Antara ”Cendol” dan Konservasi di Lore Lindu
Gelombang pengunjung yang bak “cendol” menjadi bumerang bagi tempat wisata yang berada di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Konservasi sebagai napas utama pariwisata pun terancam.
Telaga yang ”beruap” di tengah hutan lebat berselimut dingin itu menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk melepas penat. Namun, gelombang pengunjung yang bak ”cendol” belakangan justru bisa menjadi bumerang bagi tempat wisata yang berada di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, tersebut. Konservasi sebagai napas utama pariwisata itu pun terancam.
Setelah mendirikan tenda bersama tiga temannya, Hans Bernoguido (20) menarik napas sejenak. Dari sisi utara area kamping, kepalanya bergeleng-geleng memandang ke arah selatan dan barat. Tenda-tenda penuh sesak di bawah pepohonan dalam cahaya remang.
Kami datang jauh-jauh untuk mencari ketenangan. Eh, malah keributan yang didapat.
Kebisingan juga menyeruak, ada yang menyanyi dengan diiringi gitar, ada yang bercerita sambil terbahak-bahak. Tak sedikit pula yang berteriak di sudut lain lalu disahuti pengunjung di sisi lainnya. Bahkan, ada pengunjung yang memutar musik dengan keras. Sepanjang malam hingga pagi hari, area kamping itu bak pasar yang riuh.
Suasana tenang yang diharapkan tak terjadi. ”Kami datang jauh-jauh untuk mencari ketenangan. Eh, malah keributan yang didapat. Ini di luar bayangan saya,” ujar mahasiswa semester lima sebuah perguruan tinggi swasta di Palu, Sulawesi Tengah, itu, Sabtu (16/11/2019).
Sepanjang malam hingga Minggu dini hari, Hans tak bisa tidur nyenyak. Daripada meringkuk di dalam tenda, ia memilih berjalan-jalan di antara tenda-tenda.
Hans mengendarai sepeda motor dari Palu ke Telaga Tambing, Desa Sedoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, selama 2 jam. Selama ini, ia mendengar berbagai cerita tentang tenang dan dinginnya Telaga Tambing. Berbekal cerita itulah dia menyambangi tempat wisata tersebut. Ternyata, suasananya sudah berbeda.
Telaga atau Danau Tambing berada di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Tempat wisata itu berada dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, terletak di pinggir jalan Poros Palu-Lembah Napu, Poso. Dari Palu, jaraknya sekitar 90 kilometer. Luas lokasi wisata tersebut sekitar 2 hektar.
Balai Besar Taman Nasional (TN) Lore Lindu mengembangkan Telaga Tambing sebagai destinasi wisata dalam lima tahun terakhir. Mereka menyiapkan areal kamping (camping ground) yang terletak di sekitar telaga, di antara dan di bawah pepohonan. Sarana pendukung lainnya juga tersedia, seperti kamar kecil dengan jumlah 10 unit dan areal parkir berukuran 50 x 50 meter.
Setiap pengunjung dikutip Rp 5.000 per hari ditambah biaya parkir sepeda motor dan mobil masing-masing Rp 2.000 dan Rp 5.000 per unit.
Amar (27), pencinta wisata alam, menyebutkan, kebisingan di Telaga Tambing sudah berlangsung sejak 2017. Saat itu, pengunjung berhura-hura pada malam hari dengan menyanyi, berteriak, dan bersahut-sahutan. ”Padahal, sebelum itu, suasanya sangat tenang,” ujarnya.
Data pengunjung akhir pekan dalam sebulan terakhir mengonfirmasi fenomena cendol (kerumunan wisatawan di sebuah destinasi) di Telaga Tambing. Berdasarkan catatan Balai Besar TN Lore Lindu, pada akhir pekan minggu kedua November, pengunjung berjumlah 3.000 orang. Mereka menginap sejak Sabtu hingga Minggu.
Dua akhir pekan sebelumnya, berturut-turut lokasi wisata itu dipenuhi 1.500 pengunjung dan 1.800 orang. Pada Sabtu-Minggu (16-17/11/2019) terdata sekitar 800 pengunjung. Padahal, daya dukung lokasi wisata itu maksimal 700 orang.
Baca juga: Presiden Perintahkan Hitung Daya Dukung Taman Nasional Komodo
Selain kebisingan yang bertolak belakang dengan daya tarik wisata itu, fenomena cendol tersebut mulai menimbulkan potensi masalah lainnya. Salah satunya, akibat terlalu panjang dan lamanya antrean di kamar kecil, banyak pengunjung memilih ”menyelinap” di hutan.
Selain itu, potensi kerusakan keanekagaragam hayati akibat terlalu banyaknya aktivitas manusia juga bukan tidak memungkinkan. Tumbuhan endemik di sekitar Telaga Tambing yang rentan dirusak atau bahkan dicuri antara lain berbagai jenis anggrek (Orchidaceae) dan kantong semar (Nepenthes).
