Sepanjang tahun 2019 tercatat 107 pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur yang bekerja di Malaysia dipulangkan. Mayoritas pekerja itu diberangkatkam tidak sesuai prosedur alias ilegal.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan terhadap tenaga kerja atau pekerja migran Indonesia masih lemah. Sepanjang tahun 2019 tercatat 107 pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur yang bekerja di Malaysia dipulangkan. Mayoritas pekerja itu diberangkatkam tidak sesuai prosedur alias ilegal.
Untuk itu pemerintah diminta memberikan perhatian khusus terhadap masalah perdagangan orang, menyusul berbagai kasus yang menimpa sejumlah korban perdagangan orang baik di dalam maupun luar negeri. Modusnya beragam mulai dari eksploitasi tenaga kerja hingga eksploitasi/perbudakan seksual.
Salah satunya, kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia (PMI) dari Nusa Tenggara Timur yang bekerja di luar negeri. Dalam beberapa tahun terakhir jumlah PMI asal NTT yang bekerja di Malaysia yang dipulangkan ke Tanah Air karena meninggal terus meningkat.
Data yang dihimpun Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JarNas Anti TPPO) hingga Jumat (22/11/2019) jumlah PMI asal NTT yang dipulangkan dari Malaysia dalam kondisi meninggal mencapai 107 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 26 perempuan dan 81 laki-laki. Hanya satu yang diberangkatkan sesuai prosedur, sedangkan 106 lainnya non prosedural.
“Itu baru warga dari NTT yang tercatat dan dipulangkan jenazahnya. Padahal ada banyak dari daerah lain. Kami masih mengumpulkan data-data dari daerah lain,” ujar Ketua Jarnas TPPO Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, saat berkunjung ke Harian Kompas, Jumat, petang.
Awal pelan ini, Selasa (19/11/2019) jenasah Fransiskus Kopong, warga Adonara, Kabupaten Flores Timur, PMI yang bekerja di Malaysia tiba di Kupang. Bahkan jumlah jenasah yang dipulang bertambah satu, setelah Jumat petang JarNas menerima kabar Yongki Seran, warga Waimana, Kabupaten Malaka yang meninggal di Malaysia dan jenazahnya sedang disiapkan untuk dipulangkan ke NTT.
Sebelumnya pada tahun 2018, sebanyak 105 jenasah PMI dipulangkan ke NTT terdiri 71 orang laki-laki dan 34 orang perempuan. Tahun 2017 sebanyak 62 jenasah (43 laki-laki dan 19 perempuan. Hampir semuanya diberangkatkan non prosedural.
Hampir semua jenasah pekerja migran yang dipulangkan ke NTT merupakan pekerja migtan yang diberangkatkam non prosedural. Di antara korban terdapat anak-anak perempuan, yang ketika diberangkatkan ke Malaysia usianya diubah.
Selain melalui perdagangan orang melalui pengiriman pekerja migran Gabriel Goa, Sekretaris II JarNas Anti TPPO yang juga Direktur Advokasi Parinama Astha, menambahkan, beberapa tahun terakhir praktik perdagangan orang bermodus pengantin pesanan dari China juga marak. Korbannya paling banyak yakni perempuan dari Kalimantan Barat.
Di dalam negeri, JarNas Anti TPPO juga mendapat laporan perdagangan orang di beberapa wilayah seperti Batam dan Papua, untuk eksploitasi seksual.
Penegakan hukum lemah
Oleh karena itu, JarNas Anti TPPO sangat mengharapkan perhatian yang serius dari pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan perdagangan orang itu.
”Perjuangan melawan perdagangan orang seringkali masih mengalami hambatan. Misalnya untuk proses penegakan hukum, selain penggunaan undang-undang yang tidak tepat, pemahaman aparat penegak hukum soal TPPO juga masih minim," ujar Rahayu.
Terkait persoalan TPPO yang menimpa perempuan dan anak, sehari sebelumnya, Kamis (21/11/2019) JarNas TPPO juga menemui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Gusti Ayu Bintang Darmawati. Rahayu meminta Menteri PPPA selaku Ketua Harian Sub Gugus Tugas TPPO memastikan adanya perlindungan bagi perempuan dan anak di Indonesia.
JarNas yang didukung lebih dari 20 organisasi masyarakat sipil siap bekerjasama dengan KPPPA dalam mengakhiri permasalahan perdagangan orang di Indonesia.
Menteri PPPA Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan melalui Gugus Tugas TPPO pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk pencegahan perdagangan orang, melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Selain itu, pemerintah melakukan sosialisasi untuk memberikan informasi kepada masyarakat terkait TPPO, modus-modus baru yang berkembang, bahaya dan dampaknya.
Mengenai korban TPPO, menurut data yang diperoleh Kedeputian Perlindungan Hak Perempuan (PHP) KPPPA berdasarkan data gabungan Polda dan Bareskrim Polri tahun 2018, terdapat 95 kasus TPPO. Sebelumnya, 123 kasus (2017) dan 110 kasus (2016).
Adapun jumlah korban perempuan dewasa sebanyak 184 orang (2016), 1.350 orang (2017), dan 190 orang (2018). Sementara korban anak perempuan 67 orang (2016), 89 orang (2017), 18 orang (2018). Korban anak laki-laki 81 orang (2016), 11 orang (2017), dan 79 orang (2018).
Terkait kasus TPPO modus pengantin pesanan, sejak akhir Juni 2019 hingga akhir kini, lebih dari 30 perempuan yang diduga menjadi korban perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan dari China berhasil dipulangkan ke Tanah Air. Ada yang dipulangkan dengan bantuan Kementerian Luar Negeri (18 orang) dan dipulangkan melalui bantuan Serikat Buruh Migran Indonesia (17 orang). Korban berasal dari Kalbar, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Banten. (SON)