Gadis Cilik itu Dibuang Ibunya dan Dilecehkan Berkali-kali
Tubuh kecil itu rupanya hanya selubung dari bermacam tragedi hidup yang pernah dicecapnya, mulai dari ditinggal ibunya sendirian, hidup di jalanan, hingga mendapat pelecehan seksual.
Oleh
J Galuh Bimantara
·5 menit baca
Cara bicara dan segala tingkah lakunya tak berbeda dengan anak-anak seusianya. Namun, tubuh kecilnya rupanya hanya selubung dari bermacam tragedi hidup yang pernah dicecapnya, mulai dari ditinggal ibunya sendirian, hidup di jalanan, hingga mendapat pelecehan seksual. Inilah EH (9), anak perempuan dari seorang pemulung di bilangan Senen, Jakarta Pusat.
Berkemeja dengan motif pecahan kaca dan berhijab coklat, EH duduk di sebuah kedai donat dalam mal di Jakarta Timur, Minggu (17/11/2019) malam. Tangannya beberapa kali mengambil donat mini seukuran bola pingpong di hadapannya. Di antara kegiatan mengudap, cerita tentang hidupnya mengalir dari mulutnya.
EH selama ini hidup berdua dengan ayahnya yang mengandalkan pekerjaan memulung. Ia biasa membantu sang ayah membersihkan gelas-gelas plastik agar nilai jualnya naik. Mereka tidur di sembarang tempat—lantai, pinggir jalan, meja warung—selama bisa untuk merebahkan badan.
Biasanya, EH tinggal di area Senen, Jakarta Pusat. Namun, ia pernah juga diajak ayahnya tinggal di Manggarai, Jakarta Selatan, selama enam bulan. Sebuah taman di seberang Stasiun Manggarai jadi ”kamar tidur” bagi mereka sehari-hari. ”Aku lebih suka di Senen, banyak temen mainnya,” ucap anak keenam dari sepuluh bersaudara ini.
Biasanya, EH tinggal di area Senen, Jakarta Pusat. Namun, ia pernah juga diajak ayahnya tinggal di Manggarai, Jakarta Selatan, selama enam bulan. Sebuah taman di seberang Stasiun Manggarai jadi ”kamar tidur” bagi mereka sehari-hari. ”Aku lebih suka di Senen, banyak temen mainnya,” ucapnya.
EH juga pernah tinggal dengan bibinya di Pandeglang, Banten, waktu ia kecil. EH tidak pernah mengenyam pendidikan formal, kecuali saat di Pandeglang. Itu pun hanya tiga hari, kelas I sekolah dasar. Alhasil, di usia sekarang EH belum lancar membaca.
Untungnya, terdapat pemuda-pemudi sukarelawan pengajar yang membagikan ilmu secara gratis bagi anak-anak kurang mampu di Senen, termasuk bagi EH. Sekolah cuma-cuma ini bernama Bingkai Jalanan.
Waktu EH pindah sementara ke Manggarai, para pengajar putus kontak dengannya karena ia pergi tanpa pamit. Salah seorang pengajar Bingkai Jalanan, Amelia Dwi Putri, amat kehilangan. Amel biasa mengajari EH membaca pada Kamis dan Jumat seusai bekerja. ”Meskipun daya serapnya tidak secepat teman-temannya, EH mau belajar,” ujarnya yang mendampingi EH mengobrol.
Saat diminta bercerita tentang kejadian yang dialaminya, baik di Pandeglang, Manggarai, maupun Senen, EH selalu mengelak, antara meminta tidak usah diceritakan dan beralasan ceritanya panjang. Rupanya, ada adegan-adegan pahit di setiap tempat yang pernah ditinggalinya dan berusaha dihapus dari ingatannya.
Kisah lara bermula dari perjumpaan perdananya dengan bapak-ibunya di Pandeglang. EH diduga belum pernah bertemu kedua orangtuanya sejak lahir hingga menjelang usia SD. Jadi, ia memang dititipkan pada bibinya. ”Waktu pertama bertemu bapak-ibunya, EH bertanya ke bibinya, ’itu siapa’,” ucap Amel.
