Masalah keluarga menjadi salah satu penyebab utama munculnya anak jalanan di kota-kota besar. Berbagai persoalan, seperti ketidakharmonisan orangtua, kekerasan, dan keterbatasan ekonomi, menyandera anak hidup di jalan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
Masalah keluarga menjadi salah satu penyebab utama munculnya anak jalanan di kota-kota besar. Berbagai persoalan, seperti ketidakharmonisan orangtua, kekerasan, ataupun keterbatasan ekonomi, menyandera anak hidup di jalanan sehingga mengancam masa depan mereka.
Di Kota Bandung, Jawa Barat, anak jalanan dapat ditemui di sejumlah lokasi, antara lain di Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Djunjunan, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Garuda. Pada siang hari, mereka mengamen, menawarkan jasa mengelap kendaraan, memulung, dan berjualan secara asongan.
Sementara pada malam hari, anak jalanan mengamen di sejumlah taman. Tak sedikit yang mengemis di sekitar pusat perbelanjaan. Beberapa di antara mereka beraktivitas di jalanan bersama orangtua, salah satunya NH (9), warga Bandung Wetan.
Sepulang sekolah, NH diajak orangtuanya berjualan di Jalan Djunjunan dan sekitarnya. Sudah dua tahun siswa kelas III sekolah dasar itu beraktivitas di jalanan selama lebih dari 6 jam setiap hari.
NH berjualan tisu dan tablet vitamin. Sementara ibunya berjualan tisu dan kerupuk. ”Disuruh ibu bantu berjualan. Enggak boleh bermain,” ujarnya, Kamis (21/11/2019).
Selain NH, belasan anak juga berjualan asongan di Jalan Djunjunan. Ekonomi keluarga yang terbatas memaksa mereka harus membantu orangtuanya mencari uang.
Padahal, di jalanan, anak sangat berisiko menjadi korban kecelakaan. Mereka menawarkan barang dagangan dengan turun ke jalan saat kendaraan berhenti ketika lampu merah.
Tidak jarang anak-anak itu masih berada di tengah jalan saat lampu lalu lintas berwarna hijau. Alhasil, mereka harus berlari agar tidak tertabrak kendaraan yang melintas.
Anak jalanan juga rentan menjadi korban kekerasan. Sebab, sering sekali mereka baru pulang ke rumah saat malam hari.
Faktor ketidakharmonisan orangtua turut menyebabkan anak lebih memilih hidup di jalanan. Hal itu dialami WW (15) yang dalam tiga bulan terakhir sering mengamen di Jalan Soekarno-Hatta.
Tidak jarang anak-anak itu masih berada di tengah jalan saat lampu lalu lintas berwarna hijau. Alhasil, mereka harus berlari agar tidak tertabrak kendaraan yang melintas.
Sudah sebulan WW tidak pulang ke rumah orangtuanya di Buah Batu. Dia menumpang tidur di rumah temannya di Batununggal.
”Bapak sama ibu ribut terus. Saya enggak betah di rumah. Kebetulan ada gitar di rumah. Jadi, saya pakai mengamen,” ucapnya, Senin (18/11).
Masa depan WW juga terancam. Sebab, sudah satu bulan dia tidak bersekolah sehingga terancam putus sekolah. ”Saya belum memikirkan masa depan. Yang penting bisa tenang enggak dengar orangtua ribut terus,” ujarnya.
Saya belum memikirkan masa depan. Yang penting bisa tenang enggak dengar orangtua ribut terus. (WW-15 tahun)
Menurut data Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung, penyandang masalah kesejahteraan sosial di kota tersebut lebih dari 90.000 jiwa. Sejumlah 117 jiwa di antaranya merupakan anak jalanan.
Akan tetapi, jumlah anak yang beraktivitas di jalanan Kota Bandung diprediksi lebih besar dari jumlah tersebut. Sebab, sejumlah anak jalanan berasal dari luar Kota Bandung, seperti Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.
Kepala Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung Tono Rusdiantono mengatakan, pihaknya mempunyai rumah singgah berkapasitas 130 orang untuk menampung anak jalanan sementara waktu. Dalam waktu maksimal tujuh hari, pihaknya akan mengklasifikasi persoalanan anak jalanan dan mencarikan solusinya.
”Kami memantau potensi anak untuk disalurkan ke balai-balai pelatihan sesuai keahliannya. Namun, ada juga yang langsung dikembalikan ke keluarganya. Jika bukan warga Kota Bandung, akan diserahkan ke dinas sosial di daerahnya,” ujarnya.
Akan tetapi, rumah singgah belum mampu menyelesaikan persoalan anak jalanan. Buktinya, beberapa anak yang pernah dibawa ke rumah singgah kembali lagi ke jalanan.
Akan tetapi, rumah singgah belum mampu menyelesaikan persoalan anak jalanan. Buktinya, beberapa anak yang pernah dibawa ke rumah singgah kembali lagi ke jalanan.
Tono menyadari, masalah keluarga menjadi pemicu terbesar anak hidup di jalanan. Oleh sebab itu, pihaknya melakukan sosialisasi kepada orangtua agar anak tidak menjadi korban atas persoalan tersebut.
”Keluarga ibarat benteng pertama agar anak tidak beraktivitas di jalanan. Jadi, kesadaran keluarga untuk memperhatikan anak sangat penting agar anak terhindar dari masalah di jalanan, seperti kesehatan dan kekerasan,” ujarnya.