Pemerintah diminta tidak lagi membangun infrastruktur vital dan bangunan publik di daerah berisiko gempa bumi dan tsunami besar. Sejarah tsunami merusak di Indonesia yang sangat banyak seharusnya jadi pelajaran penting.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta tidak lagi membangun infrastruktur vital serta bangunan publik di daerah berisiko gempa bumi dan tsunami besar. Bangunan yang telanjur ada di zona berisiko harus dipetakan dan diperkuat sistem mitigasi bencananya, bahkan jika perlu dipindahkan sebagaimana dilakukan di Kota Padang, Sumatera Barat.
”Kalau pesisir yang rawan tsunami terus dibangun oleh pemerintah dengan bangunan atau infrastruktur vital, akhirnya masyarakat akan curiga bahwa tsunami hanya omong kosong,” kata peneliti tsunami dari Pusat Riset Kelautan-Badan Riset dan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Semeidi Husrin, di Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Belajar dari peristiwa tsunami sebelumnya, misalnya yang melanda Aceh pada 2004 dan Palu pada 2018, keberadaan infrastruktur vital sangat penting untuk mengamankan proses tanggap darurat, upaya rehabilitasi dan rekonstruksi.
Menurut Semeidi, dibandingkan dengan negara lain, seperti Sri Lanka dan Thailand, wilayah Aceh yang paling parah terkena tsunami 2004, justru berada di luar jangkauan media serta perhatian nasional dan internasional selama beberapa hari pertama setelah tsunami karena sebagian besar infrastruktur vitalnya lumpuh. Sistem transportasi, jaringan komunikasi, serta pasokan energi terputus dan fasilitas pemerintah hancur membuat upaya darurat dan bantuan pasokan tersendat.
Fenomena yang sama terjadi saat gempa dan tsunami Palu pada 2018. Rusaknya pembangkit listrik dan jaringan telekomunikasi, bahkan juga bandar udara, memperlambat penanganan pascabencana.
Oleh karena itu, menurut Semeidi, bangunan pemerintah dan infrastruktur vital, seperti bandara atau sumber energi, seharusnya dibangun di lokasi yang paling aman. Selain untuk mengurangi kerugian ekonomi akibat bencana, hal ini juga memberikan contoh kepada masyarakat untuk mengarusutamakan risiko dalam pembangunan.
Bangunan pemerintah dan infrastruktur vital, seperti bandara atau sumber energi, seharusnya dibangun di lokasi yang paling aman.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, wilayah pesisir di Indonesia yang rentan tsunami sudah dipetakan BMKG. Sedangkan untuk peta sumber bahaya gempa bumi nasional telah dibuat dan selalu diperbarui oleh Pusat Studi Gempa Nasional di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Versi terakhir peta ini telah dikeluarkan pada 2017.
”Sejarah tsunami merusak di Indonesia sangat banyak sehingga seharusnya jadi pelajaran penting bagi kita dalam membangun. Perencanaan pembangunan dan tata ruang harus berbasis risiko gempa bumi dan tsunami,” katanya.
Daryono menambahkan, ke depan kita seharusnya memetakan ulang bangunan-bangunan publik yang telanjur dibangun di zona berisiko tsunami dan disiapkan sistem mitigasinya. Bahkan, jika perlu dipindahkan ke zona lebih aman.
Kepala Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan, pemerintah harus memberikan contoh dengan menjalankan tata ruang berbasis risiko bencana. Jangan sampai justru tata ruang diubah hanya untuk kepentingan tertentu dengan mengabaikan risiko.
Pemerintah harus memberikan contoh dengan menjalankan tata ruang berbasis risiko bencana.
Eko mencontohkan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kulon Progo yang diduga untuk mengakomodasi pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di zona rentan tsunami. Peraturan Daerah RTRW Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2003 jelas menyebutkan, Kecamatan Temon, yang kemudian dipilih menjadi lokasi bandara, merupakan kawasan pertanian lahan kering dan pertanian lahan basah.
Perda itu seharusnya berlaku hingga 2013, tetapi kemudian direvisi melalui Perda RTRW Nomor 1 Tahun 2012. Dalam perda RTRW yang baru ini, yang semula lahan pertanian direvisi menjadi rencana pembangunan bandara.
”Ini menjadi preseden buruk terkait perda tata ruang yang bisa diubah sesuai kepentingan saja. Padahal, risiko tsunaminya tetap ada di sana,” ujarnya.
Contoh Padang
Semeidi mengatakan, Kota Padang bisa menjadi percontohan dalam hal kesadaran untuk merelokasi bangunan-bangunan publik dan pemerintahan dari zona bahaya. ”Kami pernah menganalisis kerentanan tsunami untuk infrastruktur vital di Kota Padang dan berhasil menilai 272 infrastruktur, di mana lebih dari 15 persen di antaranya memiliki Indeks Kerentanan Relatif (RVI) yang tinggi dan sangat tinggi,” ucapnya.
Kota Padang bisa menjadi percontohan dalam hal kesadaran untuk merelokasi bangunan-bangunan publik dan pemerintahan dari zona bahaya.
Namun, Kota Padang kemudian membuat upaya pemindahan pusat pemerintahan dari zona bahaya. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011 pada 18 April 2011, pusat pemerintahan Kota Padang secara resmi dipindahkan dari Kecamatan Padang Barat ke Kecamatan Kototangah.
”Di samping untuk mengurangi konsentrasi masyarakat di kawasan pantai dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat di timur dan utara kota, pemindahan ini juga dilakukan mengingat lokasi pusat pemerintahan kota sebelumnya berada pada zona yang dikategorikan bahaya tsunami,” kata Semeidi.
Kompleks pusat pemerintahan kemudian dibangun di kawasan eks Terminal Regional Bingkuang (TRB) di Air Pacah dan mulai diresmikan penggunaannya pada 30 September 2013.
Sekalipun sukses memindahkan bangunan pemerintahan, menurut Semeidi, Kota Padang belum berhasil mengendalikan bangunan komersial dan hunian di pantai. Padahal, dalam RTRW Kota Padang tahun 2010-2030 yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 4 Tahun 2012 juga sudah diatur mengenai pengendalian kawasan di zona rawan tsunami.
Sekalipun sukses memindahkan bangunan pemerintahan, Kota Padang belum berhasil mengendalikan bangunan komersial dan hunian di pantai.
Pasal 14 RTRW ini menyebutkan, kewajiban untuk membatasi pengembangan hunian di kawasan sepanjang pantai yang rawan terhadap tsunami. Selain itu, diharuskan mengembangkan sarana dan prasarana yang berfungsi untuk mengurangi dampak tsunami serta mengendalikan ruang yang sudah terbangun untuk fungsi-fungsi dengan konsentrasi rendah.