Keterpanggilan ”Ibu” di Senam
Senam sering disebut sebagai ibu atau induk dari segala cabang olahraga. Sepertinya halnya pola pengasuhan, prestasi cabang itu merupakan buah dedikasi tidak bertepi para pelatihnya yang bak “ibu dan bapak” bagi atlet.
Berbeda dengan cabang-cabang olahraga kebanyakan di Tanah Air, senam Indonesia dewasa ini tidak mengenal istilah pemusatan latihan nasional menjelang pekan olahraga internasional seperti SEA Games 2019 di Filipina. Pembinaan para atlet di cabang itu nyaris sepenuhnya diserahkan ke daerah melalui para pelatihnya yang belasan hingga puluhan tahun mengabdi.
Teriakan melengking dari AN Negaka Jauhari memecah keheningan di GOR Senam Raden Inten, Jakarta Timur, Selasa (19/11/2019) lalu. Meskipun usianya telah menginjak 70 tahun, Negaka masih terlihat energik membimbing tiga anak asuhnya, para atlet ritmik DKI Jakarta. ”Plie, jete...,” teriaknya ke anak-anak asuhnya sambil mengayunkan lengannya bak sutradara film ternama, Riri Riza.
Pemandangan latihan semacam itu rutin tersaji selama belasan, bahkan puluhan tahun, di GOR itu. Di tangan Negaka, lahirlah puluhan pesenam ritmik dari 11 zaman berbeda, tidak terkecuali dua atlet putri nasional yang akan berjuang di SEA Games 2019, yaitu Carla Febri (23) dan Thalia Ester (19). ”(Membina atlet senam) itu tidak seperti membuat mi instan, lima menit jadi,” ujar Negaka.
Ia mencontohkan, Carla dan Thalia telah dilatihnya sejak kanak-kanak atau ketika masih kesulitan melakukan split atau gerakan melipat kaki yang indah dilihat tetapi awalnya terasa sangat menyiksa atlet itu. Karena itu, ibarat seorang ibu, dosen Institut Kesenian Jakarta itu sangat hafal karakter serta paham perkembangan dan potensi atlet-atlet binaannya itu.
Hampir separuh dari hidupnya selama ini dihabiskan untuk melatih dan mengajar senam. ”Saya sudah seperti kakak dan ibu bagi mereka. Hanya Sabtu dan Minggu saya libur di rumah. Itu pun terkadang memikirkan mereka, entah membuat gerakan dari lagu baru atau apa pun. Jika sudah di GOR, gelisah bahkan sakit lambung saya hilang. Anak-anak (kandung) saya sampai komplain karena lebih memperhatikan anak-anak orang lain,” ujar wanita separuh baya yang kerap disapa kak Negaka oleh anak-anak asuhnya itu.
Negaka sebetulnya bukanlah pelatih nasional yang ditugaskan Pengurus Besar Persatuan Senam Indonesia (Persani) untuk menangani Carla dan Thalia menjelang SEA Games 2019. Tugas itu, secara administratif, dipegang Winni Sari—pelatih yang merupakan asistennya di Jak Rhythmic Club—klub senam ritmik yang didirikannya. Namun, realitanya, tugas melatih itu tetap dipikulnya sehari-hari.
Karena paham betul perkembangan dan tidak ingin membebani anak-anak asuhnya, Negaka tidak mematok target muluk-muluk di SEA Games 2019. Menurut dia, potensi Carla dan Thalia adalah meraih medali perunggu mengingat mereka belum berpengalaman di pekan olahraga dua tahunan di Asia Tenggara itu. Target medali lebih tinggi sebetulnya bisa dikejar jika atlet ritmik lainnya, Nabila Evandestiera (23), ikut diberangkatkan ke Filipina.
Nabila, atlet ritmik senior Indonesia yang menyabet dua perunggu di nomor hoop dan ball SEA Games Malaysia 2017 itu, memilih tidak ikut seleksi nasional pada tahun ini. Setelah berkonsultasi dengan Negaka, pengorbanan itu dilakukannya demi regenerasi atlet di senam Indonesia. ”Karena sudah tiga kali ikut (SEA Games), saya mendorong adik-adik yang belum pernah tampil di SEA Games untuk ikut seleksi,” ujar Nabila.
Latihan keras
Dedikasi dan pengorbanan serupa untuk menaikkan gengsi senam Indonesia di level Asia Tenggara juga ditunjukkan Eva Novalina T Butar-Butar, pelatih senam artistik putri. Ketika masih menjadi atlet, yaitu tiga dekade silam, Eva mengharumkan senam Indonesia di kawasan ASEAN. Legenda senam lantai Indonesia itu menjadi satu-satunya atlet di Asia Tenggara yang mengoleksi tujuh keping emas di tiga SEA Games, yaitu kurun 1985-1989. Saat itu, Indonesia merajai senam Asia Tenggara.
Di tengah prestasinya yang saat itu tengah menanjak, perempuan mungil yang dijuluki ”ratu senam Asia Tenggara” itu mengejutkan publik dengan meninggalkan senam profesional untuk mengejar gelar akademiknya di Institut Teknologi Bandung. Ilmu Biologi dari ITB itu lantas membuatnya diterima bekerja di BUMN bergengsi, Sucofindo.
