Mayoritas Dukung Zulkifli Hasan, Kans Kader Lain Belum Tertutup
Ketua umum PAN periode 2020-2025 dituntut mengubah PAN menjadi partai modern. Salah satunya, partai tak lagi dimanfaatkan untuk kendaraan politik atau memenuhi kepentingan politik individu tertentu di partai.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 28 dari 34 ketua Dewan Pimpinan Wilayah Provinsi Partai Amanat Nasional disebut mendukung kembali Zulkifli Hasan untuk menjadi ketua umum PAN periode 2020-2025. Meski demikian, bukan berarti kuatnya dukungan itu memperkecil kans kader PAN lain yang ingin menjadi ketua umum. Dalam politik, segala sesuatu mungkin terjadi.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PAN Provinsi Sulawesi Barat Asri Anas menyampaikan, dukungan dari mayoritas ketua DPW PAN itu karena Zulkifli dinilai sebagai sosok terbuka dan mampu berkomunikasi dengan baik.
”Kami sudah menyatakan mendukung penuh Pak Zulkifli karena kami ingin melihat partai ini besar ke depan. Kelihatannya partai ini harus dibawa jauh lebih soft, tidak boleh lagi dibawa penuh cacian dan makian yang tidak baik bagi demokrasi. Hanya sosok Pak Zulkifli yang bisa membawa dinamika itu lebih bagus,” tutur Asri saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Senin (25/11/2019).
Dukungan ini secara spontan diberikan saat para ketua DPW berdialog dengan Zulkifli terkait dinamika di internal PAN menjelang Rapat Kerja Nasional PAN pada 6-7 Desember 2019 dan Kongres PAN pada Maret 2020. Dialog diadakan di Jakarta, Minggu (24/11/2019) malam.
Menurut Asri, jika dukungan semakin menguat, tidak menutup kemungkinan pemilihan ketua umum akan dilakukan secara aklamasi. Langkah ini dinilai lebih baik untuk menghindari konflik di PAN.
”Kalau 28 DPW sudah menyatakan dukungan, lebih baik calon lain bersama-sama saja. Kalau perlu, Pak Zulkifli bersatu dengan Pak Hanafi Rais, itu akan lebih elok, kan, sama-sama satu keluarga juga,” tuturnya.
Zulkifli Hasan sebelumnya menyebutkan, selain dirinya, sejumlah kader PAN lain dijagokan untuk menjadi ketua umum PAN, seperti mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur, putra tertua politikus senior PAN Amien Rais, Hanafi Rais; Wali Kota Bogor Bima Arya, dan mantan Ketua Fraksi PAN di DPR Mulfachri Harahap.
Sementara empat ketua DPW PAN yang belum memutuskan adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Keempatnya tidak hadir saat dialog dengan Zulkifli Hasan.
Ketua DPW PAN Jawa Barat Najib Qudratullah mengatakan, sebelum memutuskan dukungan, PAN Jawa Barat harus terlebih dulu rapat.
”Dalam waktu dekat, kami akan lakukan rapat walau memang secara personal kedekatan saya dengan ketua umum (Zulkifli) yang sekarang sekaligus menjadi kandidat dalam kongres itu sangat dekat. Namun, kan, saya harus secara normatif juga menjalankan etika partai,” ujarnya.
Kans kader lain
Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan, sekalipun dukungan kepada Zulkifli Hasan disebut sudah kuat, tetap tidak menutup kemungkinan kader PAN lain yang ingin menjadi ketua umum.
”Meski dukungan sudah menguat, bukan berarti yang menyatakan diri untuk maju di bursa pencalonan langsung mundur. Segala sesuatu yang namanya politik itu, kan, sangat dinamis,” katanya.
Yang terpenting, dia mengingatkan, siapa pun pemimpin yang terpilih harus mampu merangkul semua pihak, termasuk pihak yang kalah dalam pemilihan ketua umum di kongres PAN.
”Pemimpin ke depan harus punya kemampuan merangkul semua pihak, termasuk yang belum berhasil, agar dapat menjadi kekuatan partai. Jangan nanti kongres menjadi zero sum game atau winner takes all, yang menang dapat semua, yang kalah tersingkir, itu enggak boleh,” tutur Eddy.
Selain persoalan ketua umum PAN, Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan mengingatkan perlunya kongres PAN mengevaluasi raihan suara partai yang selalu berkisar antara 6 hingga 8 persen di setiap pergelaran pemilu.
Untuk itu, menurut dia, PAN perlu berubah menjadi partai modern. Salah satunya, partai tak lagi bertumpu pada satu figur tertentu saja di partai sekalipun figur tersebut pendiri partai. Keputusan-keputusan strategis harus diambil bersama-sama segenap jajaran partai.
Selain itu, partai tak boleh lagi dimanfaatkan untuk dijadikan kendaraan politik atau memenuhi kepentingan politik individu tertentu di partai. Salah satu bentuknya, membangun dinasti dengan menempatkan keluarga di kepengurusan partai atau jabatan-jabatan strategis di luar partai.
Dosen Komunikasi dan Marketing Politik dari Universitas Gadjah Mada, Nyarwi Ahmad, mengatakan, persoalan klasik di mayoritas partai politik di Indonesia adalah pengambilan keputusan yang elitis atau hanya diambil segelintir elite di partai. Hal lain, pengambilan keputusan kerap kali diintervensi pendiri partai. Persoalan ini pun dilihatnya terjadi di PAN.
”PAN harus bisa keluar dari persoalan itu. Kekuatan partai itu tidak hanya di pusat, tetapi di daerah juga. Kalau pusat mengambil keputusan sesuka hatinya, apalagi keputusan tidak sejalan dengan ekspektasi di daerah, peluang konflik di internal partai itu akan tinggi,” tuturnya.
Adapun terkait ketua umum PAN selanjutnya, Nyarwi mengatakan, penting bagi PAN untuk menemukan pemimpin yang memiliki faktor kepemimpinan yang kuat, mampu menghadirkan warna baru di PAN, dan mampu memikat publik. Ini penting karena faktor pemimpin menjadi salah satu faktor yang mampu meningkatkan elektabilitas partai di pemilu.