Terjebak di Genangan Limbah Minyak
Limpahan minyak di Batanghari, Jambi, menyilaukan banyak orang. Sarminah (45) pun tergiur cepat kaya seperti para pemilik sumur tambang dan pengepul, yang berhasil kaya dalam sekejap. Ia pun rela berkubang setiap hari dalam genangan minyak berwarna kemerahan.
Hampir setahun terakhir Sarminah dan suaminya bekerja di antara 6.000-an petambang liar di kawasan Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin alias Tahura Senami di Kecamatan Bajubang, Batanghari. Ada yang menjadi pekerja sumur hingga pengumpul hasil minyak. Sementara, Sarminah mengais limbah yang menggenang.
Hasil minyak dikumpulkan di dalam ember dan jeriken. Setelah terkumpul penuh, lalu diangkut ke tepi jalan. Di situ sudah ada drum-drum kosong siap diisi minyak. Dari situlah, penampung membawa minyak menggunakan mobil pikap dan truk ke tempat-tempat pengolahan liar di sekitar desa.
Siapa pun bisa menjadi pengumpul limbah minyak, bermodal selembar kain lap. Kain dibenamkan dalam genangan minyak lalu diperas ke dalam ember. Begitu seterusnya sampai ember terisi penuh.
Tak jarang kakinya terpeleset dari pematang jalan yang licin karena tumpahan minyak. Ia pun terjatuh dan terbenam dalam genangan limbah minyak. Padahal genangan minyak itu berhawa panas dan kerap membikin mata perih.
Sarminah pernah diingatkan petugas puskesmas perihal dampak kesehatan akibat paparan minyak. Ia pun diberi tahu, aktivitas yang dilakukannya bersama ribuan pekerja lainnya merupakan ilegal. Namun, ia hanya mengiyakan peringatan itu dan keesokannya tetap menimba minyak.
Ia beralasan tak punya pilihan lain. Apalagi upah yang diterimanya waktu itu lumayan, rata-rata Rp 300.000 per hari. Nilainya menggiurkan ketimbang menyadap getah karet dengan upah hanya Rp 50.000. Meskipun cukup besar, hasil dari mengais minyak tak pernah bersisa.
Langsung habis untuk membiayai kebutuhan sehari-hari hingga biaya pendidikan empat anaknya. ”Duit dari minyak memang panas. Dapatnya banyak, tetapi habisnya pun cepat,” ungkapnya, Selasa (12/11/2019).
Masif
Tambang minyak ilegal berlangsung masif sejak 2017. Hingga kini, terhitung sudah lebih dari 2.300 titik sumur menyebar tak hanya dalam Tahura Senami, tetapi merambah pula kebun-kebun warga di Kabupaten Sarolangun di Jambi hingga Musi Banyuasin di Sumatera Selatan.
Ancaman kehancuran lingkungan pun kian membayangi. Di tahura, ribuan batang tanaman mati karena digenangi minyak pekat. Limbah minyak mengalir ke sejumlah anak sungai yang berhilir ke Sungai Batanghari. Air sungai berminyak pekat dengan warna kemerahan. Kehidupan satwa liar turut lenyap seiring tercemarnya ekosistem sungai.
Kepala Seksi Tahura Dinas Lingkungan Hidup Batanghari Sandhya Ananda menyesalkan, warga dijadikan alat pemilik modal untuk mengeruk keuntungan dari tambang liar. ”Urusan perut rakyat hanya jadi alasan. Sebenarnya ini urusan segelintir pihak yang ingin mengeruk minyak,” ujarnya.
Akibat tambang minyak ilegal, kerusakan tahura semakin parah. Kategori kerusakan tidak semata pada ekosistem darat, tetapi telah mencemari ekosistem air tawar. Hasil uji laboratorium Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi mendapati pencemaran air di Danau Merah, Sungai Berangan Hulu, Sungai Berangan Hilir, serta air sumur warga di sekitar lokasi tambang minyak ilegal di Desa Pompa Air dan Desa Bungku, Bajubang, Batanghari.
Di Danau Merah, tingkat kekeruhan dan kepekatan telah melampaui ambang batas toleransi. Kadar minyak dan lemak bahkan mencapai 10.824 mg/l, jauh melebihi ambang batas sebesar 1 mg/l. Kadar hidrogen sulfida mencapai 0,800 mg/l atau melampaui ambang batas 0,02 mg/l. Berlebihnya kadar gas beracun berpotensi mengiritasi mata, hidung, tenggorokan, dan sistem pernapasan; hingga memicu asma. Tingginya kadar gas juga memicu kebakaran.
Dinas Kesehatan Batanghari juga mendapati sejumlah jenis penyakit pada warga di sekitar lokasi tambang ilegal itu. Lonjakan kasus penyakit infeksi kulit atau dermatitis contact mulai terjadi 2018. Laporan yang masuk di Puskesmas Pembantu Desa Pompa Air, penyakit mulai merebak sejak 2017. ISPA, misalnya, pada 2017 masih 215 kasus, naik tiga kali lipat menjadi 635 kasus pada 2018. Januari-Oktober 2019i, terdata 507 kasus.
Untuk penyakit infeksi kulit, terdata 110 kasus pada 2017, lalu naik jadi 177 kasus pada 2018. Januari hingga Oktober tahun ini terdata 133 kasus. Di Puskesmas Penerokan yang melayani pasien desa-desa sekitar lokasi tambang dan pengolahan, penderita ISPA pada Januari-Oktober 2019 mencapai 2.159 orang, penderita infeksi kulit 426 orang.
Temuan kasus juga merebak di lokasi penyulingan minyak di Desa Batin dan Desa Petajen. ”Desa-desa ini menjadi jalur transportasi dan tempat pengolahan minyak (ilegal),” kata Elfi Yennie, Kepala Dinas Kesehatan Batanghari.
Menurun
Sejak dua bulan terakhir, produksi minyak di tahura menurun. Sejumlah pemodal hengkang untuk membuka sumur-sumur baru pada wilayah lain di sekitar tahura. Perambahan itu mengakibatkan kerusakan alam kian meluas, di saat sumber penghidupan ribuan pekerja mulai habis.
Genangan minyak tak lagi melimpah seperti pada awal tahun. Hari-hari ini, Sarminah jadi lebih banyak menganggur di lokasi tambang. Turunnya produksi drastis mengurangi penghasilan para pekerja. ”Sekarang ini, bisa terkumpul dua ember saja sudah bagus,” ujarnya. Setelah ditampung oleh pengepul, hasil yang diperolehnya hanya kisaran Rp 30.000.
Ketika sumber minyak habis dan lingkungan hancur, ia dan pekerja tambang lainnya tidak tahu lagi ke mana dapat bersandar. Mereka menantikan kebijakan pemerintah. ”Kami mau diberdayakan. Tidak lagi menjadi petambang ilegal,” katanya.