Status sebagai pekerja kantoran justru membuatnya kian merindukan dunia senam yang pernah membesarkan namanya. Ia pun mengambil langkah 180 derajat dengan mundur dari perusahaan inspeksi terkemuka itu untuk melatih para pesenam belia sekaligus merintis usaha barunya, yaitu klub senam Gavrila Gymnastic Club. Perempuan yang diangkat PNS di Kementerian Pemuda dan Olahraga pada 2009 itu kini mengabdikan sisa hidupnya di senam.
Seperti Negaka, Eva mudah ditemui sehari-harinya di GOR Senam Raden Inten. Ia mengasuh tiga atlet senam artistik putri asal DKI Jakarta yang disiapkan untuk SEA Games 2019, yaitu Rifda Irfanaluthfi (20), Yogi Lailla Rahmafani (17), dan Trithalia (16). Seperti halnya ibu asuh, ia tidak hanya mengurusi latihan, tetapi juga makanan hingga sewa akomodasi para atlet selama latihan.
Di tengah minimnya perhatian dan dukungan pendanaan dari pemerintah pusat dan institusi tempatnya bekerja, Eva tidak berpangku tangan. Ia kerap memperjuangkan anak-anak asuhnya seperti Rifda untuk giat menimba ilmu dan pengalaman dengan mengikuti berbagai uji coba atau kejuaraan senam di luar negeri. Biayanya tidak jarang diambil dari anggaran di klub senamnya, Gavrilla, yang kini memiliki lebih dari 1.000 anak didik.
Dalam satu kesempatan, ia memperjuangkan anak-anak asuhnya agar tidak telantar seperti nasib tim aerobik yang berlatih nomaden dan kini terpaksa ”menumpang” di pelatnas wushu di Gedung Serbaguna Gelora Bung Karno, Senayan. Beberapa waktu lalu, ia didatangi staf dari Suku Dinas Pemuda dan Olahraga Jakarta Timur. Utusan itu mengutarakan rencana untuk merenovasi dan membongkar atap GOR Raden Inten, tempat mereka berlatih.
Setelah mendengarkan argumentasinya, pejabat sudin terkait bersedia untuk menunda pembongkaran atap hingga selesainya latihan SEA Games 2019. ”Saya sempat panik ketika didatangi mereka minggu lalu. Masak kami harus pergi, padahal SEA Games hanya tinggal dua minggu. Saya berkata Pak Anies (Baswedan, Gubernur DKI Jakarta) sangat mendukung olahraga. Mereka akhirnya mengalah. Kasudin bahkan tidak berani bicara langsung ke saya karena dianggap ibu-ibu galak,” tutur pelatih senam DKI Jakarta itu sambil tertawa.
Tangan dingin Eva
Sedikit berbeda dengan para pelatih senam lainnya, Eva memang nyaris tidak pernah memperlihatkan sisi lembutnya, termasuk ke atlet-atlet binaannya. Sehari-hari perempuan Batak ini dikenal sebagai pelatih yang bertangan dingin. Ia tidak segan menyuruh atletnya mengulang satu gerakan hingga ribuan kali demi meraih kesempurnaan, faktor penting dalam penilaian di cabang senam.
Dalam latihan Selasa lalu, misalnya, ia meminta Rifda—atlet binaannya sejak usia 9,5 tahun—mengulang gerakan senam lantai hingga lebih dari empat kali. Padahal, napas Rifda tampak tersengal-sengal, bahkan terbatuk-batuk karena kelelahan. ”Hah, lagi?” ujar Rifda, atlet peraih medali emas SEA Games 2017, menggerutu pelan ketika mendengar instruksinya.
Rifda, atlet senam Indonesia pertama peraih medali perak di Asian Games, yaitu pada 2018, sempat berpikir meninggalkan senam karena tidak tahan dengan gemblengan keras Eva. Namun, niat itu lantas diurungkannya setelah dirayu pelatihnya itu. Eva berkata, latihan keras yang dilakukannya tidak lain bertujuan agar atlet-atlet binaannya bisa lebih berprestasi dari dirinya.
”Saya ingin dunia senam internasional melihat Indonesia. Dulu, saya belum sempat ke level dunia. Maka itu, saya melecut (para atlet). Mereka sudah seperti anak-anak sendiri bagi saya. Kebetulan, saya tidak punya anak perempuan,” ujar Eva yang pernah menimba ilmu industri olahraga di Amerika Serikat.
Dengan segala keterbatasan dukungan pihak luar, Eva berharap senam Indonesia bisa bangkit dari ”tidur” panjang prestasinya. Demi hal itu, ia telah melakukan pendekatan dengan pelatih asing, yaitu dari Polandia, untuk melatih di Indonesia. Gaji pelatih itu, yaitu 3.500 euro atau setara Rp 54 juta per bulan, belum termasuk fasilitas lainnya, seperti tempat tinggal, akan dibebankan ke klubnya.
”Saya ingin anak-anak semakin hebat, naik kelas. Di luar, seperti di AS, latihan atlet senam sangat keras. Mereka berlatih selama 34 jam per minggu, bahkan sejak usia 10 tahun. Di Indonesia, rata-rata baru 24-30 jam. Mentalitas (tangguh) harus mulai ditanamkan. Jangan karena merasa tidak nyaman atau sakit, (atlet) jadi melempem, gagal meraih medali,” ujarnya.
Di bawah asuhan para pelatih berdedikasi tinggi seperti Eva dan Negaka inilah senam Indonesia berupaya menjaga tradisi medali di SEA Games Filipina.