Pudarnya Identitas Tawaro
Serupa beberapa daerah lain, keberadaan sagu di Sulawesi Tenggara remuk redam tergilas politik pangan dan masifnya konversi lahan. Identitas sagu atau tawaro yang dulu sangat kuat di masyarakat perlahan memudar. Meski demikian, sebagian pengolah berupaya keras menjaga tawaro agar tetap lekat dalam kehidupan.
Selasa (29/10/2019) siang, Lakude (55) duduk berlindung di rumah kebunnya dari terik matahari. Rumah kebun Lakude yang berjarak sekitar 1 kilometer dari tempat tinggalnya adalah sebuah bangunan tanpa dinding dengan tiang batang kayu dan beratap rumbia. Bangunan itu hanya berisi beberapa peralatan masak. Dari jalan tanah yang membelah dusun, perlu berjalan sekitar 700 meter untuk menemukan tempat Lakude berkebun, beternak, dan mengolah sagu.
Beberapa meter dari tempat Lakude duduk ada sebuah tempat pengolahan sagu. Namun, untuk sementara, warga Desa Lamomea, Konawe Selatan, ini tidak mengolah sagu.
”Sudah tiga bulan ini tidak bikin tawaro. Musim kemarau menyebabkan air sulit diperoleh. Kalau tidak ada air, tidak bisa mengolah sagu,” kata Lakude.
Tiga bulan terakhir, Lakude menceritakan, ia hanya berharap penghasilan dari hasil kebun dan penjualan atap rumbia, serta warung di rumahnya. Sebab, penghasilan sebagai pengolah sagu terhenti total.
Padahal, sekali mengolah sagu, ia bisa mendapatkan hasil yang lumayan. Terakhir kali, ia mendapat 20 ton sagu basah hasil mengolah 20 pohon sagu selama sebulan. Selain untuk dikonsumsi sendiri, sebagian hasil olahan tersebut dijual. Sagu basah itu dihargai Rp 2.200 per kilogram oleh sebuah pabrik pengolah yang terletak beberapa kilometer dari kediamannya. Kalau menjual 10 ton saja, setidaknya ia mengantongi Rp 22 juta.
Mengolah sagu telah dijalani Lakude sejak lulus sekolah rakyat puluhan tahun silam. Ia membeli lahan kebunnya sedikit demi sedikit. Ayah tiga anak ini membesarkan dan menyekolahkan anaknya dari hasil mengolah sagu. Ia belajar mengolah sagu dari ayah dan kakeknya. Seiring menjadi pengolah sagu, Lakude menanam pohon sagu di kebun.
Dia rajin memindahkan anakan pohon sagu ke lahan baru. Lakude menyadari pentingnya menanam sagu dari ayahnya meskipun saat itu pohon sagu masih banyak.
Seiring waktu, pohon sagu terus berkurang. Sejak pertengahan 1980-an, lahan yang awalnya banyak pohon sagu beralih fungsi menjadi sawah. ”Puncaknya pada 1990-an. Banyak pohon sagu yang ditebang. Kebunnya dijadikan sawah,” kata Lakude, mengenang.
Ia bertutur, desanya dulu dipenuhi pohon sagu yang berjajar di tepi jalan, di dekat kali, juga di kebun-kebun. Kini, pohon sagu hanya ada di beberapa lokasi. Itu pun sudah tidak serimbun dulu.
Kurangnya populasi pohon sagu berimbas pada usaha pembuatan atap rumbia keluarganya. Nawi (48), istri Lakude, menuturkan, berkurangnya pohon sagu membuat dia sulit mencari bahan dasar untuk membuat anyaman atap rumbia. Ia dan keluarganya cukup beruntung masih memiliki banyak pohon sagu.
”Suami saya suka membeli pohon sagu. Kalau ada yang menjual, dia pasti membeli. Sebab, ini merupakan mata pencarian kami,” ucap Nawi.
Salah satu mata Nawi tidak lagi bisa melihat. ”Dulu, waktu bikin atap, pengikatnya kena mata saya. Sakit sekali. Lama-lama salah satu mata saya tidak bisa melihat,” tuturnya.
Politik pangan
Lakude dan istrinya adalah sebagian kecil dari mereka yang berusaha bertahan hidup dari sagu. Beberapa orang mencoba membuat variasi olahan agar sagu tetap bisa dipertahankan. Sebagian lain telah meninggalkan pekerjaan mengolah sagu. Selain pohon sagu dan pengolah sagu makin berkurang, banyak warga juga tidak lagi memakan sagu.
Padahal, sagu (Metroxylon sagu) adalah tanaman yang mendiami jazirah tenggara Sulawesi sejak ratusan tahun lalu. Tanaman ini berkembang subur, memenuhi kawasan rawa, lahan gambut, juga tepian sungai.
