PUISI
MUSTOFA W HASYIM
Monumen
Di sebuah desa
pernah ada kota
kerajaan
mahkota hilang
Ruh-ruh kuno
terbang
memutari
pohon kemuning
Nama-nama
dihujani
rindu
tiap hari.
***
Mengembara
di antara
nisan raja
perang telah lama usai
dendam
berubah burung gelatik
amarah
menjadi bunga telasih
kisah-kisah
dilipat
di antara pasir
***
Bayang bayang
waktu
mengeras di tembok
wajah ayu para ratu
menganyam senyum
semerbak kata
walau membisu
tusuk konde
berlian
memelihara cahaya.
***
Taman
kembali
menjadi rimba
serangga bernyanyi
bersama dongeng
jejak jejak
ditimbun daun
sunyi memburu
seperti anak panah
***
Menaiki anak tangga
langit
merendah
awan berwajah bayi
angin bagai tangan
menari.
***
Tak ada kesempatan
bertanya
pada gapura
tanpa pintu
pendapa
tanpa atap
tikungan-tikungan
lorong
tak berkesudahan.
***
Jauh
jauh sekali
dari suara gaduh
kutemukan kolam
mata airnya
berjingkrak
seperti kanak-kanak.
***
Seperti ada yang menangis
di belakang rerumputan
semut bersayap
hinggap di kabut
senja.
***
Perlukah malam
memanggil burung?
agar purnama
berbagi
agar bintang
menggaris cakrawala
senyap.
2019
NERMI SILABAN
Riwayat Parhobas
Kau tidak harus menunggu mereka
untuk menyambut hari sukacitamu,
untuk menghidang arsik ikan merah di pinggan
saat tanggal mempelai anak daramu tiba,
dan tikar-tikar pandan telah digelar.
Mereka akan singgah, dituntun tonggo raja,
dengan menjunjung tandok-tandok beras
untuk kau terima sebagai berkat,
bahkan saat memenuhi seluruh jamuan
yang disyaratkan sepanjang perayaan.
Kau tidak mesti memohon pada mereka
untuk mendampingi kau menangis,
untuk menata batu-batu tungku di halaman belakang,
dan mengepulkan segenap kepiluanmu
dari kayu-kayu bakar yang basah oleh embun.
Mereka akan datang dipandu kabar;
yang digaungkan lonceng ke batin para pelayat,
husip-husip sahuta, bahkan hulis-hulis elang
di langit petang kemarin yang mengitari rumahmu,
mereka telah menerawang pertanda itu sebagai duka.
Kau tak mesti merenungi bantuan mereka,
sebab semua yang kau terima
telah terikat ikrar dalihan na tolu.
2019
Eros Ludus
Jangan nyatakan cintamu padaku, kau mungkin
sekadar takjub, seakan menatap dari teleskop,
bukankah kau bisa bayangkan ruang hampa yang nanti
kau tinggalkan untukku, atau sebuah pesawat kapsul
saat harus merelakan salah satu dari kita kembali pada kenyataan.
Lalu di hatimu penyesalan
pelan-pelan menyebar, semacam mikroba –
kenangan yang membuat kau semakin merana,
maka dengan setetes darahmu di hadapan mikroskop
kau akan menyadari cinta semata misi untuk masa depan.
Bukankah kebahagiaan yang kita inginkan? katamu;
sebuah planet di sana untuk kita mengulang
hari-hari Adam dan Hawa, tanpa menunggu kecemasan
akan menjelma banjir bandang, saat itu segalanya pun karam,
sebab bahtera dari mimpi muskil menyelamatkan kedua kalinya.
Tetapi hasratmu bisa saja terjerumus ke satu kisah,
semisal belati di tangan Juliet, atau lemang racun bagi Siti Nurbaya,
meski kau menjanjikan padaku cintamu tak menyimpan ramalan,
tak tertegun oleh jejak-jejak, hanya aku dan kau tanpa berbekal
peta dan kompas yang dapat memulangkan kita.
Lupakan semua itu, sebab kau hanya menjauh dari rasa sakit,
dari hutan-hutan yang mengibarkan asap, wajah kanak-kanak
yang dibedaki debu puing-puing suatu kota, hingga kita terus bertanya
ke mana doa-doa kita tujukan, tapi bukankah cinta semestinya dapat memulai
kehidupan baru untuk menziarahi masa silam dalam diri kita.
2019
NERSALYA RENATA
Lintasan
kenangan pada akhirnya:
aku pada sebuah lintasan
antara kamar tidur dan kamar mandi
dengan jejak urin pada lantai
pertanyaan, kisah, permintaan
keluhan-keluhan berulang dengan jarak semakin pendek
menyuburkan kejengkelanmu
aku yang mudah mengantuk
selalu kehilangan benda-benda
kata-kata, nama, potongan cerita
dan rasa bahagia
perlahan aku tertarik dari keramaian
sesekali
anak-anak yang direbus waktu menjadi sanak
datang berkunjung
sibuk memotret dan merekam ini-itu
saat itu cinta menjelma seekor burung
yang berpapasan dengan sebutir peluru senapan angin
ketika menuju sarang
dan aku hanya bisa memandangi foto perkawinan
aku dan istriku dibalut pakaian pengantin
“sehidup semati”
satu hidup satu mati
rasanya sungguh keparat
sedang dia mati lebih dulu
maka begitu beruntung dan teberkatilah dia
dan maut
adalah kucing kelabuku
yang selalu melendot
tidur di dekat kakiku
mengekor ke mana pun aku pergi
2019
Terjaga
domba-domba yang ia hitung
sebelum tidur
memakan habis
hamparan hijau mimpinya
2019
Obat
apakah kau menunggu
sebuah peristiwa setelah
dia melintasi tenggorokanku
2019
Mustofa W Hasyim adalah Ketua Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta. Pidato yang Masuk Surga (2018) adalah kumpulan puisi mutakhirnya.
Nermi Silaban lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 17 Juli 1987. Menulis cerpen dan puisi. Buku puisinya bertajuk Bekal Kunjungan (2017).
Nersalya Renata lahir di Bandar Jaya, Lampung Tengah. Kini menetap di Jakarta. Lima Gambar di Langit-langit Kamar (2015) adalah buku puisi pertamanya.