Pacu Ekonomi, BI Kembali Longgarkan Likuiditas Perbankan
Bank Indonesia kembali menurunkan rasio giro wajib minimum perbankan sebesar 50 basis poin untuk melonggarkan likuiditas perbankan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia kembali menurunkan rasio giro wajib minimum perbankan sebesar 50 basis poin untuk melonggarkan likuiditas perbankan. Melalui kebijakan itu, kecukupan likuiditas perbankan akan bertambah hingga Rp 26 triliun dalam setahun.
Pelonggaran rasio giro wajib minimum (GWM) diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit perbankan dan memacu laju perekonomian. Sejauh ini kebijakan penurunan suku bunga acuan dinilai belum berhasil menahan pelambatan pertumbuhan ekonomi domestik.
Keputusan penurunan rasio merupakan hasil dari Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang berlangsung pada 20-21 November 2019. Rapat ini juga memutuskan mempertahankan suku bunga acuan sebesar 5 persen, suku bunga deposit facility 4,25 persen, dan suku bunga lending facility 5,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, penurunan rasio GWM dilakukan terhadap bank konvensional ataupun bank syariah dan akan berlaku efektif pada 2 Januari 2020. Dengan demikian, rasio GWM atau rasio cadangan wajib pada bank konvensional menjadi 5,5 persen, sementara bank syariah menjadi 4 persen.
”Secara agregat keseluruhan jumlah likuditas cukup. Namun, masalahnya, distribusi likuiditas antarkelompok bank tidak merata. Kelompok bank buku I, II, III mengalami kekurangan likuiditas karena persaingan dana pihak ketiga,” kata Perry dalam konferensi pers hasil dari Rapat Dewan Gubernur BI, di Jakarta, (21/11/2019).
Kecukupan likuiditas tecermin pada rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) pada September 2019 yang sebesar 19,43 persen. Namun, pertumbuhan DPK pada September 2019 sebesar 7,47 persen, menurun dibandingkan Agustus 2019, yakni 7,62 persen.
Perry mengatakan, penurunan GWM akan meningkatkan likuiditas perbankan sehingga harapannya penyaluran kredit lebih ekspansif. Permintaan kredit diyakini terus tumbuh dengan semakin membaiknya prospek ekonomi dan kepercayaan korporasi pada 2019 dan 2020. Namun, pertumbuhan kredit perbankan pada 2019 diproyeksikan di kisaran 8 persen.
BI sudah menurunkan GWM dua kali sepanjang tahun ini. Sebelumnya, penurunan GWM sebesar 50 basis poin dilakukan pada Juni 2019.
Menurut Perry, permintaan kredit belum kuat karena berbagai faktor. Dari hasil survey BI, sekitar 47 persen korporasi berencana investasi, sementara 53 persen korporasi masih konsolidasi keuangan. Kondisi itu dikonfirmasi data aktivitas impor bahan baku dan barang modal yang turun pada triwulan III-2019.
”Korporasi masih menakar prospek pertumbuhan ekonomi dan kepercayaan ke depan. Faktor itu yang akan menentukan seberapa besar produksi dan investasi,” kata Perry.
Suku bunga tetap
Kebijakan menurunkan GWM dibarengi keputusan menahan BI 7-day Reverse Repo Rate. BI menahan tingkat suku bunga acuan tetap di level 5 persen. Dalam empat bulan terakhir atau sejak Juni 2019, BI menurunkan suku bunga acuan beberapa kali.
Kebijakan penurunan suku bunga acuan belum mampu menahan pelambatan pertumbuhan ekonomi domestik
Menurut Perry, kebijakan penurunan suku bunga acuan belum mampu menahan pelambatan pertumbuhan ekonomi domestik. Transmisi pelonggaran kebijakan moneter yang sudah dilakukan akan terus berlanjut didukung kecukupan likuiditas perbankan yang memadai, serta kondisi pasar uang yang stabil dan efisien.
Pertumbuhan ekonomi melambat dari 5,05 persen pada triwulan II-2019 menjadi 5,02 persen pada triwulan III-2019.
Meski demikian, BI menilai daya tahan ekonomi Indonesia relatif masih kuat karena ditopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi bisa 5,1 persen pada akhir tahun.
”Berlanjutnya ketegangan hubungan dagangan AS-China mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dunia terus melambat yang berimbas ke semua negara, termasuk Indonesia,” kata Perry.
Perekonomian Indonesia diproyeksi tumbuh 5 persen pada 2019 oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Adapun Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memproyeksikan 5,2 persen, sementara Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksikan 5,1 persen.
Konsumsi rumah tangga
Perry menambahkan, konsumsi rumah tangga pada 2019 dan 2020 tetap tumbuh di atas 5 persen. Konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah akan terjaga dengan penyaluran bantuan sosial. Selain itu, konsumsi kelompok kelas menengah akan tumbuh sejalan dengan inflasi yang terjaga rendah pada kisaran 3,1 persen.
Ketahanan eksternal juga meningkat karena Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) membaik. Defisit NPI menyempit dari 2 miliar dollar AS pada triwulan II-2019 menjadi 46 juta dollar AS pada triwulan III-2019. Penyempitan defisit karena derasnya arus masuk modal asing yang tecermin pada transaksi modal dan finansial pada triwulan III-2019 suprlus 7,6 miliar dollar AS.
Dihubungi terpisah, Kamis, Kepala Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, dampak penurunan GWM terhadap pertumbuhan ekonomi akan sedikit lebih cepat dibandingkan dengan penurunan suku bunga karena menyasar langsung likuiditas perbankan.
Menurut Febrio, kebijakan GWM jarang digunakan karena lebih sensitif. ”Dampak pemangkasan suku bunga dan penurunan GWM sama saja. Intinya, BI cukup tegas bahwa pelonggaran moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tetap berlanjut,” katanya.
Pelonggaran kebijakan moneter tetap harus diambil BI untuk menghindari pelambatan pertumbuhan ekonomi yang lebih dalam. Inflasi yang masih lebih rendah dari target mendukung pelonggaran moneter berlanjut. Terlebih, posisi cadangan devisa meningkat menjadi 126,7 miliar dollar AS per akhir Oktober 2019.