Muda, berpendidikan tinggi, dan punya karya. Itulah gambaran tujuh dari 14 staf khusus baru Presiden Joko Widodo yang dikenalkan pada Kamis (21/11/2019) lalu, di Istana Merdeka, Jakarta.
Oleh
Anita Yossihara, Nina Susilo dan FX Laksana Agung Saputra
·3 menit baca
Muda, berpendidikan tinggi, dan punya karya. Itulah gambaran tujuh dari 14 staf khusus baru Presiden Joko Widodo yang dikenalkan pada Kamis (21/11/2019) lalu, di Istana Merdeka, Jakarta. Mereka diharapkan tak hanya jadi jembatan dengan para pemuda, termasuk kalangan santri dan diaspora, para stafsus milenial itu diharapkan juga memberikan terobosan dan inovasi kekinian selesaikan berbagai persoalan bangsa.
"Ketujuh anak muda ini akan menjadi teman diskusi saya, harian, mingguan, bulanan, memberikan gagasan-gagasan segar yang inovatif, sehingga kita bisa mencari cara-cara baru, cara-cara yang out of the box, yang melompat untuk mengejar kemajuan negara," tutur Presiden Jokowi.
Tak ada yang menduga memang Presiden Jokowi mengangkat generasi milenial sebagai stafsus-nya. Sebab sebelum dilantik, Presiden Jokowi hanya menyebut akan mengangkat anak muda berusia di bawah 30 tahun sebagai menteri.
Lihatlah, Putri Indahsari Tanjung (23), puteri sulung pengusaha Chairul Tanjung. Ia sudah mendirikan sekaligus memimpin perusahaan penyelenggara acara Creativepreneur. Ada juga Adamas Belva Syah Devara (29), jebolan Harvard University dan Stanford University, yang berhasil mendirikan sekaligus memimpin usaha rintisan aplikasi pendidikan Ruang Guru. Stafsus lainnya, Gracia Billy Mambasar (31), pemuda asli Papua, yang sebentar lagi selesaikan S2-nya di Oxford University, juga memimpin perusahaan nirlaba Kitong Bisa.
Pemuda lainnya, Andi Taufan Garuda (32) adalah jebolan Harvard Kennedy School dan pendiri sekaligus CEO Amarta Mikro Fintek, platform pendanaan UMKM Indonesia. Juga ada mantan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Aminudin Maruf (33), dan seorang pegiat kebhinekaan Ayu Kartika Dewi (36).
Seorang penyandang disabilitas, Angki Yudistia (32), yang aktif membantu para disabilitas lewat lembaga Thisable Enterprise, termasuk yang ditunjuk.
Saat ditanya pembidangan mereka, Presiden Jokowi menjawab," "Untuk bidang-bidangnya, ini kerja barengan, jadi tidak kita (sebutkan. Khusus Mbak Angki saya tambahin tugas Jubir bidang sosial."
Tak berlebihan
Jika melihat mayoritas penduduk Indonesia dengan usia produktif, langkah Jokowi tampaknya tak berlebihan. Data Bappenas 2018, dari total 226,9 juta penduduk 2019, sebanyak 183,36 juta atau 68,7 persen di antaranya penduduk usia produktif (15-64 tahun). Jika generasi milenial adalah mereka yang lahir 1980-2000, maka jumlahnya mencapai 85,8 juta atau 32 persen dari total penduduk. Jumlah itu setara dengan 46 persen penduduk dengan usia produktif.
Oleh karena itu, bagi Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, banyaknya generasi milenial dengan pemikiran maju membuat Istana merasa perlu mengakomodasi. Mereka bisa menjadi koneksi senior-junior, serta orang yang gagap teknologi dengan yang maju pemikirannya di teknologi.
Meski tak soal, anggota Komisi II DPR Arif Wibowo mempertayakan. Sejauh mana para mileneal itu mampu mendukung tugas Presiden yang efektif. Karena belum mendapat penjelasan tugas, pokok, dan kerja stafsus, DPR berencana mengundang Menteri Sekretaris Negara.
Jangan dijadikan hiasan
Namun, bagi Associates Professor di Program Magister Manajemen Universitas Mercu Buana Jakarta, Setyo Riyanto, pemerintah selama ini berjalan dengan sistem lama yang mapan dan nyaman. Ironisnya, sistem lama itu tak mampu menjawab tantangan jaman dan masa depan. Apalagi perubahan cepat akibat teknologi.
”Daripada memangkas sekian generasi yang akan menimbulkan risiko, termasuk risiko politik dan lainnya, cara baik adalah creative destruction. Jadi kemapanan ditabrak dengan cara-cara kreatif. Inilah yang saya lihat ingin ditempuh Presiden Jokowi dengan melibatkan anak-anak muda,” kata Setyo, mengutip konsep ekonom Austria, Joseph Schumpeter, 1950.
Apapun anak-anak mileneal itu adalah darah segar bagi Presiden Jokowi dan seluruh kabinetnya. Kini, bagaimana merumuskan gagasan-gagasan mereka menjadi program yang dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif. "Ingat mereka masih sangat muda sehingga mudah ngambek. Jangan hanya dijadikan hiasan dan branding. Tapi benar-benar dioptimalkan,” ujar Setyo lagi.