Gerakan Desbumi merupakan inisiatif kepedulian untuk memenuhi hak calon dan mantan buruh migran. Selain para ibu di Desa Dukuhdempok, gerakan ini juga dimotori oleh Migrant Care.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·6 menit baca
Mamik (57) tampak begitu bersemangat melayani para pembeli yang mampir ke warungnya, Kamis (21/11/2019) siang. Dengan santun, ia menyajikan satu per satu pesanan pembeli, mulai dari segelas kopi hingga makanan kecil yang dijajakan di kedai di salah satu sudut kompleks Kantor Kepala Desa Dukuhdempok, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember, Jawa Timur, itu.
Warung itu sebenarnya bukan tempat biasa. Mamik dan warga Dukuhdempok lainnya lebih suka menyebutnya outlet. Sebab, tak hanya menjual makanan dan minuman, ruangan seluas 20 meter persegi itu juga berfungsi sebagai studio jahit bagi mantan pekerja migran desa untuk berkarya sekaligus memamerkan karyanya.
Oleh karena itu, selain meja tempat meletakkan etalase makanan dan minuman, ada juga tiga mesin jahit dan obras. Di salah satu sisi dinding, tergantung pula aksesori manik-manik karya mereka.
Bagi Mamik, outlet itu juga bukan sekadar tempat berkarya dan mencari nafkah. Ruangan itu menjadi bukti eksistensi dirinya. Meski bukan milik pribadi, ia dipercaya mengelolanya.
”Ya, dengan kegiatan di sini, sekarang sudah lebih dimanusiakan. Kalau sebelumnya, kan, orang tidak punya (miskin), pernah jadi buruh migran, selalu dipandang rendah,” kata Mamik yang pernah bekerja di sektor informal selama 15 tahun di Malaysia.
Mamik memang menjalani hidup yang tak mudah. Pada 20 tahun lalu, ia merantau ke Malaysia menjadi pekerja rumah tangga, berharap bisa menambah penghasilan suaminya yang bekerja sebagai buruh tani. Namun, untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Ibu tiga anak itu tak dibayar sepeser pun selama lima bulan awal bekerja.
”Makanya, saya lari dari majikan, kemudian terkatung-katung menjadi pekerja ilegal,” ujar Mamik.
Mamik memang menjalani hidup yang tak mudah. Pada 20 tahun lalu, ia merantau ke Malaysia menjadi pekerja rumah tangga, berharap bisa menambah penghasilan suaminya yang bekerja sebagai buruh tani.
Selama tiga tahun ia bekerja serabutan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tak jarang pula harus ”menyuap” petugas keamanan agar tak dilaporkan saat ada razia penduduk ilegal. Ia harus melakukan apa pun demi mendapatkan ongkos pulang ke Tanah Air.
Ketika kembali ke kampung halaman pada 2002, rupanya situasi belum berubah. Selama enam bulan tinggal, ia merasakan lagi bahwa kebutuhan keluarga belum bisa dipenuhi secara layak dari penghasilan suami. Mamik tak punya pilihan kecuali kembali mengadu nasib kembali ke Malaysia.
Namun, kesimpulan itu berubah drastis ketika Mamik pulang ke Indonesia pada 2015. Ada pilihan yang lebih baik setelah sejumlah perempuan mantan pekerja migran lainnya berhimpun, membangun gerakan Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) pada 2016.
Salah satu aktivitas Desbumi adalah mengadakan pelatihan, seperti memasak, membatik, dan menjahit, untuk para mantan pekerja migran. Produknya kemudian dijual untuk menambah penghasilan mereka.
”Sejak ada Desbumi, saya sudah tidak mau lagi bekerja jadi buruh migran,” kata Sugiarti (42), pekerja migran di Singapura pada 2009-2012.
Selama dua tahun terakhir, Sugiarti mengikuti pelatihan membatik secara intens. Batik karyanya diminati banyak orang dan laku dijual seharga Rp 200.000-Rp 250.000 per lembar. Hasil penjualan cukup untuk membiayai hidupnya bersama suami dan dua anak.
Selain mencari nafkah, Sugiarti pun takjub atas pengalaman barunya. Hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan sebagai lulusan sekolah menengah pertama, mantan buruh migran, yang kerap dicibir warga lainnya.
”Di sini saya bisa mengelola outlet dan mengajari orang memasak dan membatik. Siapa saja mau belajar apa saja, bisa ke sini,” katanya dengan mata berbinar-binar.