Yulius B Pasolon, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, menyatakan, sagu di Sultra masuk dari rangkaian perjalanan sagu dari Papua. Tanaman ini pada zamannya menjadi pangan utama bernilai tinggi dalam masyarakat.
”Orang dulu bilang, sagu itu kesejukan. Sebab, dengan sagu, berarti hidup keluarga dan keturunannya terjamin. Satu kebun pohon sagu bisa menghidupi beberapa generasi. Tidak salah jika dahulu, sebelum orang Tolaki menikah, salah satu syaratnya harus memiliki kebun sagu,” papar Yulius yang banyak meneliti tentang sagu di Sultra.
Kecuali akar, sagu adalah tanaman yang semua bagiannya bisa dimanfaatkan. Daun sagu dianyam untuk atap, kulit pohon diolah menjadi papan, pelepah sagu dipilin menjadi tali, getah pelepah untuk lem, dan ulat pohon sagu digunakan sebagai sumber protein warga. Sementara, daging pohon sagu diolah menjadi makanan pokok.
Kesejukan sagu berpengaruh besar terhadap lingkungan sekitar. Sagu dikenal sebagai tanaman yang mampu menyerap karbon dalam jumlah tinggi. Sagu juga tanaman yang tahan terhadap suhu dan cuaca ekstrem, hama, serta tidak memerlukan pupuk.
”Akan tetapi, politik pangan membuat sagu di Sultra dan sejumlah wilayah lain terpinggirkan. Sagu perlahan tergantikan oleh beras,” ucapnya.
Akibatnya, menurut Yulius, terjadi perubahan pola makan di masyarakat. Perubahan itu mendorong terjadinya ekstensifikasi lahan untuk persawahan. Seiring dengan itu, peran sagu di masyarakat turut meredup.
Sagu yang awalnya makanan pokok, pelan-pelan menjadi pangan cadangan. Sagu menjadi pelengkap di masyarakat, sekadar makanan sampingan di kala bosan makan nasi.
Kondisi ini membuat masyarakat bergantung pada beras. Tidak lagi menjadikan sagu sebagai hidangan utama di meja makan.
Makin menyusut
Berdasarkan data Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra, produksi sagu pada 2017 hanya sekitar 2.600 ton. Jumlah ini turun dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2016, produksi sagu 2.765 ton dan sebanyak 3.259 ton pada 2015. Produksi tahun 2014 mencapai 4.854 ton. Angka-angka tersebut menunjukkan, dalam tiga tahun produksi, sagu berkurang hampir 50 persen.
Luas lahan sagu diperkirakan terus menyusut. Total luas lahan sagu pada 2019 mencapai 5.000 hektar. Sekitar dua dekade sebelumnya, luas lahan sagu lebih dari 13.000 hektar. Dalam kurun waktu 20 tahun, lahan sagu berkurang lebih dari 60 persen.
Sultra adalah daerah dengan potensi sagu yang besar setelah Papua, Maluku, dan Riau. Sentra sagu di Sultra adalah Konawe, Konawe Selatan, dan Kolaka Timur.
Perubahan lahan dan produksi ini seiring dengan perubahan pola pangan di masyarakat. Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan Sultra 2018, jumlah konsumsi sagu hanya 5,6 kilogram per kapita per tahun. Sementara, jumlah konsumsi beras adalah 94,9 kilogram per kapita per tahun.
Sejak bertahun-tahun, tidak ada upaya untuk pengembangan sagu di Sultra. Dinas Perkebunan dan Hortikultura tidak menjadikan sagu sebagai salah satu komoditas yang dikembangkan. Kurangnya perhatian pemerintah membuat peran sagu di masyarakat semakin menurun.
Ditemui secara terpisah, Jumat (1/11), Gubernur Sultra Ali Mazi menuturkan, salah satu kendala yang dihadapi terkait pengembangan sagu adalah konversi lahan. Luas lahan sagu terus berkurang karena berbagai hal, termasuk alih fungsi kebun sagu warga menjadi lahan konsesi pertambangan.
Menurut Ali Mazi, pengembangan sagu harus ditopang rencana holistik untuk meningkatkan nilai tambah dan mengembalikan sagu sebagai pangan lokal di masyarakat. Hal itu seiring peringatan Hari Pangan Sedunia ke-39 yang diselenggarakan di Sultra, 2-5 November lalu.
”Ini akan kami upayakan ke depan. Kami akan berdiskusi dengan pemerintah kabupaten/kota yang menjadi sentra sagu. Lalu, kami upayakan pengembangannya,” katanya.
Ini merupakan kabar gembira. Bagi Lakude serta sebagian masyarakat di Bumi Anoa, sagu bukan hanya cadangan pangan. Sagu adalah identitas hidup, bagian dari keluarga.
”Sagu itu sudah sulit (dicari). Mengolahnya juga sulit. Namun, saya akan terus mengolah sagu untuk keluarga,” ujar Lakude, menegaskan tekadnya.