Ati Sriati, Soprano Berusia 72 Tahun yang Masih Terus Bernyanyi
Usia 72 tahun belum cukup membendung kiprah Ati Sriati di dunia tarik suara. Lebih dari setengah abad penyanyi sopran itu setia melantunkan lagu-lagu seriosa rasa Indonesia.
Usia 72 tahun belum cukup untuk membendung kiprah Ati Sriati di dunia tarik suara. Lebih dari setengah abad penyanyi sopran itu setia melantunkan lagu-lagu seriosa. Kini, lengkingan suaranya menjadi lebih berarti lewat semangat berbagi dalam konser amal.
Suara tinggi Ati memecah keheningan di Auditorium Institut Francais Indonesia (IFI), Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (3/11/2019). Lantunan lagu ”Kisah Angin Malam” karya Saiful Bahri membuka konser amal Nada-nada nan Tak Bertepi yang digelar Mainteater tersebut.
Malam itu, Ati tidak tampil sendiri. Dia juga berduet dengan penyanyi tenor Farman Purnama untuk menyanyikan tiga lagu lain. Total ada 11 lagu yang ia bawakan, 8 di antaranya dibawakan secara solo.
Diiringi pianis Yohanes Siem, penampilan Ati semakin elegan. Yohanes merupakan lulusan Konservatorium Musik Prince Claus di Groningen, Belanda, yang sudah tampil di sejumlah negara, seperti Thailand, China, Belanda, dan Jerman.
Konser juga disisipi pembacaan narasi oleh Direktur Umum Mainteater Heliana Sinaga. Alhasil, pertunjukan malam itu ibarat konser musik bernuansa teater.
Kualitas vokal Ati tidak luntur dikikis usia. Suara tingginya tetap konsisten hingga menyanyikan lagu terakhir ”Musica Proibita (Forbidden Music)”. Ratusan penonton menyambutnya dengan tepuk tangan meriah di setiap akhir lagu. Selama 58 menit, dia menyanyikan lagu berbahasa Indonesia, Inggris, Italia, dan Perancis.
Akan tetapi, Ati merasa penampilannya belum sempurna. Di setiap konser, ia selalu mencari kekurangan dirinya. Hal itu yang membuatnya tidak berhenti belajar dan terus mengevaluasi diri. ”Saya masih harus banyak belajar. Salah satunya dalam mengambil jeda untuk mengatur pernapasan,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Cibeunying, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (9/11/2019).
Ati enggan jam terbangnya lebih dari 50 tahun di pentas musik seriosa disebut istimewa. Konser demi konser tidak hanya menempa vokalnya, tetapi juga menempa kepribadiannya. Dia tetap rendah hati.
Terlambat belajar
Sejak berusia enam tahun, Ati terbiasa mendengarkan musik klasik lewat piringan hitam yang diputar orangtuanya. Namun, saat itu dia belum tertarik belajar olah vokal. Ketika berusia 15 tahun, perempuan kelahiran Sukabumi itu bergabung dengan kelompok angklung SMP Negeri 5 Bandung. Ati pun mulai sering tampil dari panggung ke panggung.
Dalam sebuah penampilan bersama grup angklung Guriang pada 1969, Ati bertemu dengan teman ayahnya, Daeng Soetigna. Daeng, maestro angklung, menyarankannya belajar bernyanyi dengan guru vokal Corry Tobing. Dia juga dianjurkan mendengarkan lagu-lagu Maria Callas, salah satu penyanyi opera paling terkenal di abad ke-20.
Saran itu ia ikuti ketika usianya 22 tahun. Selama setahun, ia menimba ilmu mengenai dasar-dasar suara sopran dari Corry. ”Saya belajar vokal saat berusia 22 tahun. Bisa dibilang terlambat dibandingkan dengan kebanyakan penyanyi yang belajar sejak kecil,” ujarnya.
Selanjutnya, Ati melanjutkan belajar vokal kepada tetangganya, Elga Oe, selama delapan bulan. Elga merupakan pelatih paduan suara di gereja. Ati merupakan satu-satunya murid Elga yang bukan warga gereja.
Bagi Ati, belajar bisa kepada siapa saja dan di mana saja. Bahkan, dia tidak gengsi bertanya kepada musisi yang lebih muda. Setelah itu, Ati tidak pernah lagi mengikuti les vokal. Dia menjadikan pengalaman sebagai guru terbaiknya. Bertanya kepada banyak orang, termasuk kepada penonton yang menyaksikan konsernya.
Dia memperkaya referensi dengan membaca buku dan mendengarkan musik klasik hampir setiap hari. Beberapa penyanyi sopran yang sering didengarkan adalah Maria Callas, Nellie Melba, Dame Joan Alston Sutherland, dan Maria Caniglia.