Desbumi
Sesuai dengan namanya, gerakan Desbumi merupakan inisiatif kepedulian untuk memenuhi hak calon dan mantan buruh migran. Selain para ibu di Desa Dukuhdempok, gerakan ini juga dimotori oleh organisasi non-pemerintah yang aktif membela hak pekerja migran, Migrant Care. Paduan kepedulian dan pengalaman mendorong mereka bahu-membahu membangun sistem perlindungan dan pelatihan, baik bagi calon maupun mantan pekerja migran.
Ketua Desbumi Dukuhdempok Jumiatun (50) mengatakan, selama ini negara kerap alpa memenuhi hak pekerja migran. Banyaknya pekerja tak berdokumen merupakan masalah klasik yang tak pernah tuntas. Setelah kembali ke Tanah Air pun, belum tentu mereka bisa hidup layak.
Oleh karena itu, pelatihan untuk mantan pekerja migran merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan secara intensif. Mereka membutuhkan keahlian agar bisa mandiri secara ekonomi dan menghidupi keluarga. Saat ini terdapat sekitar 400 mantan pekerja migran di Dukuhdempok. Semuanya perempuan.
Selain pelatihan, Desbumi yang digerakkan sekitar 40 ibu ini juga rutin mendata tetangganya yang bekerja di luar negeri dan kembali ke desa, termasuk melayani pengurusan dokumen bagi calon pekerja migran tanpa biaya. Selain itu, mereka juga membentuk pusat pelayanan terpadu (PPT) yang memberikan segala informasi terkait migrasi tenaga kerja serta menerima pengaduan kasus pelanggaran hak pekerja migran.
Melalui sejumlah program itu, mayoritas pekerja migran yang berangkat dari Dukuhdempok berdokumen resmi. Desbumi juga memiliki catatan lengkap tentang mereka, mulai identitas, nama perusahaan yang mempekerjakan, negara tujuan, hingga alamat mereka di negara tujuan. Dengan begitu, mereka bisa mengambil tindakan cepat saat ada kasus yang menimpa pekerja asal Desa Dukuhdempok.
”Semua kami lakukan secara sukarela, tidak dibayar. Kami bergerak karena tidak ingin ada pekerja migran ilegal dan kesusahan lagi,” kata Jumiatun yang juga pernah bekerja di Hong Kong pada 1996-2002.
Peran negara
Sekretaris Desa Dukuhdempok Nasehat mengatakan, praktik ini dibakukan dalam Peraturan Desa (Perdes) Dukuhdempok Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Warga Desa Dukuhdempok dan Anggota Keluarganya. Perdes di antaranya mengatur kewajiban desa untuk memenuhi hak pekerja migran sekaligus mengalokasikan anggaran dana desa untuk membiayai urusan pelayanan dan perlindungan pekerja migran.
Akan tetapi, alokasi anggaran tidak diberikan dalam bentuk uang tunai. Pemerintah desa menggunakannya untuk membangun outlet dan membiayai program-program pelatihan. Pemerintah desa juga menyediakan kantor khusus PPT dan menyediakan loket khusus pelayanan pekerja migran di lobi kantor desa.
Setelah dibakukan, praktik ini juga dipresentasikan Kepala Desa Dukuhdempok Miftahul Munir di Markas Besar PBB, Geneva, Swiss, September 2017. Peran desa untuk melindungi pekerja migran pun diakui dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017 tentang Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, pemerintah desa merupakan representasi negara yang paling dekat dan strategis untuk memenuhi hak dan melindungi para pekerja migran. Apalagi mayoritas pekerja berasal dari desa.
Desa juga tempat migrasi bermula. Selama ini pemerintah setempat hanya berperan menerbitkan surat keterangan, tetapi tidak terdokumentasikan dengan baik. Bahkan, desa sering jadi tempat awal pemalsuan dokumen calon pekerja migran.
Meski demikian, perlindungan terhadap pekerja migran tak terwujud tanpa kerja sama antara negara dan rakyat. ”Ini merupakan bukti konkret kerja sama pemerintah dengan masyarakat sipil,” kata Wahyu.
Kehadiran negara akhirnya menjadi kunci agar perjuangan para buruh migran tak sia-sia. Kini, komitmen itu dinanti agar tak hanya Mamik dan Sugiarti yang merasakan indahnya termanusiakan.