Debirokratisasi administrasi pendidikan membutuhkan payung hukum karena praktik ini tidak bisa dibebankan kepada para guru di lapangan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Debirokratisasi administrasi pendidikan membutuhkan payung hukum karena praktik ini tidak bisa dibebankan kepada para guru di lapangan. Harus ada penjelasan mengenai aspek-aspek ketatausahaan yang bisa diringkas, bahkan dipapas betul guna menjadikan kinerja guru, kepala sekolah, dan pengawas tepat sasaran.
”Permasalahan administrasi, antara lain, aturan dari pusat, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang kemudian diturunkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, memang banyak yang mengikat,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim di Jakarta, Minggu (24/11/2019).
Permasalahan administrasi, antara lain, aturan dari pusat, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang kemudian diturunkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, memang banyak yang mengikat. (Satriwan Salim)
Pada hari itu, menyebar naskah pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk peringatan Hari Guru Nasional. Intinya, pemerintah mengakui beban administrasi guru yang berat, bahkan kerap tak terkait langsung dengan proses belajar dan mengajar. Namun, pidato itu menyuratkan agar guru proaktif mengambil jalur kreatif guna memotong birokrasi agar bisa fokus kepada mutu pemelajaran.
Satriwan memaparkan, guru tidak bisa sesukanya menerabas aturan karena merupakan tindakan anarkistis. Aturannya harus dibuat lebih ringkas dan lentur yang memungkinkan guru memiliki berbagai alternatif pendekatan dan metode dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
”Setiap unit kerja dan eselon di Kemendikbud harus satu visi yang kemudian diselaraskan dengan pemerintah daerah, dinas pendidikan, suku dinas, pengawas, kepala sekolah, dan guru. Jangan sampai ada satu mata rantai yang tidak memahami aturan debirokratisasi karena akan merembet ke lapangan,” kata Satriwan.
Ia juga mengingatkan bahwa kinerja unit pendidikan tidak bisa berdasarkan imbauan Mendikbud. Aturan tertulis merupakan keharusan sebagai tanggung jawab kepada negara.
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia Tety Sulastri mengungkapkan, jenis administrasi yang memberatkan guru harus ditinjau ulang. Sejauh ini prosedur kenaikan pangkat guru dari golongan 3A ke 3B memang sangat merepotkan karena membutuhkan berkas yang sangat banyak.
Untuk administrasi pengajaran, seperti pembuatan rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP), terdapat beberapa alternatif yang ditawarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Mendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah tidak menyatakan RPP hanya boleh dilakukan dengan satu format selama memenuhi kriteria penilaian yang dibutuhkan.
”Pertanyaannya, sudahkah kepala sekolah dan pengawas memberi guru kebebasan membuat RPP sesuai kondisi kelas masing-masing atau sudahkah kepercayaan diri guru didorong untuk menyusun RPP yang spesifik dengan fakta di kelas? Kalau budaya ini tidak ada di sekolah, guru akan membuat RPP satu format yang tentunya merepotkan karena bertentangan dengan kondisi kelas mereka,” kata Tety.
Terkait dengan personalisasi pemelajaran untuk siswa ia menjabarkan, pendekatan di Indonesia masih memakai metode klasikal. Guru mengidentifikasi siswa di dalam kelas dan membaginya ke dalam tiga kategori, yakni siswa berkemampuan di atas rata-rata, rata-rata, dan di bawah rata-rata. Dalam pemelajaran, ketika siswa dibagi ke dalam kelompok, guru memastikan setiap kelompok memiliki siswa dari setiap kategori sehingga bisa tercipta tutor sebaya dan berbagi ilmu.
Pendekatan klasikal ini kelemahannya adalah tidak bisa mendeteksi dengan akurat potensi personal siswa sebagai seorang individu. Apalagi, lanjut Tety, selain jumlah siswa yang besar, yaitu 36 hingga 42 orang per kelas, sarana dan prasarana sekolah di Tanah Air secara umum memang belum bisa memfasilitasi pengembangan bakat individual yang sangat beragam.
”Justru guru menunggu tindakan nyata pemerintah dalam pemastian personalisasi pemelajaran karena butuh lebih dari perhatian guru dan wali kelas saja. Harus ada infrastruktur yang memadai di sekolah atau bisa juga membangun jejaring dengan lembaga-lembaga terkait pengembangan minat dan bakat siswa,” kata Tety.
Pendekatan lain
Terkait dengan naskah pidato Nadiem, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Kemendikbud Ade Erlangga Masdiana mengungkapkan, pengunggahan naskah ke situs resmi kementerian dilakukan sebagai pendekatan yang lain dari tahun-tahun sebelumnya. Daripada menunggu menteri membacakannya di kala upacara, publik sudah bisa mengetahui isinya.
Ia menjelaskan, inti pidato tersebut tetap kepada lima visi pemerintah untuk pendidikan, yaitu pendidikan karakter, debirokratisasi, investasi dan inovasi, penyiapan pengisian lapangan kerja, dan pemberdayaan teknologi.