Evo Morales dan Redupnya Politik Kiri di Amerika Selatan
Mundurnya Presiden Bolivia Evo Morales bersamaan dengan datangnya gelombang yang menggulung gerakan politik kiri di negara-negara di kawasan Amerika Latin. Anjloknya harga minyak turut memengaruhi gejolak kawasan.
Gelombang unjuk rasa yang tidak puas atas penyelenggaraan pemilu di Bolivia memaksa Presiden Evo Morales mengundurkan diri. Mundurnya Morales bersamaan dengan datangnya ombak yang menggulung gerakan politik kiri di negara-negara kawasan Amerika Latin. Melemahnya harga minyak dunia turut mempercepat perubahan geopolitik Amerika Latin.
Evo Morales mengundurkan diri sebagai Presiden Bolivia pada 10 November 2019. Walau terpilih sebagai presiden pada Pemilu Bolivia, Oktober 2019, gelombang unjuk rasa menentang hasil pemilu. Morales dituduh telah mengintervensi dan melakukan kecurangan pada proses penghitungan suara pemilu tersebut.
Pernyataan resmi Pemerintah Bolivia yang dikutip BBC menyatakan bahwa Morales berhasil mengalahkan Carlos Mesa dengan perolehan suara 47,1 persen melawan 36,5 persen. Hasil tersebut kemudian mendorong Morales mendeklarasikan diri sebagai presiden terpilih Bolivia. Morales menuduh bahwa gerakan demonstrasi yang menentangnya merupakan upaya kudeta.
Aksi demonstrasi yang menentang periode kepresidenannya yang keempat itu dipantik oleh laporan dari Organization of American States (OAS), organisasi internasional prodemokrasi, yang mengungkap adanya kejanggalan dalam Pemilu Bolivia.
Organisasi ini menemukan dugaan penggelembungan suara oleh kubu Morales agar ia tidak harus bertarung pada pemilu putaran kedua melawan Carlos Mesa. Aturan pemilu di Bolivia mengharuskan adanya pemilu putaran selanjutnya jika kemenangan salah satu calon masih di bawah angka 10 persen.
Morales merupakan presiden pertama Bolivia yang berasal dari masyarakat adat Bolivia. Ia mulai dikenal ketika menjadi salah satu aktivis yang mendukung petani koka, bahan dasar dari kokain, dan membidani lahirnya Partai Movimento Al Socialisme atau Gerakan untuk Sosialisme. Morales berhasil terpilih sebagai Presiden Bolivia pada 2006 dan bertahan selama nyaris 14 tahun dengan memenangi tiga pemilu berturut-turut.
Gelombang Merah Jambu
Naiknya Morales ke tampuk kekuasaan tidak lepas dari momentum naiknya pamor politik berhaluan kiri di kawasan Amerika Selatan saat itu. Gelombang politik ini biasa disebut dengan fenomena Gelombang Merah Jambu (Pink Tide).
Gelombang ini dimulai saat Hugo Chavez memenangi Pemilu Venezuela tahun 1998. Berawal dari seorang gerilyawan, Chavez akhirnya menduduki kursi nomor satu di Venezuela selama 15 tahun hingga kematiannya pada 2013.
Walaupun Chavez menjalankan pemerintahan yang otoriter, ia dicintai oleh masyarakatnya karena berbagai program sosialnya, seperti kesehatan dan pendidikan.
Chavez harus membayar mahal dalam mewujudkan visinya. Walau memenangi pemilu, kelompok oposisi masih menguasai parlemen Venezuela pada awal pemerintahan Chavez.
Oposisi yang tidak seide dengan Chavez sempat berhasil menggalang massa yang berujung pada upaya kudeta pada 2002. Tak ada ampun, Chavez pun membungkam upaya kudeta ini dengan kekuatan militer dan serangkaian reformasi pemerintahan.
