Pelaku usaha daring bakal dikenai pajak. Ketentuan ini menjadi salah satu poin dalam rancangan aturan perundangan yang mencakup semua aturan pajak atau RUU Omnibus Perpajakan.
Oleh
NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia bakal dikenai pajak. Tak terkecuali untuk perdagangan daring. Ketentuan ini menjadi salah satu poin dalam rancangan aturan perundangan yang mencakup semua aturan pajak atau RUU Omnibus Perpajakan.
RUU Omnibus Perpajakan itu dibahas dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (22/11/2019) sore. Dalam rapat ketujuh yang membahas perpajakan ini hadir antara lain Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto; Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy; Menteri Keuangan Sri Mulyani; serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa.
Reformasi perpajakan, kata Presiden dalam pengantar rapat, sangat penting untuk diselesaikan. Dengan ini, bisa diantisipasi dampak pelambatan ekonomi global, keluar dari jebakan negara dengan pendapatan menengah, dan dioptimalkan daya saing ekonomi Indonesia. Implementasi insentif perpajakan perlu diatur dan berdampak besar bagi peningkatan daya saing Indonesia serta menciptakan lapangan kerja baru.
”Saya juga minta mulai ditempuh kebijakan penyetaraan level playing field bagi pelaku usaha konvensional ataupun e-commerce untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan di era digital saat ini,” ucap Presiden.
Ditambahkan pula, fasilitas insentif perpajakan harus berjalan beriringan dengan penyederhanaan dan percepatan perizinan investasi, sinkronisasi dengan peraturan daerah yang mengatur pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Enam isu utama
Seusai rapat, Sri Mulyani menjelaskan enam isu utama dalam RUU Omnibus Perpajakan yang akan memayungi semua aturan terkait perpajakan, mulai dari UU No 38 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, UU No 42 Tahun 2009 tentang PPN, UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, hingga UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Isu pertama adalah tarif pajak badan. Tarif pajak badan akan diturunkan seperti telah diputuskan dalam rapat terbatas ini. Pajak Penghasilan (PPh) badan akan diturunkan dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2021-2022. Tahun berikutnya, pada 2023, PPh badan kembali turun menjadi 20 persen.
Pajak badan yang melakukan go public juga akan mendapatkan pengurangan tarif PPh sebesar 3 persen. Badan yang go public tahun 2021-2022 misalnya, PPh badannya akan menjadi 19 persen dari 22 persen. Adapun badan yang go public pada 2023 akan dikenai pajak 17 persen, bukan 20 persen.
Penurunan tarif atau pembebasan tarif PPh dividen dalam negeri juga akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Isu kedua berkaitan dengan penyesuaian tarif PPh pasal 26 atas bunga. ”Ini dalam rangka tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan bunga dari dalam negeri yang selama ini diterima oleh subyek pajak luar negeri yang dapat diturunkan lebih rendah dari tarif pajak 20 persen yang selama ini berlaku, dengan diatur dalam peraturan pemerintah,” tutur Sri Mulyani.
RUU Omnibus Perpajakan ini juga akan mengatur sistem teritori untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri. Wajib pajak yang penghasilannya berasal dari luar negeri, baik dalam bentuk dividen maupun penghasilan setelah pajak dari usahanya, sedangkan badan usaha tetapnya di luar negeri, dividen tersebut tidak dikenai pajak di Indonesia apabila diinvestasikan di Indonesia dan berasal baik dari perusahaan yang terdaftar maupun tidak terdaftar.
RUU Omnibus Perpajakan ini juga akan mengatur sistem teritori untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri.
Untuk warga negara asing yang tinggal di Indonesia, penghasilan tertentu dari luar negeri yang diperolehnya tidak menjadi obyek pajak. Obyek pembayaran pajak dari warga asing yang tinggal di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari Indonesia.
Warga Indonesia yang tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari juga tidak lagi menjadi subyek pajak. Karena itu, dia tidak lagi dikenai PPh. Adapun pendapatan yang berasal dari luar negeri untuk warga Indonesia yang tinggal di luar negeri melebihi 183 hari menjadi obyek pajak luar negeri.
Namun, warga negara asing yang berada lebih dari 183 hari di Indonesia juga otomatis menjadi subyek pajak dalam negeri. ”Pajak yang dibayar oleh warga negara asing yang ada di dalam negeri hanya atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia saja,” lanjut Sri Mulyani.
RUU Omnibus Perpajakan juga mengatur hak untuk mengkreditkan pajak masukan, terutama bagi pengusaha kena pajak yang memperoleh barang ataupun jasa, tetapi dari pihak yang bukan merupakan pengusaha kena pajak. Selama ini, pengusaha tidak bisa melakukan pengkreditan. Dalam RUU, diusulkan supaya pengusaha tetap bisa mengkreditkan pajak masukan tersebut maksimal 80 persen.
Pengaturan mengenai sanksi juga disiapkan dalam RUU ini. Diusulkan sanksi administrasi bagi pelanggaran pajak yang selama ini dihitung berdasarkan flat rate, yaitu 2 persen per bulan, diubah berdasarkan tarif bunga yang berjalan. Harapannya, sanksi administrasi bisa dihitung secara lebih rasional.
Terkait perdagangan elektronik, RUU ini akan menjadikan pelaku usaha perdagangan daring sebagai subyek pajak kendati berada di luar negeri sepanjang memiliki aktivitas ekonomi di Indonesia. ”Seperti Netflix dan lainnya yang selama ini menjadi subyek pajak luar negeri, dapat memungut menyetorkan dan melaporkan PPN-nya,” ujar Sri Mulyani.
Pengaturan ini, lanjutnya, menegaskan basis perpajakannya pada kegiatan yang bernilai ekonomi. Secara umum, RUU ini akan segera diharmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM serta direncanakan Desember disampaikan kepada DPR.
Secara terpisah, anggota Komisi XI DPR, Misbakhun, mengatakan, sebagai bagian partai pendukung siap mengamankan ide pemerintah. Karena itu, DPR menunggu RUU Omnibus yang disiapkan pemerintah.
Kendati demikian, Misbakhun mempertanyakan RUU Omnibus tersebut sebab semua aturan perundangan terkait pajak mengatur obyek, substansi, dan kewenangan yang berbeda-beda, apalagi masih ada Undang-Undang Otonomi yang membagi kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
Selain itu, masih ada UU No 12/2011 terkait Tata Cara Pembentukan UU yang menyebutkan perlunya harmonisasi dan sinkronisasi aturan. Prinsip lainnya, kata Misbakhun, tidak ada undang-undang yang mengatur undang-undang lainnya. ”Semua undang-undang levelnya sama. Ditambah lagi prinsip lex specialis derogat lex generalis,” ujar Misbakhun.
DPR memilih menunggu pemerintah mengusulkan RUU Omnibus tersebut.