Sertifikasi bagi Sawit Menjadi Bukti Legalitas
Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO bagi seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit ditargetkan berlaku wajib di Indonesia. Itu sebagai bukti bahwa hasil sawit dari Indonesia legal dan berkelanjutan.
JAKARTA, KOMPAS – Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil bagi seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit ditargetkan berlaku wajib di Indonesia. Menurut informasi, draf Peraturan Presiden terkait hal itu telah berada di Istana untuk menunggu tanda tangan Presiden.
Menurut Wakil Ketua Tim Pelaksana Penguatan ISPO, Diah Suradiredja, Kamis (21/11/2019) di Jakarta, kementerian-kementerian terkait menyatakan persetujuan atas isi draf Peraturan Presiden itu. Nantinya, sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil atau IPO bisa jadi bukti pada dunia bahwa sawit yang dihasilkan di Indonesia terjamin keberlanjutan dan legalitasnya.
Karena itu, ia berharap Pemerintah Indonesia fokus pada persiapan pelaksanaan ISPO antara lain menjalankan instruksi Presiden terkait moratorium sawit. Inpres moratorium sawit ini jadi persiapan bagi Indonesia, terutama membenahi masalah legalitas kebun-kebun sawit rakyat (kurang dari 25 hektar) sehingga jadi modal awal persyaratan untuk mendaftarkan diri dalam sertifikasi ISPO.
Permasalahan legalitas kebun sawit, terutama yang masuk areal hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan, menjadikan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta Presiden menunda pengesahan Perpres ISPO bagi pekebun kecil. Pihak APKASINDO keberatan karena sertifikasi diwajibkan pula bagi seluruh pelaku usaha sawit, termasuk pekebun kecil.
Baca juga Menanti Kebijakan yang Bermanfaat Nyata bagi Petani Sawit
Alasannya, petani sawit kesulitan memenuhi persyaratan mendasar ISPO yaitu status legalitas karena sebagian berada di kawasan hutan. Surat keberatan APKASINDO itu disampaikan kepada Presiden Joko Widodo tertanggal 7 November 2019.
Sekjen APKASINDO Rino Afrino membenarkan adanya surat keberatan itu, kemarin. “Jika Perpres itu ditandatangani dan diberlakukan, sama artinya menyingkirkan sawit rakyat karena pabrik tidak diperbolehkan membeli tandan buah segar sawit rakyat yang legalitasnya belum lengkap,” ujarnya.
Rino mengatakan persyaratan pertama untuk mendapat sertifikasi ISPO yaitu legalitas lahan, lahan itu harus tidak berlokasi di kawasan hutan. Kondisi saat ini legalitas kebun sawit rakyat ( surat izin pelepasan kawasan hutan, izin usaha perkebunan, surat tanda daftar budidaya (STDB)) belum terselesaikan.
Hal itu membuat program peremajaan sawit rakyat terhambat serta intimidasi pada petani karena dinilai ilegal. Implikasinya, penjualan tandan buah segar (TBS) sawit petani itu dipersoalkan pabrik dan petani tidak bisa akses perbankan.
“Cepatnya pertumbuhan luas areal kebun sawit rakyat yang mencapai 6 juta hektar, tak diikuti perubahan tata ruang, sehingga banyak kebun sawit rakyat bila dilihat peta Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) berada dalam status kawasan hutan (baik Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Lindung). Padahal, sewaktu mereka menanam, tak ada tegakan hutan di sekitarnya,” imbuhnya.
Baca juga Wakil Presiden: Tingkatkan Produktivitas Kebun Sawit
Menjawab keberatan APKASINDO itu, Diah Suradiredja yang juga Penasehat Yayasan Kehati, mengatakan pendataan dan pendaftaran sawit rakyat (STDB) dan percepatan sertifikasi tanah warga diperlukan untuk memastikan kesiapan sawit rakyat melaksanakan ISPO. Kemudian, mengacu pada peraturan perkebunan (UU Perkebunan dan turunannya), sawit rakyat bisa didaftarkan dengan STDB jika luasan per bidang kurang dari 25 hektar.
“Dari digitasi tutupan kelapa sawit yang dilakukan lima kementerian/lembaga, didapatkan informasi bahwa bidang–bidang kelapa sawit yang luasannya di bawah 25 hektar berjumlah lebih dari 1,9 juta hektar. Dari luasan itu, sebanyak 1,2 juta hektar ada di luar kawasan hutan,” ungkapnya.
