Mati karena Miras dan Narkoba? Itu Biasa...
Badan seukuran anak SD itu harus mengalami sakratul maut akibat perbuatan yang dilakukan sebelumnya, menenggak minuman keras oplosan dan obat terlarang. Naas, nyawanya tak tertolong.
Dengan mulut berbusa, R terkapar di kolong jalan layang Universitas Indonesia, Depok, di tengah perjalanan ingin mengamen. Badan seukuran anak SD itu harus mengalami sakratul maut akibat perbuatan yang dilakukan sebelumnya, menenggak minuman keras oplosan dan obat terlarang. Naas, nyawanya tak tertolong.
Peristiwa hampir enam tahun silam itu sangat membekas di ingatan AAS (18). Dia tahu, R sempat menunda ajakan mengamen bersama karena sedang asyik minum oplosan dan obat terlarang terlebih dahulu dengan anak-anak jalanan lain.
”Tiba-tiba pas ngumpul, dia (R) jatuh dan berbusa mulutnya. Dia meninggal di depan mata saya. Pikir saya, wah begini ya kondisi saya kalau lagi waktu tak sadarkan diri. Ngeri juga,” kenang AAS sambil mengingat detik demi detik kepergian R.
Kematian akibat miras oplosan dan narkoba, diakui AAS, cukup sering ditemukan di kehidupan anak jalanan. Yang paling jamak dijumpai lagi adalah ngelem. Ilusi yang dihasilkan dari ngelem tak setinggi narkoba, tetapi tetap disukai oleh mereka. Tak heran, ada saja peristiwa anak jalanan yang tertabrak atau lompat dari kereta.
Menurut AAS, biasanya saat memakai barang-barang terlarang itu, anak-anak jalanan mulai berkumpul di suatu tempat yang sudah ditentukan, pastinya yang aman dari penciuman polisi. Seakan gayung bersambut, mereka berkumpul atas dogma tahu sama tahu.
”Ada aja sih yang jual. Pokoknya mudah banget dapet barangnya,” kata AAS.
Selepasnya, semua pergi ke tempat masing-masing, ada yang lanjut nongkrong, ada pula yang lanjut turun ke jalanan. Dari situlah, di antara mereka ada yang masih selamat, ada juga yang berujung seperti R.
Beruntung, AAS tersadarkan lebih awal. Meski pernah jatuh dalam lingkaran itu, dia lebih memilih untuk berhenti. Perasaan takut mati konyol selalu menyelimutinya. Belum lagi kalau harus berurusan dengan polisi.
”Yang masih selamat sih pasti, nyoba lagi, pakai lagi, karena memang buat ketagihan. Enggak tahu saja, kalau masih seperti itu, kami tinggal nunggu giliran (kematian) saja,” kata AAS.
”Yang masih selamat sih pasti, nyoba lagi, pakai lagi, karena memang buat ketagihan. Enggak tahu saja, kalau masih seperti itu, kami tinggal nunggu giliran (kematian) saja,” kata AAS.
Coba-coba
Kehidupan gelap anak jalanan itu memang selalu diawali rasa coba-coba, seperti pengakuan FA (17). Saat menginjak usia 13 tahun, dia sudah memakai narkoba. Lingkaran pergaulan membuatnya terjerat dalam barang terlarang itu.
Tak hanya memakai, ia juga mengedarkan berbagai jenis narkoba, seperti ganja, sabu, dan obat penenang yang mudah didapatkan semisal xanax yang mengandung alprazolam.
Sekitar dua tahun masuk lingkaran, FA akrab dengan berbagai jenis narkoba. Karena itu pula, ia mendapat julukan mbeler oleh teman-temannya. Mbeler artinya mata seperti mengantuk karena memakai narkoba.
”Gue sempet ketagihan juga, masa bandel-bandelnya. Awal gue dikasih gratis, besok beli sesekali, dan keterusan, sampai gue jadi pengedar. Gue dapat keuntungan dari bisnis itu, tetapi hidup gue jadi boros banget,” ujar pria yang biasa ngamen dengan alat musik gitar dan biola itu.
Meski berhasil menghindar dari kejaran polisi bahkan kematian, FA merasa kehidupan yang ia jalani sangatlah suram dan penuh penyesalan. Dia bahkan menjerumuskan teman sendiri hingga temennya sekarat. Di saat dia mulai berpikir berhenti dan berhasil, justru teman-temannya justru makin terjerat narkoba.
”Sudah hidup susah, ketergantungan narkoba lagi. Itu membuat hidup semakin parah. Namun, gue mau berhenti narkoba tidak hanya itu saja. Ada peristiwa yang membuat gue jadi mikir banget, kenapa gue kayak gini,” ujarnya sembari terdiam sejenak tidak meneruskan cerita.