Sampah juga sudah mulai tercecer di sana-sini. Tong sampah, termasuk dari karung, memang ada. Namun, sampah-sampah berbahan plastik terlihat di sejumlah titik. Ada botol air minum kemasan, puntung rokok, kertas tisu, dan kantong kresek.
Bagi Idris Tinulele (47), pelaku wisata minat khusus pengamatan burung, pengelolaan wisata Telaga Tambing yang mengejar jumlah pengunjung (mass tourism) bertolak belakang dengan identitas obyek wisata itu yang mengusung ekowisata (ecotourism). Dalam ekowisata, yang diutamakan ketenangan, kebersihan, kelestarian ekosistem, dan kuota pengunjung.
Untuk wisata pengamatan burung, lanjut Idris, sejauh ini memang belum terlalu mengganggu. Karena akhir pekan telaga disesaki pengunjung, dia biasanya mengantar tamu ke sekitar Telaga Tambing pada awal dan tengah pekan. Meski demikian, kebisingan di telaga bukan tak mungkin menjauhkan burung-burung dari sana.
Baca juga: Taman-taman yang Terancam
Dalam buku Mengenal Taman Nasional Lore Lindu (2003) yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), burung endemik khas TN Lore Lindu antara lain geomalia (Geomalia heinrichi) dan sulawesi thrush (Cataponera turdoides). Geomalia, yang sangat diminati wisatawan mancanegara, sering menjelajahi daerah sekitar Telaga Tambing.
Secara umum, TN Lore Lindu disebut sebagai suaka burung. Dengan letaknya yang berada di kawasan imajiner Wallacea, teridentifikasi sebanyak 267 jenis (70 persen) dari 384 jenis burung di daratan Sulawesi hidup di kawasan seluas 217.991,18 hektar tersebut.
Burung yang bersarang di cagar biosfer tersebut 71 persen berkategori endemik, baik untuk Sulawesi maupun TN Lore Lindu. Burung endemik Sulawesi yang hidup di dalam TN Lore Lindu antara lain rangkong (Bucerotidae) dan maleo (Macrocephalon maleo).
Menurut Idris, Balai Besar TN Lore Lindu sebaiknya segera mencari solusi untuk mengurangi ancaman kerusakan ekosistem di sekitar Telaga Tambing. Salah satunya dengan menciptakan atau mengembangkan ekowisata di sekitar Telaga Tambing agar ”mengurai” konsentrasi pengunjung di telaga.
Membeludaknya pengunjung dalam sebulan terakhir dipengaruhi informasi yang menyebar di antara para pengunjung, seperti adanya konser musik.
Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TN Lore Lindu Wantoko mengakui gejala kelebihan pengunjung (over capacity) di Telaga Tambing belakangan ini. ”Membeludaknya pengunjung dalam sebulan terakhir dipengaruhi informasi yang menyebar di antara para pengunjung, seperti adanya konser musik. Padahal, informasi itu tak benar,” katanya.
Ia pun memastikan, wisata Telaga Tambing berkategori ekowisata. Karena itu, pengunjung harus berwawasan ramah lingkungan. Hal itu selalu disosialisasikan petugas di lokasi dan papan informasi.
Namun, lanjut Wantoko, kesadaran itu tak dengan sendirinya muncul. Ia mencontohkan, meskipun ada tong atau tempat sampah, pengunjung tetap membuang sampah sembarangan. ”Hal lainnya, tingkat kebisingan di lokasi wisata. Padahal, selain untuk ketenangan pengunjung, di lokasi wisata itu juga ada ekosistem lain yang kalau suasananya berlebihan turut terganggu. Semua ini akan terus kami sosialisasikan,” tuturnya.
Ia menegaskan, pengelolaan wisata Telaga Tambing ke depan memperhatikan daya dukung, yakni maksimal 700 pengunjung. Hal itu dilakukan agar ekosistem terjaga dan kenyamanan pengunjung terjamin.
Baca juga: Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Giatkan Ekowisata
Karena tak bisa dilakukan secara frontal dengan langsung membatasi jumlah pengunjung, pihaknya akan mengembangkan obyek wisata alternatif di sekitar Telaga Tambing. Langkah itu mulai dilakukan di Kampung Dongi Dongi, Desa Sedoa, permukiman terdekat dengan telaga. Pengelola balai akan mengembangkan potensi wisata danau di sana.
Langkah cepat perlu diambil pengelola sebelum ekosistem di Telaga Tambing rusak. Kiranya perlu dipertimbangkan dengan matang model pengelolaan lokasi wisata itu, apakah memang mengutamakan uang masuk dari penjualan tiket atau justru mengemasnya menjadi pendidikan konservasi. Wisata alam yang menawarkan ketenangan dan kedamaian juga harus dijamin agar tidak mengecewakan pengunjung.