Gebrakan Awal yang Memberi Harapan
Kondisi sebagian BUMN yang dinilai sarat KKN, sulit berubah, dan minim profit membuat Menteri BUMN Erick Thohir melakukan gebrakan awal dengan aksi ”bersih-bersih”. Seberapa ampuh strategi tersebut mengubah BUMN?
Dalam seminggu terakhir, publik disuguhi tontonan dan drama pencarian ”panglima-panglima” badan usaha milik negara. Mencuatnya nama mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2007-2011 Chandra Hamzah sebagai kandidat ”pendobrak” BUMN menimbulkan tanya, ada apa dengan BUMN?
Harus diakui, kinerja BUMN sejauh ini belum menggembirakan meskipun ada perbaikan. Pada 2018 terdapat 143 BUMN dengan aset mencapai Rp 8.092 triliun. Namun, pendapatan bersih yang dihasilkan hanya Rp 188 triliun atau sekitar 2,3 persen dari total aset. Data ini menyiratkan kemampuan BUMN untuk menghasilkan profit, atau utilisasi aset, relatif rendah.
Berdasarkan data Kementerian BUMN, total utang perusahaan BUMN pada 2018 mencapai Rp 2.394 triliun. Utang itu di luar dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 3.219 triliun. Utang perusahaan BUMN pada 2018 tersebut melonjak 48 persen dibandingkan utang pada 2017 yang sebesar Rp 1.623 triliun.
Kinerja keuangan yang buruk dan minim inovasi mengakibatkan sedikitnya 12 BUMN merugi pada 2018, antara lain PT Asuransi Jiwasraya merugi Rp 15,83 triliun, PT Krakatau Steel rugi Rp 1,09 triliun, dan Perum Bulog minus Rp 961,78 miliar. Selain itu, PT Dirgantara Indonesia rugi Rp 961,78 miliar dan PT PAL Indonesia merugi Rp 304,15 miliar.
Kinerja negatif ini masih ditambah berbagai kasus korupsi yang dilakukan direksi BUMN. Pada 2018, Indonesia Corruption Watch menyebut kerugian negara mencapai Rp 1,3 triliun dari kasus korupsi yang terjadi di 19 BUMN. Korupsi di tubuh BUMN acap kali melibatkan pimpinan BUMN, yakni direktur utama (dirut).
Kondisi BUMN itulah yang mendasari langkah berani Menteri BUMN Erick Thohir melakukan gebrakan awal dengan melakukan ”bersih-bersih” BUMN. Belum sebulan menjabat, Erick banyak melakukan gebrakan yang menyita perhatian publik. Setelah merestrukturisasi internal kementerian, di antaranya akan mengganti sebagian deputi dan pejabat eselon I, Erick juga berencana mengganti sejumlah direksi dan komisaris BUMN strategis. Beberapa nama kini sudah dikantongi.
”Sosok yang dicari adalah seorang ’pendobrak’ dengan akuntabilitas dan transparansi yang jelas. Basuki dan Chandra dinilai memenuhi kriteria itu,” ujar Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dalam talkshow Satu Meja The Forum bertajuk ”Ada Apa dengan BUMN” yang ditayangkan di Kompas TV, dan dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (20/11/2019) malam.
Pembicara lain yang hadir adalah Kepala Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Toto Pranoto, anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, Peneliti Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, politikus Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera, dan mantan Menteri BUMN Tanri Abeng.
Restrukturisasi
Arya dengan lugas menyatakan, Basuki dan Chandra akan menduduki posisi strategis di BUMN. Jabatan yang akan diberikan masih tahap diskusi, tetapi mengerucut antara direksi dan komisaris. Basuki disebut telah melalui proses administrasi sehingga Kementerian BUMN—selaku pemegang saham—tinggal mengajukan namanya dalam rapat umum pemegang saham.
Dalam proses pencarian calon ”pendobrak” BUMN tersebut, publik tetap harus diyakinkan bahwa sosok terpilih berkualitas dan benar-benar memiliki daya dobrak yang kuat. Bukan faktor kedekatan atau ”koncoisme” semata. Mereka harus bisa mengubah kebiasaan BUMN yang monoton dan sarat politik dinasti dengan ide-ide segar. Tak kalah penting, pucuk pimpinan BUMN jangan ada beban dan utang sejarah masa lalu.
”Hidup dan mati suatu korporasi tergantung manajemen direksi dan komisarisnya,” kata Tanri.
Menurut Tanri, banyak BUMN di Indonesia merugi karena manajemen terlalu memble dan ”toleran”. Lobi-lobi gencar dilakukan manakala target kinerja tidak tercapai. Ke depan, kebiasaan tersebut harus dihilangkan. Direksi yang target kinerjanya meleset sebaiknya langsung diganti. Pada saat yang sama, komisaris harus benar-benar berfungsi sebagai pengawas dan pembina agar direksi tidak memiliki kekuatan absolut.
Penguatan manajemen di internal kementerian juga tidak kalah penting. Menteri BUMN sekarang mempunyai dua wakil yang bertugas mengurus portofolio BUMN. Penambahan wakil menteri diikuti pemangkasan jabatan deputi eselon I untuk menghindari tumpang tindih pekerjaan. Erick hanya menyisakan tiga jabatan deputi, yaitu bidang sumber daya manusia, hukum, dan keuangan.
Peta jalan
Restrukturisasi yang sedang dilakukan mesti dibarengi penyusunan peta jalan BUMN yang jelas. Toto mencontohkan, Khazanah, perusahaan induk BUMN Malaysia, telah merancang peta jalan dalam 15 tahun ke depan.
Lima tahun pertama, mereka akan fokus pada perbaikan internal BUMN. Kemudian, lima tahun kedua masuk pasar regional, dan lima tahun ketiga masuk pasar global. BUMN di Indonesia belum mempunyai peta jalan tersebut.
Pemerintah juga harus mulai memikirkan solusi fungsi BUMN yang dilematis. Di satu sisi, BUMN harus menghasilkan keuntungan. Di sisi lain, BUMN dituntut menjalankan kewajiban pelayanan publik yang menyedot banyak dana. BUMN sebaiknya fokus menghasilkan profit. Sementara, fungsi layanan publik bisa dilakukan kementerian teknis.
Sebagai langkah awal, program percepatan (quick wins) ini bisa diimplementasikan pada BUMN dengan aset dan pendapatan terbesar. Hal itu mengingat sekitar 75 persen dari total pendapatan BUMN dihasilkan oleh 25-30 BUMN saja. Boleh-boleh saja gebrakan awal Erick membenahi BUMN. Semoga saja langkah awal yang baik tidak hanya memberi harapan baru, tetapi juga dapat mendorong keberhasilan BUMN di masa datang.
(KARINA ISNA IRAWAN)