Mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki datang ke kantor Harian Kompas, Selasa, 19 November 2019.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki datang ke kantor Harian Kompas, Selasa, 19 November 2019. Dari sisi penampilan, tidak banyak perubahan aktivis antikorupsi ini. Lencana menteri tidak dikenakannya. ”Itu kalau di acara resmi saja,” ucapnya. Sebelumnya, juga datang ke kantor Harian Kompas, Surya Chandra, aktivis buruh yang diangkat Presiden Joko Widodo sebagai Wakil Menteri Agraria.
Sebelum terjun ke politik, Teten dikenal sebagai aktivis buruh, yang pernah mengadvokasi kasus pembunuhan buruh Marsinah di Sidoarjo, Jawa Timur. Dari isu perburuhan, Teten pindah ke medan pergerakan antikorupsi dan mendirikan Indonesia Corruption Watch. Dari aktivis antikorupsi, Teten terjun ke politik dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat. Dia kalah. Teten pernah juga menjadi Kepala Staf Kepresidenan.
Gelombang reformasi pada Mei 1998 mengantarkan aktivis pergerakan menduduki jabatan publik. Dunia aktivis pergerakan telah menjadi lumbung calon pemimpin. Posisi tertinggi pernah dicapai tokoh Forum Demokrasi dan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman Wahid yang menjabat Presiden Indonesia periode 20 Oktober 1999-23 Juli 2001.
Dalam Kabinet Indonesia Maju, sejumlah aktivis pergerakan, aktivis demokrasi, aktivis antikorupsi, dan aktivis hak asasi manusia (HAM) berada di lingkaran kekuasaan. Selain Teten, terdapat pula Fadjroel Rachman, aktivis demokrasi, sebagai Juru Bicara Kepresidenan. Di komisi negara, ada nama Poengky Indarti sebagai komisioner Komisi Kepolisian Nasional. Poengky pernah aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, LBH Jakarta, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Ada Apong Herlina, mantan Direktur LBH Jakarta, sebagai Komisioner Komisi Kejaksaan. Kemudian Bambang Widjojanto yang pernah memimpin KPK.
Sebelumnya terdapat nama Abdul Rachman Saleh, aktivis LBH yang menjadi Jaksa Agung; Abdul Hakim Garuda Nusantara, mantan Ketua YLBHI, yang menjadi Ketua Komisi Nasional HAM. Lalu Ifdhal Kasim, mantan Ketua Elsam, yang pernah menjabat Ketua Komnas HAM dan bergabung juga di kantor Kepala Staf Kepresidenan.
Aktivis berbagai latar belakang itu berada di jalur masyarakat sipil saat Orde Baru (Orba) berkuasa. Mereka menjadi kekuatan yang berada di tengah antara masyarakat dan negara. Mereka mendobrak hegemoni negara Orba, memperjuangkan kebebasan sipil, kebebasan berserikat, pemerintahan yang bersih, serta memperjuangkan HAM.
Mereka menjadi kekuatan yang berada di tengah antara masyarakat dan negara. Mereka mendobrak hegemoni negara Orba, memperjuangkan kebebasan sipil, kebebasan berserikat, pemerintahan yang bersih, serta memperjuangkan HAM.
Perubahan dan perbaikan jadi isu sentral perjuangan mereka di era Orba. Polarisasi terjadi dalam strategi gerakan. Perubahan dilakukan dari ”dalam struktur pemerintahan” atau ”dari luar pemerintahan”. Diskursus itu berakhir dengan masuknya aktivis dalam komisi negara (state auxiliary body) seperti Komnas HAM. Dalam perkembangan terakhir, aktivis itu tidak hanya masuk dalam komisi negara, tetapi juga dalam kekuasaan, eksekutif, ataupun legislatif, seperti Arsul Sani yang kini jadi Wakil Ketua MPR dan Benny K Harman sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR.
Ketika gagasan demokrasi dan negara hukum terancam, ketika korupsi tak lagi menjadi isu sentral, ketika penghormatan HAM dikesampingkan, harapan berada di pundak aktivis. Apakah para aktivis masih mengusung cita-cita pergerakan, perjuangan negara hukum demokratis, pemerintahan yang bersih dan penghormatan HAM. Setia kepada cita-cita gerakan menjadi harapan publik. Dalam disertasi Kastorius Sinaga berjudul ”NGO’S in Indonesia: A Study of The Role of Non Governmental Organization in the Development Process” tergambar evolusi gerakan bantuan hukum dari professional charity (1970-an), individual legal aid institute (1975), bantuan hukum struktural (1980), lokomotif demokrasi (1990), dan kini mengawal negara demokrasi konstitusional dari dalam.
Publik menantikan kiprah Teten membangun sistem kementerian koperasi yang anti- korupsi dan penguatan peran pemerintah melawan korupsi. Publik tentu menantikan kawalan Fadjroel agar pemerintahan Jokowi tetap setia di jalur demokrasi serta penghormatan HAM dan pluralisme.
Apakah para aktivis masih mengusung cita-cita pergerakan, perjuangan negara hukum demokratis, pemerintahan yang bersih dan penghormatan HAM. Setia kepada cita-cita gerakan menjadi harapan publik
Masuknya aktivis ke pusat kekuasaan hendaknya tidak menjadikan Indonesia kian kehilangan kekuatan tengah. Mengutip Daniel Bell dalam buku The End of Ideology yang mengkhawatirkan terjadinya era baru, the end of civil society. Berakhirnya era civil society itu ditandai konflik di antara civil society, penolakan terhadap isu pluralisme, dan terkooptasinya progresivitas aktivis dalam jeratan birokrasi negara.
Waktu akan menguji aktivis pergerakan. Akankah mereka setia dengan cita-cita pergerakan atau akan terkooptasi ”kenikmatan protokoler birokrasi”. Seperti dikatakan Abraham Lincoln (1809-1865), ”Jika Anda ingin menguji watak manusia, berilah dia kekuasaan.”