Anak-anak yang hidup di jalanan rentan menjadi korban kekerasan fisik hingga seksual. Sejumlah upaya pengentasan yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya bisa melindungi dan menyelamatkan mereka.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Indonesia belum bisa sepenuhnya mengentaskan anak jalanan. Terhitung hingga 2018, menurut data Kementerian Sosial, masih ada 12.000 anak Indonesia masuk kategori anak jalanan. Data Kemensos 2017 menyebutkan ada lima provinsi dengan jumlah anak jalanan terbesar, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
Anak jalanan, menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), adalah anak yang lari dari rumah/keluarga dan hidup sendiri di jalanan, anak yang menghabiskan sebagian waktunya di jalanan untuk bekerja, dan anak yang bersama keluarganya hidup di jalanan. Di Indonesia, seperti data Kemensos, anak jalanan terutama ada di kota-kota besar.
Penelusuran Kompas hingga Sabtu (23/11/2019) di Kota Bandung, Jawa Barat, anak jalanan dapat ditemui, antara lain, di Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Djunjunan, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Garuda. Salah satu dari mereka adalah NH (9), warga Bandung Wetan.
Sepulang sekolah, NH diajak orangtuanya berjualan di Jalan Djunjunan dan sekitarnya. Sudah dua tahun siswa kelas III sekolah dasar itu beraktivitas di jalanan selama lebih dari enam jam setiap hari. NH berjualan tisu dan tablet vitamin. Ibunya berjualan tisu dan kerupuk.
”Disuruh ibu bantu jualan. Enggak boleh bermain,” ujar NH, akhir pekan lalu. Di Kota Medan, Sumatera Utara, anak jalanan terutama ada di Jalan Gagak Hitam/Ring Road, Simpang Jalan Layang Letjen Djamin Ginting, dan Terminal Pinang Baris.
Disuruh ibu bantu jualan. Enggak boleh bermain.
Dayat (15) dan teman-temannya, misalnya, bekerja membersihkan angkot dengan modal sapu dan minyak solar di Terminal Pinang Baris. Setelah angkot masuk terminal, ia naik ke angkot dan bergegas membersihkannya. ”Biasa dapat Rp 3.000 setiap membersihkan satu angkot,” katanya.
Dayat mengakui sering bolos sekolah agar bisa dapat uang lebih banyak, hingga Rp 30.000 per hari. Uang itu untuk makan dan sebagian diberikan kepada orangtuanya. Ia pulang ke rumah sekitar pukul 19.00.
Di kawasan Senen, Jakarta Pusat, para pengajar kegiatan belajar-mengajar cuma-cuma bagi anak-anak kurang mampu, Sekolah Bingkai Jalanan, menuturkan, beberapa murid dan mantan murid mereka menjadi korban kekerasan fisik, juga pelecehan dan pemerkosaan berkali-kali.
Miskin dan isu keluarga
Data Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung, ada lebih dari 90.000 penyandang masalah kesejahteraan sosial di kota itu. Sebanyak 117 jiwa di antaranya anak jalanan. Jumlah yang sebenarnya diprediksi lebih besar karena ada dari Kabupaten Bandung dan Bandung Barat.
Kepala Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung Tono Rusdiantono mengatakan, pihaknya mempunyai rumah singgah berkapasitas 130 orang untuk menampung anak jalanan sementara waktu. Namun, rumah singgah belum mampu menyelesaikan persoalan. Beberapa anak yang pernah di rumah singgah kembali lagi ke jalanan.
”Di Medan, (sebagian) anak turun ke jalan karena persoalan ekonomi. Orangtua mereka juga umumnya hidup di jalan sehingga anaknya sejak kecil sudah terpapar kehidupan jalanan,” kata Koordinator Sanggar Kreativitas Anak Pusat Kajian Perlindungan Anak di Medan Camelia Nasution.
Ketidakharmonisan orangtua turut menyebabkan anak lebih memilih hidup di jalanan. Hal itu dialami WW (15) yang tiga bulan terakhir sering mengamen di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung. Sudah sebulan WW tidak pulang ke rumah orangtuanya di Buah Batu. Dia menumpang tidur di rumah teman di Batununggal.
”Bapak sama ibu ribut terus. Saya enggak betah di rumah. Kebetulan ada gitar di rumah. Jadi, saya pakai mengamen,” ucapnya. Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Medan Syaiful Chalid mengatakan, pihaknya membentuk forum anak mulai dari tingkat kelurahan. Forum itu untuk memetakan apa saja persoalan anak di Medan.
Di DKI Jakarta, Dinas Sosial (Dinsos) DKI Jakarta selama ini memotret jumlah anak jalanan berumur kurang dari 18 tahun di dua panti sosial milik dinsos dan rumah-rumah singgah. Dua panti sosial itu ialah Panti Sosial Asuhan Anak Putra Utama (PSAA-PU) 2 di Plumpang, Jakarta Utara, dan PSAA-PU 4 di Cengkareng, Jakarta Barat.
Orangtua mereka juga umumnya hidup di jalan sehingga anaknya sejak kecil sudah terpapar kehidupan jalanan.
Kedua panti sosial dan rumah-rumah singgah itu pada 2016 menangani 1.212 orang. Di 2017, jumlah yang ditangani menjadi 2.022 orang. Selanjutnya meningkat menjadi 2.453 orang di 2018 dan meningkat lagi 2.688 orang di 2019.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial DKI Jakarta Yayat Duhayat mengatakan, peningkatan itu karena jumlah rumah singgah yang terus bertambah dan penyisiran anak jalanan makin intensif. Total anak jalanan yang terdata belum termasuk mereka yang bersembunyi dari petugas.
Dalam upaya menyisir anak jalanan, Dinsos DKI memiliki Petugas Penghalau Pengamanan Sosial. Anggota tim tersebar di 279 titik rawan di Jakarta. Setiap titik ada 3-4 petugas bergantian bekerja antara pukul 07.00 dan 23.00.
Selain masalah keluarga, Yayat menambahkan, arus migrasi dan fenomena urbanisasi yang terlalu berpusat di Jakarta juga memicu peningkatan jumlah anak jalanan. Tak semua warga yang berpindah itu punya cukup modal besar, terutama keterampilan. Mereka pun akhirnya menganggur, anak-anaknya tak terurus. Yayat menyebutkan, hampir 60 persen anak jalanan di Jakarta berasal dari daerah lain, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Pemda jadi ujung tombak
Sejak 2017 Kemensos mencanangkan Gerakan Sosial Indonesia Bebas Anak Jalanan. Kemensos terus mendorong semua kabupaten/kota membuat gerakan sosial secara masif dengan menerbitkan regulasi dan alokasi anggaran dalam hal penanganan anak jalanan. Hingga kini, 13 kabupaten/kota sudah menerbitkan sejumlah regulasi tentang anak jalanan.
”Sekarang ini pendekatan rehabilitasi sosial berbasis hak. Kami meminta kepada kabupaten/kota, tolong penangkapan anak-anak jalanan sudah tidak musim lagi, kecuali yang betul-betul mengganggu dan kriminal. Jika mereka di jalan, harus memakai pendekatan persuasif,” ujar Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Edi Suharto.
Menurut Edi, pemerintah daerah kunci dalam mewujudkan Indonesia bebas anak jalanan. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, penanganan anak telantar dan anak jalanan merupakan layanan dasar yang harus dilakukan pemda. Adapun pemerintah pusat selain gerakan sosial juga memberikan rehabilitasi sosial tingkat lanjut bagi anak jalanan. (TAM/NSA/SYA/JOG/GIO/BOW/SON).