Rifda Irfanaluthfi mengorbankan banyak hal dalam masa mudanya demi menjadi pesenam elite nasional. Langganan medali SEA Games dan pesenam pertama Indonesia yang meraih perak Asian Games itu ingin tampil di Olimpiade.
Oleh
Yulvianus Harjono
·3 menit baca
Muhammad Ali, legenda tinju dunia, pernah berkata, atlet adalah manusia berbeda. Ia harus mengakrabi hal-hal yang lazimnya dihindari manusia kebanyakan, yaitu penderitaan. ”Saya benci setiap menitnya berlatih. Namun, saya harus menderita sekarang demi menjalani sisa hidup sebagai seorang juara,” ucapnya suatu ketika.
Kalimat inspirasi dari Ali itu sungguh dijalankan nyata oleh Rifda Irfanaluthfi (20), atlet senam artistik putri andalan Indonesia. Rifda tidak hanya rutin menjalankan latihan yang menguras emosi bahkan air matanya, tetapi juga harus kehilangan masa kanak-kanak dan remaja yang penuh warna lazimnya orang kebanyakan di usianya.
Ketika mayoritas remaja seusianya menghabiskan waktu dengan nongkrong di kafe dan bercengkerama satu sama lainnya sambil memainkan gawai mewahnya, Rifda sehari-hari berjibaku dengan barbel, matras, dan gelang senam. Saat gadis-gadis lainnya membahas model gaya rambut kekinian, atlet asal DKI Jakarta itu memendam soal cederanya, seperti robek meniskus, yang dideritanya akibat senam.
”Saya hampir tidak ada waktu bersantai. Sabtu pagi saja masih latihan. Hampir lima tahun ini tidak pernah liburan, pulang kampung, atau semacamnya karena sering menjalani kejuaraan atau kamp latihan. Akibatnya, teman saya bisa dibilang sangat sedikit di luar media sosial,” ujar Rifda yang menekuni senam sejak usia enam tahun.
Langganan medali di SEA Games itu awalnya menekuni olahraga, khususnya senam, karena kondisi fisik tubuhnya. Saat kanak-kanak, ia rentan sakit karena fisik tubuhnya yang kecil dan sulit makan. Sebelum senam, ia diperkenalkan dengan berbagai cabang olahraga, seperti balet, panjat dinding, renang, bahkan loncat indah. Namun, hatinya lantas tertambat ke senam.
”Saya bahkan sempat spesialisasi gaya punggung (renang). Suatu ketika, saya tampil di kejuaraan yunior dan meraih tiga medali emas dari hampir semua (jenis) alat. Sejak saat itu, saya merasa lebih nyaman di senam,” ujar atlet yang membidik dua medali emas di SEA Games Filipina 2019 itu di sela-sela latihan di GOR Senam Raden Inten, Jakarta Timur, Rabu lalu.
Demi pilihan karier itu, ia harus mengorbankan cita-cita akademisnya, yaitu sebagai sarjana ilmu komunikasi. Seperti pelatihnya yang pernah menimba ilmu di Institut Teknologi Bandung, Eva Butar-Butar, Rifda memiliki potensi besar di bidang akademik. Ia diterima di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Namun, ia batal mengambil pilihan pertamanya dalam seleksi perguruan tinggi negeri itu karena orangtuanya ingin Rifda lebih fokus ke dunia senam.
Ia lantas mengambil Jurusan Ilmu Olahraga Universitas Negeri Jakarta agar lebih mendukung kariernya sebagai atlet. Meski demikian, tidak jarang ia mengalami kejenuhan, bahkan sempat merasa tidak kuat menjalani penderitaan sebagai atlet senam. Suatu ketika, ia nyaris celaka akibat terlempar jauh menyusul kerusakan alat di tengah latihan.
”Saya sempat berpikir kenapa harus sampai seperti ini? Mempertaruhkan nyawa untuk apa? Namun, akhirnya saya tetap melanjutkannya (menekuni senam) demi orang-orang seperti orangtua dan sahabat yang saya sayangi dan selama ini mendukung (karier di senam). Setiap kali bosan, saya juga mencoba mengingat saat pertama kali terjun di senam,” ujar atlet kelahiran 16 Oktober 1999 yang sempat ingin pensiun dini dari senam pada akhir 2018 itu.
Rifda mengaku belum puas dengan pencapaiannya selama ini meskipun telah meraih hal-hal yang diimpikan para atlet senam lainnya, yaitu meraih medali emas di SEA Games 2017 dan perak di Asian Games 2018. Ia menjadi atlet senam pertama di Indonesia yang meraih perak di Asian Games.
”Saya ingin berhenti (dari senam) dengan terhormat, meraih sesuatu hal yang besar,” tutur atlet perfeksionis yang bermimpi tampil di Olimpiade, panggung tertinggi olahraga itu.