JAKARTA, KOMPAS —Pemerintah tengah menyiapkan data tunggal nasional yang ditopang dengan satu peta. Keduanya tidak hanya dipakai sebagai pijakan kebijakan, tetapi juga memberi kepastian hukum, kerangka tata ruang, pemerataan tenaga kerja, dan kemudahan izin usaha.
Salah satu agenda utama terkait kerja besar pemerintah itu adalah membangun data kependudukan melalui Sensus Penduduk 2020. Sensus yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik ini akan menyediakan data jumlah, komposisi, distribusi, dan karakteristik penduduk RI.
Pemerintah juga sedang menyusun satu peta yang memuat 84 peta tematik. Peta itu nantinya terkompilasi dan terintegrasi dari 19 kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah di 34 provinsi. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh kepada Kompas, Jumat (22/11/2019), mengatakan, data tunggal kependudukan Ditjen Dukcapil sudah terjalin rapi. Total ada 266 juta penduduk atau 98,8 persen. ”Data tersedia lengkap dengan by name by address,” ujarnya.
Data kependudukan tiap hari dimutakhirkan karena ada yang pindah, meninggal, mengubah status, dan berganti pekerjaan. Hal itu juga bertujuan memastikan tak ada pemilik data ganda. Menurut dia, setiap orang yang merekam data dua kali tertolak secara sistem. Zudan sepakat, penerapan satu data yang diikuti satu peta sangat penting. ”Ketepatan perencanaan pembangunan, butuh berapa sekolah, dihitung berapa muridnya. Saat membagi alokasi dana desa, dihitung penduduknya,” ucapnya.
Menurut dia, data tunggal kependudukan digunakan instansi untuk verifikasi data. Hingga kini, 1.269 lembaga memakai data tunggal itu. Instansi ataupun perusahaan yang diperbolehkan mengaksesnya harus memenuhi lima kriteria, yakni pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, proses demokratisasi, dan penegakan hukum.
Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede mengungkapkan, sebelum kebijakan satu data direalisasikan, pemerintah terlebih dahulu harus mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Tujuannya tidak lain memitigasi penyalahgunaan data pribadi.
Satu peta
Pelaksanaan kebijakan satu peta kini memasuki tahap sinkronisasi informasi geospasial antarwalidata peta itu. Proses ini diprediksi berlangsung lebih lama dibandingkan dengan tahapan integrasi yang telah mencapai 99 persen.
Kepala Badan Informasi Geospasial Hasan Hasanuddin Z Abidin mengatakan, jaringan informasi geospasial nasional sudah terbentuk dan sebagian besar tersambung dalam geoportal. Artinya, informasi geospasial antar-kementerian/lembaga telah saling terhubung. Namun, data peta ini tak dibuka kepada publik—kecuali peta kebencanaan—karena masing-masing memiliki walidata pada kementerian.
Setelah informasi-informasi geospasial itu terkumpul, proses selanjutnya lebih sulit, yaitu sinkronisasi data. ”Sinkronisasi lama karena aspeknya banyak. Misalnya, izin usaha pertambangan bertampalan dengan izin usaha perkebunan, sementara di sisi lain pemilik izin sudah berinvestasi. Jadi, ini bagaimana penyelesaiannya,” tutur Hasan.
Asisten Deputi Penataan
Ruang dan Kawasan Strategis Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dodi Slamet Riyadi mengatakan, sistem geoportal kebijakan satu peta baru bisa diakses oleh pemerintah karena masih diperbarui secara berkelanjutan sembari menunggu seluruh peta tematik terintegrasi. Kebijakan satu peta juga terintegrasi dengan layanan online single submission.
”Investor yang mengajukan izin usaha dapat memilih lokasi investasi berdasarkan peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) atau rencana detail tata ruang (RDTR) di suatu daerah,” ujarnya.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyambut baik kebijakan satu data dan peta karena memudahkan perencanaan pembangunan, penyediaan infrastruktur, serta penerbitan izin dan hak atas tanah. Berbagai kebijakan nasional pun dapat mengacu pada data spasial yang akurat.
Ketua Apindo Bidang Properti dan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar menuturkan, kini penanganan sistem satu data dan peta masih tumpang tindih serta belum rapi. Tumpang tindih itu menghambat pengusaha berinvestasi. ”Di Kalimantan dan Sumatera, misalnya, ada tumpang tindih pemanfaatan lahan, lebih dari 50 persennya terjadi di kawasan hutan,” kata Sanny. (KRN/ICH/BOW/CAS/MED)