Nyai atau istri kiai dapat berperan mengatasi persoalan bangsa, seperti pengangguran dan penyebaran radikalisme agama. Mereka dinilai mampu menumbuhkan perekonomian di pesantren.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Nyai atau istri kiai dapat berperan dalam mengatasi persoalan bangsa, seperti pengangguran dan penyebaran radikalisme agama. Mereka dinilai mampu menumbuhkan perekonomian di pesantren sekaligus membentengi santri dan masyarakat setempat dari radikalisme.
Hal itu mengemuka dalam Silaturahim Daerah Bu Nyai Nusantara Jawa Barat di Pondok Buntet Pesantren, Kabupaten Cirebon, Jabar, Minggu (24/11/2019). Turut hadir Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama KH Abdul Ghaffar Rozin, Pengasuh Pondok Buntet Pesantren KH Adib Rofiuddin, Bupati Cirebon Imron Rosyadi, dan 476 nyai se-Jabar.
”Ibu nyai tidak hanya berada di balik kesuksesan para kiai, tetapi juga bangsa ini. Apalagi, demografi masyarakat Indonesia kerap lebih banyak perempuan. Jadi, sudah bukan lagi perempuan menjadi second people (orang kedua) dalam bangsa ini,” ungkap Ida.
Ibu nyai tidak hanya berada di balik kesuksesan para kiai, tetapi juga bangsa ini.
Oleh karena itu, menurut dia, nyai dapat membantu mengatasi rendahnya kompetensi angkatan kerja Indonesia yang berujung pada pengangguran. Apalagi, angkatan kerja masih didominasi pendidikan sekolah menengah pertama ke bawah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Agustus 2019, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 5,28 persen. Jabar menjadi provinsi kedua tertinggi penganggurannya, yakni 7,99 persen. Urutan pertama TPT ditempati Banten dengan 8,11 persen.
”Pesantren dan bu nyai diharapkan mampu meningkatkan kompetensi dan produktivitas santrinya. Selama ini, pesantren konsentrasinya hanya pada penguatan ilmu agama. Padahal, perlu peningkatan kompetensi sesuai kebutuhan pasar atau wirausaha,” ungkap Ida.
Untuk itu, pihaknya akan membangun sekitar 2.000 balai latihan kerja (BLK) komunitas yang mayoritas berada di pondok pesantren. Hingga 2019, pihaknya mengklaim telah mendirikan 1.125 BLK komunitas, yang juga tersebar di pesantren. BLK tersebut bakal membekali para santri untuk memenuhi kompetensi yang dibutuhkan industri.
KH Abdul Ghaffar Rozin menambahkan, sekitar 63 persen dari 6 juta santri yang tersebar di 23.300 pesantren afiliasi NU merupakan santri putri. ”Dan, mereka sangat mendengarkan ibu nyai. Ibu nyai yang memahami kebutuhan santri, baik di dalam maupun luar pesantren. Dengan begitu, santri bisa mandiri secara ekonomi,” ujarnya.
Ketua Pelaksana Silaturahim Daerah Bu Nyai Nusantara Jabar Nyai Yenni Ainul Widad mengatakan, selama ini, sejumlah nyai di pesantren telah memulai membangun usaha yang melibatkan santri di pesantren. ”Namun, salah satu kendalanya, modal,” ucapnya.
Radikalisme
Dalam acara tersebut juga dibahas peran nyai menangkal radikalisme agama. Anggota perumus Lembaga Kemaslahatan Keluarga PBNU, Nur Rofiah, mengatakan, kasus bom bunuh diri mengatasnamakan agama yang melibatkan perempuan dan anak menunjukkan radikalisme telah mengincar keluarga.
”Perempuan dan anak jadi obyek karena mereka punya mental kepatuhan kepada suami atau pimpinan kelompok. Kepatuhan ini yang disalahgunakan,” ujarnya. Kondisi ini, katanya, perlu diwaspadai masyarakat mengingat keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak.
Untuk itu, nyai di Nusantara diharapkan lebih aktif menyuarakan makna keluarga Islami yang membawa kemaslahatan bagi keluarga lain meskipun berbeda latar belakang suku, agama, bahkan negara. ”Toleransi harus diajarkan dalam keluarga,” ucapnya.
Kepala Bidang Riset dan Pemberdayaan Masyarakat Forum Koordinasi Nasional Pencegahan Terorisme BNPT Jabar Gustiana Isya Marjani mengatakan, ceramah nyai yang berisi toleransi merupakan pendekatan halus dalam pencegahan radikalisme di masyarakat. Apalagi, Jabar termasuk zona merah radikalisme. ”Indikatornya, sejumlah pelaku teror dari Jabar. Untuk itu, dibutuhkan hard approach yang dilakukan oleh pemerintah, seperti program deradikalisasi bagi orang yang terpapar radikalisme dan terorisme,” katanya.