbiasa mencatat wawancara di notes, tidak melulu merekamnya di ponsel sehingga masih ada catatan wawancara yang bisa saya jadikan bahan tulisan.
Besok paginya, sebelum meninggalkan hotel, saya menuliskan komplain kepada hotel. Saya memprotes perlakuan lelaki di restoran kepada Angela. Semestinya dia bisa lebih sopan mengingatkan kami. Sikapnya itu bentuk arogansi, tulis saya.
Saya letakkan catatan itu di meja. Semoga pengurus kamar membacanya dan menyerahkan komplain itu kepada resepsionis. Protes sangat dihargai di negara demokrasi.
Baca juga : Terperosok Investasi Bodong
Kali ini protes itu datang dari seorang warga negara berkembang, yang kebetulan saja ponselnya hilang dicuri dan kawannya tersakiti. Saya keluar dari hotel menuju stasiun kereta bawah tanah.
Dalam perjalanan, saya melihat dua imigran meringkuk di pinggir jalan. Banyak lelaki dan perempuan naik skuter dan sepeda. Gerai makanan cepat saji itu saya lewati lagi. Semoga saja gerai itu tidak buka di Zambia. Ha-ha-ha. Pagi yang cerah dan indah di negara yang cantik.
Tidak ada yang salah dengan Swedia. Semua negara memiliki persoalannya masing-masing. Saya pulang dari Swedia dengan pengalaman berharga dan pelajaran kelas wahid: Begjo-begjoning manungso kang lali, luwih becik kang eling klawan waspodo (Seuntung-untungnya orang yang lupa, masih lebih untung orang yang ingat dan waspada)....