Tinggalan struktur dinding dari bata di Dusun Sumbergayu, Desa Klurahan, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, diduga merupakan bagian dari pusat peradaban era Kerajaan Medang abad ke-10 dan ke-11.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
NGANJUK, KOMPAS — Tim arkeologi Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Jumat (22/11/2019), menyelesaikan tahap pertama penggalian dan pengukuran terhadap struktur diduga tanggul yang tersusun dari bata di Dusun Sumbergayu, Desa Klurahan, Kecamatan Nronggot, Kabupaten Nganjuk. Struktur dari barat daya ke timur laut sepanjang 28 meter, setinggi 2 meter, dan berketebalan 74 sentimeter itu diduga kuat berasal dari era Medang pada abad ke-10 atau ke-11.
Struktur bata ini ditemukan pada Agustus 2019 oleh pemilik lahan bernama Rudi (40) saat hendak membuat septic tank. Saat menggali tanah sedalam 2 meter, ia menemukan bata-bata. Temuan itu kemudian dilaporkan ke aparatur desa dan dilanjutkan hingga ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Tim arkeologi BPBC kemudian melaksanakan peninjauan pada Oktober dan ekskavasi atau penggalian pada bulan ini. Penggalian berlangsung tiga hari dan berakhir pada Jumat.
Dari penggalian itu didapat fakta bahwa bata yang digunakan berdimensi panjang 42-45 cm, lebar 22-24 cm, dan tebal 8-12 cm. Dimensi ini jauh lebih besar daripada yang dipakai di era Majapahit di Trowulan yang dimensi panjang 33-35 cm, lebar 18-20 cm, dan tebal 5-7 cm. Selanjutnya, dimensi bata mengecil hingga ukuran saat ini.
”Dimensi bata yang dipakai setara dengan zaman Kahuripan sampai Singhasari,” ujar Wicaksono Dwi Nugroho, arkeolog BPCB Jatim di lokasi ekskavasi. Sayangnya, di lokasi penggalian belum ditemukan tinggalan lain yang bisa setidaknya mengonfirmasi zaman struktur bata dimaksud.
Wicaksono membandingkannya dengan situs tinggalan Singhasari di proyek Tol Pandaan Malang Seksi 5 Kilometer 37 di Desa Sekarpuro, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Di sini, tim BPCB menemukan fragmen porselen yang bisa diyakini berasal dari era Dinasti Song (abad 10-12 Masehi). Pada saat itu, kerajaan terdekat yang berkuasa adalah Singhasari.
Akan tetapi, menurut pengumpulan data BPCB selama ini, di Kecamatan Ngronggot banyak ditemukan tinggalan kuno. Antara lain reruntuhan benteng, candi, petirtaan, kesatrian, tempat pemeliharaan ternak, hingga balai agung. Dataran Ngronggot dan sebagian kecil wilayah Kecamatan Tanjunganom dan Kecamatan Kertosono, tempat ditemukannya banyak tinggalan, berada di antara Brantas Kuno yang saat ini disebut Kali Balong dan Sungai Brantas.
Dimensi bata yang dipakai setara dengan zaman Kahuripan sampai Singhasari.
Nurul Burhani Muchsin, pendokumentasi temuan kuno di Nganjuk yang tinggal di Desa Klurahan, mengatakan, sejak awal 1990 mengikuti, mencatat, dan akhirnya menggambar semacam peta sebaran tinggalan kuno di Nganjuk. Untuk struktur yang digali di Dusun Sumbergayu, sebenarnya pernah dilaporkan telah ditemukan pada 2005, tetapi ditutup kembali oleh warga karena ada indikasi bata-bata diambil untuk pembangunan hunian.
Peta buatan Burhani ini, menurut Wakil Bupati Nganjuk Marhaden Djumadi, dijadikan salah satu acuan pemerintah untuk membuat kebijakan perlindungan dan pengembangan kegiatan arkeologi di Ngronggot. ”Ini mengindikasikan bahwa ada pusat peradaban, tetapi memang perlu penelitian lebih jauh,” katanya di lokasi penggalian.
Burhani menjabarkan, struktur bata Dusun Sumbergayu kemungkinan adalah keputren. Sekitar 100-200 meter dari Sumbergayu, yakni di Dusun Tamansari, Desa Dadapan, pernah ditemukan 27 lumpang pipisan yang diyakini alat meramu.
Masih di Desa Klurahan, di sebelat barat Sumbergayu, pernah ditemukan situs hamparan lantai bata yang diyakini bekas pendapa agung lalu terowongan bawah tanah dan segaran (14 hektar). Di Klurahan juga ditemukan bekas pasar besar tepatnya di Dusun Sukorejo yang berada di barat daya Sumbergayu.
”Juga pernah ditemukan bekas-bekas struktur susunan bata secara sporadis yang jika kemudian digambar dimungkinkan merupakan benteng yang mengelilingi kawasan seluas 1.225 hektar,” kata Marhaen. Untuk itu, pemerintah mempertimbangkan untuk membuka kerja sama dengan lembaga atau kampus yang menguasai teknologi LIDAR (light, detection, and ranging).
Juga pernah ditemukan bekas-bekas struktur susunan bata secara sporadis yang jika kemudian digambar dimungkinkan merupakan benteng yang mengelilingi kawasan seluas 1.225 hektar.
Ini kata Marhaen merupakan teknologi peraba atau pemindai rupa bumi jarak jauh optik untuk mendapatkan skema tiga dimensi. Harapannya, dari sebaran tinggalan akan terkonfirmasi apakah peradaban di Ngronggot merupakan Kerajaan Medang atau bagian yang sezaman dengannya.
Selain itu, dari sumber-sumber tertulis dalam prasasti dan hasil penelitian terdahulu, suatu daerah di Jatim di timur Sungai Brantas (Kuno) menjadi lokasi pendirian Kerajaan Medang (Kerajaan Mataram Hindu Jatim) oleh Pu Sindok yang menurut prasasti-prasasti yang dikeluarkannya merupakan penerus Kerajaan Mataram Hindu Jateng.
Menurut Prasasti Pucangan (Calcutta Stone), Medang runtuh pada abad ke-11 dalam peristiwa yang disebut Mahapralaya. Ditasirkan, peristiwa itu adalah serangan sejumlah aliansi kerajaan di Jateng yang bersekutu dengan Sriwijaya bersamaan dengan pagebluk atau bencana alam.
Prasasti menceritakan, raja terakhir saat itu adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Pu Sindok, yang tewas saat serangan ketika hendak menikahkan anaknya dengan Airlangga yang kemudian merupakan mendirikan Kerajaan Kahuripan. Dalam prasasti, Airlangga diceritakan melihat Jawa dipenuhi lautan putih (buih) yang ditafsirkan sebagai banjir bandang dari Sungai Brantas Kuno.
Setelah Mahapralaya, bisa diyakini pusat peradaban hancur dan ditinggalkan. Barulah pada abad ke-14 sebagian pusat peradaban di Ngronggot ini dibuka kembali dan mungkin ditetapkan sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit. ”Sampai dengan sekarang, pusat peradaban Medang belum terkonfirmasi. Penelitian lanjutan dan pemindaian dengan LIDAR terhadap situs-situs tinggalan di Ngronggot saya yakin bisa membantu mengungkapkannya,” ujar Wicaksono.