Sulit kalau harus meniru karakter orang lain. Intinya jangan pernah bosan mendengarkan lagu-lagu klasik.
Akan tetapi, gaya bernyanyi Ati tidak terpatok oleh penyanyi ”Belajarnya mengalir saja. Sulit kalau harus meniru karakter orang lain. Intinya jangan pernah bosan mendengarkan lagu-lagu klasik,” ujarnya.
Nama Ati Sriati semakin dikenal setelah menjuarai Bintang Radio dan Televisi Jenis Suara Seriosa Tingkat Jabar tujuh kali berturut-turut dalam kurun waktu 1975-1982. Selanjutnya dia menjuarai kompetisi serupa untuk tingkat nasional pada 1982.
Prestasi itu kian melambungkan namanya. Dia tampil dalam banyak konser di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Pada pertengahan 1980-an, Ati berkesempatan mengenalkan suara emasnya ke luar negeri. Dengan sponsor dari Rotary Club, dia tampil dalam konser di Singapura dan beberapa kota di Australia. Tidak hanya di Asia, suara emas Ati juga mengantarkannya ke Eropa. Dia mendapat undangan pribadi tampil di Perancis dan Inggris.
Ati memanfaatkan kesempatan itu untuk menjadi ”duta” seriosa Indonesia. Selain menyanyikan lagu-lagu berbahasa asing sesuai permintaan pengundang, dia juga melantunkan lagu berbahasa Indonesia, seperti ”Kisah Mawar di Malam Hari”, ”Setitik Embun”, ”Puisi Rumah Bambu”, dan ”Mari Berdendang”.
”Mereka cukup terkejut mendengarnya. Saya bangga karena bisa ikut mengenalkan seriosa Indonesia ke luar negeri,” ujarnya.
Konser amal
Puluhan tahun bernyanyi seriosa tak membuat Ati bosan. Usia lanjut bukan alasan berhenti bernyanyi. Bahkan, ia memberi warna baru dalam kariernya. Sejak 2011, ia terjun dalam konser amal untuk membantu orang-orang yang dalam kesusahan.
Bersama Mainteater, Ati tampil dalam konser Wanita dalam Nada di Bandung, sembilan tahun lalu. Konser amal itu digelar dalam rangka Hari Kartini. Dua tahun berselang, Ati beraksi di konser La nuit d’amour di Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung yang ditujukan untuk membantu anak-anak yatim piatu. Selanjutnya dia tampil dalam konser amal Gadis Bernyanyi Nyaring di Cerah Hari pada 2017.
Sementara konser Nada-nada nan Tak Bertepi digelar untuk menggalang dana bagi Pusat Pengembangan Potensi Anak (Pusppa) Surya Kanti Bandung. Yayasan ini merupakan badan sosial non-profit yang bergerak di bidang potensi anak. Fokusnya mendeteksi gangguan perkembangan anak usia dini.
Suara saya ini karunia Tuhan. Jadi, saya ingin terus memperdengarkannya. Kalau bisa untuk membantu orang lain, kenapa tidak dimanfaatkan
Bagi Ati, konser amal ibarat ungkapan rasa syukurnya kepada Tuhan. Dia sangat terbuka kepada pihak yang ingin berkolaborasi dengannya untuk menggelar konser amal. ”Suara saya ini karunia Tuhan. Jadi, saya ingin terus memperdengarkannya. Kalau bisa untuk membantu orang lain, mengapa tidak dimanfaatkan,” ujarnya.
Penyanyi tenor Farman Purnama mengaku bangga setiap berduet dengan Ati. Dia memuji konsistensi Ati dalam menyanyikan lagu-lagu seriosa. ”Karier panjang yang luar biasa. Semoga kiprah Ibu Ati menginspirasi penyanyi-penyanyi muda di musik klasik,” ujar Farman.
Malam itu, konser Nada-nada nan Tak Bertepi berakhir dengan indah. Ati berdiri di dekat pintu untuk menyalami penonton yang akan meninggalkan gedung pertunjukan. Senyum merekah melambangkan sikap ramahnya sehingga membuat penonton semakin berkesan.
Ati tidak tahu sampai kapan akan terus bernyanyi. Usia senja bukan penghalang untuk membuat setiap konsernya semakin berarti. Seperti tema konser malam itu, dia ingin semangat berbagi itu tidak bertepi.
Ati Sriati
Lahir: Sukabumi, 5 November 1947
Suami: Soedaryanto (almarhum)
Anak: A Robiana, Yudy Ibrahim, Dody Koesdiyanto
Profesi: penyanyi sopran
Prestasi:
- Juara Bintang Radio dan Televisi Jenis Suara Seriosa Tingkat Jabar tujuh kali berturut-turut dalam kurun waktu 1975-1982
- Juara Bintang Radio dan Televisi Jenis Suara Seriosa Tingkat Nasional 1982.