Presiden Joko Widodo mengangkat tujuh anak muda untuk jadi bagian dari staf khususnya. Lingkaran dalam istana dan pemerintahan periode ini lebih besar dibandingkan periode 2014-2019.
JAKARTA, KOMPAS—Lingkaran dalam istana dan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin ditengarai semakin besar jika dibandingkan dengan periode pertama pemerintahan Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla. Jika tanpa disertai dengan target kerja yang jelas dan terukur, kondisi ini justru dapat mengancam efektivitas pemerintahan.
Makin besarnya lingkaran dalam istana dan pemerintahan ini antara lain terlihat setelah pengangkatan sejumlah pejabat seperti staf khusus presiden yang berjumlah 14 orang dan 8 orang staf khusus wapres.
Pejabat yang akan dilantik masih mungkin bertambah karena saat ini masih ada sejumlah posisi yang belum terisi. Posisi itu, misalnya, Wakil Menteri (Wamen) Pendidikan dan Kebudayaan yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2019 tentang Kementerian dan Kebudayaan, serta Wamen Riset dan Teknologi yang diatur dalam Perpres Nomor 73 Tahun 2019 tentang Kemenristek. Ada juga posisi Wakil Panglima TNI yang sampai saat ini belum terisi.
Posisi di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Kantor Staf Presiden (KSP) hingga saat ini juga belum seluruhnya terisi. Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, hari Kamis (21/11/2019), di Jakarta, menegaskan, pengisian jabatan seperti staf khusus presiden- wapres dilakukan sesuai kebutuhan dan bukan untuk akomodasi kepentingan tertentu.
Ia juga menegaskan, banyaknya jabatan di lingkaran dalam istana dan pemerintahan itu tidak akan membuat pemerintahan tidak efektif. ”Harus dibedakan antara jabatan yang struktural dan fungsional. Posisi seperti Wantimpres, KSP, dan Utusan Khusus itu bukan struktura, tetapi fungsional saja atau membantu Presiden dan Wapres sehingga tidak menambah beban kerja pemerintahan,” ujar Fadjroel.
Butuh gagasan segar
Kemarin, Presiden memperkenalkan tujuh dari 14 staf khusus yang akan membantunya. Ketujuh staf khusus baru itu merupakan generasi milenial yang berusia 23-36 tahun dengan beragam keahlian dan latar belakang.
Mereka adalah Adamas Belva Syah Devara (29) yang merupakan pendiri aplikasi belajar Ruang Guru, CEO Creativepreneur Putri Indahsari Tanjung (23), CEO lembaga keuangan mikro PT Amarta Andi Taufan Garuda Putra (32), Ayu Kartika Dewi (36) yang aktif dalam kegiatan perdamaian, CEO Kitong Bisa Gracia Billy Mambrasar (31), sosiopreneur yang juga penyandang disabilitas Angkie Yudistia (32), dan mantan Ketua Umum PB PMII Aminuddin Ma’ruf (32).
Sementara, tujuh staf khusus lain, yang orang lama, diumumkan dalam siaran pers oleh Juru Bicara Presiden, yang juga Staf Khusus Bidang Komunikasi, Fadjroel Rachman. Selain Fadjroel, nama lainnya adalah AAGN Ari Dwipayana, Sukardi Rinakit (bidang politik), Arif Budimanta (juru bicara bidang ekonomi), Diaz Hendropriyono (bidang sosial), Dini Shanti Purwono (juru bicara bidang hukum). Juga Anggit Nugroho, staf khusus, yang merangkap asisten pribadi presiden.
Presiden mengatakan, pengangkatan generasi milenial sebagai staf khusus ini dilakukan karena pemerintah butuh gagasan-gagasan segar dan inovatif. ”Ketujuh anak muda ini akan menjadi teman diskusi saya, harian, mingguan, bulanan, memberikan gagasan-gagasan segar dan inovatif sehingga kita bisa mencari cara-cara baru, cara-cara out of the box, yang melompat untuk mengejar kemajuan negara,” tuturnya.
Presiden Jokowi mengharapkan keberadaan para staf khusus baru itu akan lebih memudahkan pemerintah mengelola negara. Dengan inovasi, gagasan, serta terobosan baru dari para staf khusus milenial itu diyakini sejumlah persoalan bangsa bisa diatasi. Salah seorang staf khusus, Billy, menyatakan, komitmennya membantu Presiden dan pemerintah untuk tidak bekerja dalam bussiness as usual. ”Kami mencoba menimbulkan sense kekinian dan teknologi yang berbeda untuk membuat sistem pemerintahan lebih efektif dan efisien,” ujarnya.
Kontradiktif
Terkait sejumlah jabatan yang masih kosong, anggota Komisi II DPR, Saan Mustopa, berharap Presiden Jokowi segera mengisinya sebelum akhir tahun 2019 agar awal 2020 pemerintahan sudah efektif berjalan. Saan mengingatkan, keputusan Presiden Jokowi-Wapres Amin membentuk banyak jabatan baru akan menimbulkan kesan pemerintahan hanya bagi-bagi kekuasaan.
Saan menilai keputusan membentuk organisasi yang gemuk justru kontradiktif dengan visi-misi Jokowi-Amin, terutama terkait reformasi birokrasi. Presiden gencar mendorong efisiensi dengan melakukan perampingan birokrasi. Di sisi lain malah membentuk organisasi yang gemuk di kabinet dan lingkaran istana.
Menanggapi semakin gemuknya birokrasi yang dibentuk Presiden Jokowi, pengajar Kebijakan Publik Universitas Airlangga, Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo, mengingatkan, keberadaan staf khusus, wakil menteri maupun jabatan lain dibarengi dengan target kinerja yang terukur. (NTA/LAS/INA)