Dengan agresif, ia menempatkan kelompok pendukungnya, Chavista, di badan yudikatif dan legislatif Venezuela serta memastikan kontrol penuh atas semua pilar pemerintahan negaranya.
Agresivitas Chavez juga tampak di segi ekonomi. Untuk merealisasikan program sosial yang ia janjikan, dibutuhkan modal ekonomi yang kuat. Momentum naiknya harga minyak dunia pun ia manfaatkan untuk menggenjot pendapatan negara.
Di bawah tangan besi Chavez, perjanjian bagi hasil antara Venezuela dan berbagai perusahaan minyak berhasil direnegosiasi. Sebagai salah satu negara penghasil minyak terbesar, perjanjian baru ini berhasil memompa pendapatan negara secara signifikan.
Langkah Chavez berbuah manis. Menurut data dari Bank Dunia, angka harapan hidup di Venezuela berhasil naik sebanyak dua tahun, dari 72 tahun pada 1998 menjadi 74 tahun pada 2012.
Hal ini menjadi cerminan keberhasilan Chavez dalam mengurangi angka kematian bayi secara signifikan selama masa pemerintahannya. Tak hanya berhasil di atas kertas, rakyat yang merasakan nikmatnya program sosial Chavez pun rela untuk terus ia pimpin hingga akhir hayatnya.
Kesuksesan Chavez pun dilirik oleh negara-negara tetangga Venezuela. Masyarakat di negara kawasan Amerika Selatan yang kecewa akan kegagalan pemerintahnya dalam menghadirkan kesejahteraan akhirnya tergiur oleh ide-ide politik kiri yang dibawa oleh Chavez.
Para pemimpin sosialis di Amerika Selatan berjatuhan. Krisis ekonomi yang dipicu oleh merosotnya harga minyak juga dirasakan oleh hampir semua negara di kawasan tersebut.
Tak ayal, nama nama besar seperti Lula da Silva di Brasil, Evo Morales di Bolivia, Nestor Kirchner di Argentina, dan berbagai tokoh politik berhaluan kiri berhasil menduduki kursi pemerintahan di negara-negara di kawasan Amerika Selatan.
Serupa dengan Venezuela, para pemimpin di Amerika Selatan mulai menerapkan kebijakan yang berhaluan kiri. Berbagai program, seperti redistribusi kekayaan melalui peningkatan pajak hingga program nasionalisasi perusahaan asing, yang agresif pun dicanangkan.
Formula nasionalisasi dan momentum naiknya harga minyak dunia nyatanya berhasil membantu pemimpin-pemimpin berhaluan kiri tersebut untuk mengukuhkan posisinya hingga lebih dari satu dekade.
Kematian Chavez
Tahun 2013 dan 2014 menjadi titik balik dari gelombang politik kiri di Amerika Latin. Saat itu terjadi dua peristiwa yang mengubah arah politik di kawasan ini. Kedua hal tersebut adalah kematian Hugo Chavez pada 2013 dan terjunnya harga minyak dunia pada 2014.
Setelah kematian Chavez, pemerintahan Venezuela dilanjutkan oleh Nicolas Maduro, mantan Wakil Presiden Venezuela dan salah satu orang kepercayaan Chavez. Posisinya sebagai tangan kanan Chavez tidak menjadi garansi bagi mulusnya jalan Maduro di pemerintahan, bahkan setelah ia memenangi pemilu secara sah.
Alih-alih memberikan Maduro jalan tol menuju kursi nomor satu Venezuela, kematian Chavez malah menimbulkan perebutan kekuasaan politik di negara tersebut. Beberapa kelompok, seperti kelompok aktivis sipil yang berhaluan kiri, anggota militer yang terlibat pemberontakan bersama Chavez, pemimpin daerah, dan pihak oposisi memperebutkan kursi kepresidenan Venezuela.
Cara yang mereka tempuh bermacam-macam, tetapi umumnya keempat fraksi tersebut melakukan mobilisasi aksi demonstrasi. Serupa dengan mentornya, Maduro pun menggunakan kekuatan militer untuk menekan para pihak yang menentangnya.