FA memang tak seperti AAS yang melihat temannya meninggal lalu beralih 180 derajat ke arah yang benar. Titik balik FA adalah ketika ia menghamili perempuan sesama anak jalanan. Ia harus tanggung jawab akibat hubungan seksual di luar nikah itu.
”Melakukan (hubungan seks) itu karena pengaruh narkoba. Sekarang, semua seakan hancur. Gue nikah siri karena umur kami masih di bawah 17 tahun. Gue umur 16 tahun, dia umur 14 tahun. Setelah istri melahirkan, kami cerai. Sekarang nyokap yang ngasuh anak gue,” ucap FA, yang hanya mengecap pendidikan hingga bangku kelas III SD karena keterbatasan ekonomi.
”Melakukan (hubungan seks) itu karena pengaruh narkoba. Sekarang, semua seakan hancur. Gue nikah siri karena umur kami masih di bawah 17 tahun. Gue umur 16 tahun, dia umur 14 tahun. Setelah istri melahirkan, kami cerai. Sekarang nyokap yang ngasuh anak gue,” ucap FA.
Kisah lainnya, GP (14), merupakan satu dari sekian banyak anak yang terpaksa mengadu nasib di jalanan. Ia mewarisi keterbatasan ekonomi dari orangtuanya. Meski lahir dan besar di Jakarta, kedua orangtua GP tidak berasal dari Jakarta. Ayahnya berasal dari Purwakarta, Jawa Barat dan sang ibu berasal dari Brebes, Jawa Tengah. Masing-masing merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib sampai akhirnya bertemu dan menikah.
Ayah dan ibu GP datang ke Jakarta tanpa bekal pendidikan dan keterampilan yang cukup untuk bersaing mencari pekerjaan. Sulitnya mencari pekerjaan membuat ayah GP bekerja sebagai juru parkir di Sabang, Jakarta Pusat. Sementara ibunya bekerja sebagai tukang cuci gosok di daerah Slipi, Jakarta Barat.
Keterbatasan ekonomi dan kesibukan kedua orangtuanya membuat GP turun ke jalan menjual tisu saat berumur 7 tahun.
”Dulu itu lihat teman-teman jual tisu, saya ikutan di daerah Sabang. Jual tisu di sana karena ada ayah juga, jadi ada yang jagain. Sebenarnya ibu melarang, tapi mau gimana lagi, kondisi susah. Lumayan saat itu, jual tisu bisa dapat Rp 20.000-Rp 30.000 per hari,” kata remaja perempuan anak kedua dari tiga bersaudara itu.
Karena keterbatasan ekonomi pula, GP tidak bisa melanjutkan sekolah ke tingkat menengah pertama. Sampai umur 11 tahun, GP tak lagi menjual tisu. Ia beralih profesi menjadi pengamen hingga saat ini. Sehari-hari ia mengamen di sekitar Sabang-Sarinah, tetapi dalam kurun waktu enam bulan ia sesekali pergi ke Depok untuk mengamen.
Penghasilannya pun meningkat, dalam sehari ia bisa mendapat Rp 50.000-Rp 80.000. Tak jarang ia bisa meraup lebih dari Rp 100.000. Selain ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, uang tersebut ia berikan kepada ibunya untuk membantu perekonomian keluarga.
AAS, FA, dan GP mengaku merasakan enaknya mencari uang di jalanan, tetapi dalam hati mereka, hidup dijalan bukan pilihan yang menyenangkan karena stigma negatif masyarakat, rawan kekerasan, hingga narkoba.
”Jalanan bukan pilihan yang terbaik untuk saya dan mungkin teman lainnya. Tapi, ke mana lagi kami harus lari? Apa yang bisa kami lakukan? Ini yang bisa kami lakukan dengan alat musik kami. Bertahan dan berharap ada yang memperhatikan kami. Jika tidak ada, jalanan mungkin yang terbaik untuk kami,” tutur AAS.
Jalanan bukan pilihan yang terbaik untuk saya dan mungkin teman lainnya. Tapi, ke mana lagi kami harus lari? Apa yang bisa kami lakukan? Ini yang bisa kami lakukan dengan alat musik kami. Bertahan dan berharap ada yang memperhatikan kami.
”Besar harapan kami anak jalan bisa sekolah mendapatkan ijazah dan bekerja. Kami tak ingin terus begini. Kami juga ingin membahagiakan orangtua keluar dari jerat ekonomi,” kata GP.
Baca juga : Sekolah untuk yang Terabaikan
Baca juga : Surabaya Cari Solusi Menghadang Anak Putus Sekolah