Lemahnya perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia atau pekerja migran membuat mereka rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Sepanjang 2019, sebanyak 107 jenazah pekerja migran Indonesia asal NTT dipulangkan.
Oleh
·3 menit baca
Sepanjang 2019 tercatat 107 jenazah pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur dipulangkan. Hal itu mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap pekerja migran.
JAKARTA, KOMPAS—Lemahnya perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia atau pekerja migran membuat mereka rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Sepanjang 2019, sebanyak 107 jenazah pekerja migran Indonesia asal NTT dipulangkan. Mayoritas dari mereka diberangkatkan tidak sesuai prosedur atau ilegal.
Untuk itu, pemerintah diminta memberikan perhatian khusus soal perdagangan orang, menyusul maraknya kasus itu di Indonesia. Modusnya mulai dari eksploitasi tenaga kerja hingga eksploitasi atau perbudakan seksual, seperti yang kerap terjadi di NTT.
”Itu baru dari NTT yang tercatat dan dipulangkan jenazahnya. Ada banyak korban dari daerah lain. Kami masih mengumpulkan data dari daerah lain,” kata Ketua Jarnas Anti TPPO Rahayu Saraswati Djojohadikusumo saat berkunjung ke harian Kompas, kemarin.
Selasa (19/11), jenazah Fransiskus Kopong, warga Adonara, Kabupaten Flores Timur, yang bekerja di Malaysia, tiba di Kupang. Kemarin petang, Jarnas menerima kabar bahwa Yongki Seran, warga Waimana, Kabupaten Malaka, meninggal di Malaysia dan jenazahnya akan dipulangkan ke NTT.
Pada 2018, 105 jenazah PMI dipulangkan ke NTT, yakni 71 laki-laki dan 34 perempuan. Tahun 2017 ada 62 jenazah (43 laki-laki dan 19 perempuan). Dari penelusuran, diketahui anak-anak perempuan yang diberangkatkan nonprosedural ke Malaysia usianya diubah.
Selain perdagangan orang melalui pengiriman pekerja migran, Gabriel Goa, Sekretaris II Jarnas Anti TPPO yang juga Direktur Advokasi Parinama Astha, menambahkan, praktik perdagangan orang bermodus pengantin pesanan dari China pun marak. Korban terbanyak ialah para perempuan dari Kalimantan Barat. Jarnas Anti TPPO juga menerima laporan perdagangan orang di beberapa wilayah, seperti Batam dan Papua, untuk eksploitasi seksual.
Penegakan hukum
Jarnas Anti TPPO berharap perhatian serius pemerintah menuntaskan soal perdagangan orang. ”Perjuangan melawan perdagangan orang kerap terhambat. Misalnya untuk penegakan hukum, selain penggunaan undang-undang tak tepat, pemahaman aparat hukum soal TPPO minim,” kata Rahayu.
Terkait TPPO menimpa perempuan dan anak, Kamis, Jarnas Anti TPPO menemui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Rahayu minta Menteri PPPA selaku Ketua Harian Sub-Gugus Tugas TPPO memastikan perlindungan perempuan dan anak. Jarnas Anti TPPO didukung lebih dari 20 organisasi masyarakat sipil siap bermitra dengan Kementerian PPPA mengakhiri perdagangan orang di Indonesia.
Gusti Ayu menyatakan, lewat Gugus Tugas TPPO, pemerintah berupaya mencegah perdagangan orang melalui koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Selain itu, sosialisasi terkait TPPO, modus baru yang berkembang, bahaya dan dampaknya terus dilakukan. Sesuai data Kementerian PPPA dari Polri, pada 2018 ada 95 kasus TPPO. Adapun pada 2017 tercatat 123 kasus. (SON)