Kekacauan politik ini diperparah dengan hancurnya performa ekonomi Venezuela. Venezuela yang 90 persen ekonominya bergantung pada ekspor minyak menjadi salah satu negara yang terdampak oleh jatuhnya harga minyak dunia.
Jatuhnya harga minyak dunia dari 115 dollar AS per barel menjadi di bawah 60 dollar AS per barel dalam kurun waktu kurang dari satu tahun berujung petaka bagi Maduro.
Dengan kondisi ekonomi yang terpuruk, Maduro pun tak mampu melanjutkan program sosial Chavez. Ujungnya, masyarakat yang tak puas karena kesejahteraan yang menurun pun menggulingkan Maduro dari kursi kepresidenan Venezuela pada awal tahun 2019.
Kekecewaan
Sesuai dengan teori efek domino, para pemimpin sosialis di Amerika Selatan ini berjatuhan. Krisis ekonomi yang dipicu oleh merosotnya harga minyak juga dirasakan oleh hampir semua negara di kawasan tersebut.
Serupa dengan kejadian di Venezuela, pemerintah yang terbuai dengan industri perminyakan tidak mampu mempertahankan performa ekonominya dan jatuh ke dalam lubang resesi.
Dari segi politik, kekuasaan yang digenggam oleh partai dan golongan sayap kiri selama lebih dari satu dekade pun terbukti melahirkan pemerintahan yang bobrok. Praktik oligarki hingga korupsi menjangkiti negara-negara di kawasan ini.
Salah satu contoh ialah kasus korupsi Petrobras yang melibatkan Lula da Silva dan Dilma Rousef di Brasil, dua mantan presiden dengan haluan politik kiri Brasil. Akibatnya, masyarakat yang kecewa pun mulai beralih ke gerakan politik kanan yang dianggap menjadi pilihan alternatif.
Seperti gelombang kiri yang menyapu, gelombang politik kanan pun mulai menggulung negara-negara di kawasan Amerika Selatan. Pada 2019, dari 16 negara di kawasan ini, separuh di antaranya dipimpin oleh tokoh dari sayap kanan atau jatuh ke krisis politik.
Beberapa negara yang akhirnya dipimpin oleh partai sayap kanan ialah Brasil yang dipimpin oleh Jai Bolsonaro, Peru yang dipimpin oleh Martin Vizcarra, Chile dengan Presiden Sebastian Pinera, Kolombia yang dipimpin oleh Ivan Duque Marquez, Ekuador dengan Lenin Moreno sebagai presiden, serta Paraguay yang dipimpin oleh Mario Abdo Benitez.
Dua negara yang jatuh ke dalam krisis politik ialah Venezuela dan Bolivia. Tidak hanya itu, perubahan arah politik ini terjadi dalam kurun waktu yang relatif bersamaan, pada tahun 2017, 2018, dan 2019.
Negara yang masih dikuasai oleh mantra gerakan kiri di kawasan ini didominasi oleh negara yang relatif kecil, seperti Guyana, Trinidad Tobago, Suriname, dan Aruba. Satu-satunya negara berpengaruh yang masih belum terinfeksi oleh gerakan populis sayap kanan di kawasan Amerika Selatan ialah Uruguay, yang hingga kini masih dipimpin oleh Tabare Vazquez, salah satu tokoh politik sayap kiri.
Melihat fenomena ini, lanskap politik di kawasan Amerika Selatan akan sangat berubah. Dari segi hubungan internasional, relasi Amerika Serikat dengan negara di kawasan ini akan semakin melembut akibat hilangnya perbedaan ideologi.
Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang lebih condong kanan, seperti kemudahan masuknya investasi asing, akan semakin marak. Sedangkan kebijakan yang lebih condong ke haluan kiri, seperti kesejahteraan sosial, akan semakin ditinggalkan. (Litbang Kompas)