Jika dinyatakan bahwa sawit non-izin mencapai 6 juta hektar, menurut Diah, sekitar 4,1 juta hektar (luas total 6 juta ha dikurangi 1,9 juta ha kebun rakyat) di antaranya merupakan sawit yang tak bisa dikategorikan sawit rakyat atau berupa kebun plasma yang tanggung jawabnya ada di perusahaan inti. Hasil identifikasi pemerintah menunjukkan 3,1 juta ha kebun sawit berada dalam kawasan hutan.
Dari tutupan sawit di areal hutan itu, tutupan sawit yang luas per bidangnya kurang dari 25 hektar (sawit rakyat) diidentifikasi mencapai 692.000 hektar. Itu berarti sawit di kawasan hutan seluas 2,4 juta hektar yang lain diduga dikuasai perusahaan atau individu/keluarga dengan penguasaan per orang lebih dari 25 hektar yang tidak dapat dikategorikan sebagai sawit rakyat.
Solusi bagi sawit rakyat yang tersandung legalitas itu sudah ada dalam draf Rancangan Perpres yakni memberi kelonggaran 5 tahun bagi pemberlakuan wajib sertifikasi ISPO sawit rakyat. “Periode 5 tahun disiapkan untuk menyelesaikan permasalahan legalitas sawit rakyat dan pembenahan sistem pengelolaan perkebunannya,” katanya.
Selain itu, kewajiban ISPO bagi sawit rakyat bertujuan mendapat data petani demi menghindari klaim berupa sawit rakyat sebagai modus penguasaan lahan oleh pemodal, cukong, dan korporasi besar. Pendataan itu bisa menjadi dasar kuat untuk menyelesaikan legalitas sawit rakyat dan menguatkan kelembagaan petani mengelola kebunnya lebih baik, sehingga punya posisi tawar lebih baik.
Percaya diri
Diah juga menyoroti rencana penyeragaman sertifikasi wajib kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia (Malaysia Sustainable Palm Oil) yang kembali didengungkan dalam Pertemuan Kedua Tingkat Menteri Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (MMPOPC) yang diadakan Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC).
Bahkan dalam konferensi pers usai mengikuti MMPOPC di Kuala Lumpur, Malaysia, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, “Perspektif saya, saya diskusi dengan Teresa Kok (Menteri Industri Primer Malaysia), CPOPC akan kerja standarkan unifiying (menyatukan) ISPO dan MSPO. Butuh waktu bagi CPOPC untuk propose ke member”.
Baca juga Indonesia Ajak Negara Lain Ikuti Bauran Minyak Sawit
Menurut Diah, Pemerintah Indonesia tak perlu mengikuti irama permainan Malaysia yang kini kesulitan memasarkan produk minyak sawit ke India. Indonesia harus percaya diri sebagai produsen utama sawit yang tak bergantung pada langkah Malaysia. Indonesia tinggal memperbaiki tata kelola sawit dalam moratorium sawit serta ISPO.
“Tidak ada gunanya saat ini dan malah membuang waktu. Lebih baik fokus selesaikan ISPO kita yang sudah di meja presiden dan pembenahan sawit di kawasan hutan, perkebunan ilegal sawit rakyat dan HGU di luar kawasan hutan, dan kita punya luasan lahan yang dilepas tapi masih hutan alam,” katanya.
Diah pun mengingatkan, Indonesia memiliki pengalaman baik berupa sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang berhasil diterima Uni Eropa serta sejumlah negara. Situasi hampir sama di masa lalu, Indonesia terus melanjutkan SVLK meski ada tawaran untuk membuat sertifikasi serupa di tingkat regional.
Ia yang juga turut merumuskan SVLK menambahkan, perkayuan Malaysia hingga kini belum bisa diakui dalam FLEGT seperti capaian Indonesia. Ini karena penyusunan sistem tak melibatkan pihak-pihak independen seperti masyarakat madani serta mengecualikan Serawak yang selama ini diduga kuat menjadi tempat “pencucian” kayu asal Indonesia.
"Janganlah menggunakan perkawanan sesama negara produsen (sawit) untuk sebenarnya melawan saingan dagang mereka. Indonesia termasuk negara produsen terbesar sawit jadi lebih baik fokus pada pembenahan dalam negeri, terhadap prioritas target Indonesia seperti biodiesel, replanting, dan isu deforestasi," paparnya.