Dalam 12 tahun terakhir tak banyak pilihan untuk menggantungkan harapan meraih prestasi dari tenis. Bahkan, hanya untuk level SEA Games, petenis yang ditargetkan mendapat medali adalah “petenis itu-itu lagi".
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Kehadiran dua petenis yang lahir pada era 2000-an, Priska Madelyn Nugroho (16) dan Ari Fahresi (17), dalam tim untuk SEA Games 2019 di Filipina menjadi angin segar untuk masa depan tenis Indonesia. Namun, untuk meraih medali pada SEA Games 2019, Indonesia tampaknya masih harus mengandalkan senior-senior, seperti Christopher ”Christo” Rungkat, Jessy Rompies, dan Beatrice Gumulya.
Sepuluh petenis akan memperkuat Indonesia dalam perebutan lima medali emas di Rizal Memorial Tennis Center, Manila, pada 1-7 Desember. Lagi-lagi, Christo akan memimpin Tim Merah Putih untuk ajang multicabang internasional terendah yang bisa diikuti Indonesia itu.
Christo, yang telah berusia 29 tahun, tampil di SEA Games sejak 2007. Dia menyumbangkan 4 emas, 4 perak, dan 3 perunggu, dari keikutsertaan pada lima SEA Games sebelumnya.
Menjadi satu-satunya petenis putra yang aktif mengikuti turnamen profesional dalam kalender Asosiasi Tenis Profesional (ATP), Christo tetap menjadi andalan meraih salah satu dari target dua emas Indonesia di Manila. Bercermin pada hasil Asian Games Jakarta Palembang 2018, Christo ditargetkan menyumbangkan emas dari ganda campuran bersama Aldila Sutjiadi.
Kesuksesan meraih emas di ajang yang lebih tinggi, Christo/Aldila berpeluang melakukan hal yang sama di SEA Games. Namun, tanpa mengecilkan kehadiran dan perjuangan mereka dalam ganda campuran, tenis Indonesia harus mulai menata kekuatan untuk menjadikan nomor lain sebagai andalan, yaitu nomor yang kekuatannya dibangun dari pembinaan jangka panjang.
Ganda campuran bukanlah nomor yang dipertandingkan dalam turnamen ATP dan Asosiasi Tenis Putri (WTA). Nomor ini hanya dipertandingkan dalam Grand Slam dan ajang multicabang. Peserta ganda campuran dalam sebuah turnamen adalah petenis-petenis yang juga tampil dalam nomor lain, tunggal ataupun ganda.
Satu emas lain di Manila diharapkan datang dari ganda putri. Sama seperti ganda campuran, pemain yang diharapkan menyumbangkan emas adalah petenis-petenis seusia Christo : Beatrice Gumulya/Jessy Rompies.
Setidaknya sejak 12 tahun terakhir tak banyak pilihan untuk menggantungkan harapan meraih prestasi dari tenis. Bahkan, hanya untuk level SEA Games, yang tampil dan ditargetkan mendapat medali adalah ”petenis itu-itu lagi”.
Mereka memiliki latar belakang yang sama, yaitu aktif mengikuti turnamen internasional. Christo rutin tampil pada turnamen ATP Challenger pada ganda putra. Pada 2019, bersama partnernya Hsieh Cheng Peng (Taiwan), Christo mendapat kesempatan tampil pada sembilan turnamen ATP 250 yang merupakan bagian dari ATP Tour, rangkaian turnamen yang lebih tinggi dari ATP Challenger.
Berkat peringkat dunia mereka yang terus meningkat—Christo pernah menempati peringkat ke-67 ganda sebagai prestasi terbaiknya—Christo/Hsieh juga mendapat tempat pada babak utama Grand Slam Perancis Terbuka dan Wimbledon. Kesempatan pertama bersaing pada babak utama Wimbledon, yang mulai 2019 menghilangkan babak kualifikasi ganda, menjadi wujud kerja keras Christo setelah 12 tahun menjadi petenis profesional.
Beatrice dan Jessy juga aktif mengikuti turnamen ITF dan WTA. Tahun ini, Beatrice/Jessy mendapat tiket tampil dalam turnamen WTA International yang masuk dalam rangkaian turnamen WTA Tour. Mereka meraih dua gelar juara dari turnamen ITF 25.000 di Singapura dan ITF 80.000 di AS. Dua pekan sebelum tampil di SEA Games, mereka mencapai semifinal WTA 125.000 di Houston, AS.
Aldila, juga, termasuk petenis yang paham akan pentingya menguji kemampuan dalam berbagai turnamen internasional. Tahun ini, dia mengikuti 22 turnamen, dua di antaranya turnamen WTA.
Peta persaingan
Dalam persaingan di Manila, petenis-petenis Indonesia, termasuk Aldila akan mendapat tantangan berat dari skuad Thailand. Menargetkan tiga medali emas, Thailand memiliki petenis berperingkat dunia lebih bagus dari Indonesia.
Namun, di luar emas ganda campuran dan putri, Indonesia punya peluang menambah medali dari tunggal putri melalui Aldila.
Berdasarkan posisi dalam peringkat dunia, dia hanya kalah dari dua petenis Thailand, Peangtarn Plipuech (305) dan Nudnida Luangnam (332). Aldila, peringkat ke-347, berpeluang menjadi tunggal putri yang menyumbangkan medali bagi Indonesia sejak terakhir kali Ayu Fani Damayanti menyumbangkan medali emas pada SEA Games Jakarta Palembang 2011.
”Posisi dalam peringkat dunia memang di bawah Thailand, tetapi saya akan berusaha untuk menembus kekuatan mereka,” kata Aldila.
Seperti senior-seniornya, Priska yang masih level yunior, juga mengasah kemampuan dalam turnamen internasional, ”kewajiban” yang sangat jarang dilakukan petenis Indonesia. Pada 2020, Priska bahkan menargetkan mengombinasikan turnamen yunior dan senior dalam agendanya.
Seperti dikatakan Direktur Teknik PP Pelti Frank van Fraayenhoven, aktif mengikuti turnamen menjadi salah satu modal ”effective training” (pelatihan efektif) petenis. Secara lengkap, dia menyebut modal pelatihan efektif, yaitu : mencintai tenis, mencintai persaingan di dalamnya, punya keinginan untuk mengikuti tur, siap untuk kalah.
Mengikuti turnamen tak semata membutuhkan modal finansial besar, faktor yang seringkali disebut hambatan oleh sebagian besar petenis Indonesia. Menjalani tur internasional membutuhkan semua modal dalam pelatihan efektif seperti disebutkan Frank. Karena tak memiliki modal itu, petenis Indonesia pada umumnya hanya puas menjadi juara di level nasional.
Saat kondisi ini tak berubah, Indonesia pun akan terus menerus mengandalkan petenis itu-itu lagi.