Suatu ketika, EH pergi bersama ibunya. Di tengah perjalanan, ibunya tiba-tiba naik ojek dan meninggalkannya begitu saja. EH yang kelaparan lantas mendapat makan dari seseorang. Ia lalu bertemu dengan tetangga yang mengenalinya sehingga berhasil kembali ke rumah bibinya. Sejak saat itu, EH pergi ke Jakarta untuk tinggal bersama ayahnya.
Suatu ketika, EH pergi bersama ibunya. Di tengah perjalanan, ibunya tiba-tiba naik ojek dan meninggalkan dia begitu saja.
Derita EH belum berakhir. Sewaktu tinggal di taman seberang Stasiun Manggarai, ia pernah mengetahui bahwa seseorang memegang dadanya saat ia tertidur. Namun, tidak ada perlawanan apa pun dari dia. Para pengajar Bingkai Jalanan yang mendengar cerita ini mengedukasi dia agar memberontak jika ada yang berani menyentuh bagian dada ataupun kemaluan.
Oktober lalu, pengajar Bingkai Jalanan kembali syok dengan cerita dari EH. Ia pada suatu waktu menjelajahi isi ponsel pintar seorang pedagang makanan dan minuman ringan yang biasa disapa kakek oleh anak-anak di Senen. Tanpa disangka, ia mendapati foto-foto dirinya saat tidur tersimpan pada ponsel itu. Sejumlah foto menunjukkan bagian tubuhnya terekspos karena baju dan celananya dibuka. Saat ia mengingat-ingat, ia tidak merasa disentuh waktu tidur bersama si kakek, tetapi yang ia tahu, retsleting celananya sudah terbuka ketika bangun.
EH mengaku memang beberapa kali tidur dengan kakek karena saking akrabnya pria renta itu dengan anak-anak di sana. Salah seorang teman EH juga bercerita pernah melihat akun Facebook kakek penuh dengan media berunsur pornografi.
Tanpa disangka, ia mendapati foto-foto dirinya saat tidur tersimpan pada ponsel itu. Sejumlah foto menunjukkan bagian tubuhnya terekspos karena bajunya serta celananya dibuka. Saat ia mengingat-ingat, ia tidak merasa disentuh waktu tidur bersama si kakek, tetapi yang ia tahu, retsleting celananya sudah terbuka ketika bangun.
Mirisnya, ayah EH sudah tahu kejadian itu, tetapi memilih tidak berbuat apa-apa demi menghindari keributan. Para pengajar Bingkai Jalanan yang gemas pun bertindak. Sejak saat itu, EH tinggal di rumah salah satu pengajar agar lebih terlindung dari predatornya.
Apalagi, bukan sekali itu saja pengajar Bingkai Jalanan menjumpai kasus kekerasan seksual pada anak didik mereka. Pendiri Bingkai Jalanan, Hestiana Kiftia, mencontohkan, seorang anak laki-laki berinisial A menjadi korban sodomi. Ibunya tidak kuasa melindungi karena merupakan penyandang keterbelakangan mental. A tidak lagi muncul di kelas sejak ibunya dihajar seseorang di Senen.
Kasus lainnya, pemerkosaan terhadap seorang anak perempuan yang pernah belajar di Bingkai Jalanan berinisial DI. Ia biasa tidur di Pasar Senen. Jumlah pemerkosanya tidak hanya satu, tetapi sudah tak terhitung lagi. ”Bahkan, ada yang pelakunya itu bapak dan anak,” ungkap Hesti.
Secara umum, kekerasan seksual terus mengintai putra-putri Indonesia. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Juli lalu menerangkan telah mencatat adanya kenaikan jumlah permohonan perlindungan dan bantuan kepada LPSK terhadap anak korban kekerasan seksual. Jumlahnya pada 2017 sebanyak 70 permohonan, pada 2018 menjadi 49 permohonan, kemudian di 2019, hingga bulan Juni, sudah ada 78 permohonan.
Di Jakarta, menurut data Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DKI, dari 585 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani kurun Januari-September 2019, kekerasan seksual mencapai 224 kasus.
Di Jakarta, menurut data Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DKI, dari 585 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani kurun Januari-September 2019, kekerasan seksual mencapai 224 kasus. Bukan tidak mungkin, angka-angka ini hanyalah puncak gunung es kekerasan seksual pada anak, terutama yang akrab dengan kehidupan jalanan.
EH kini sudah menemukan rumah amannya. Anak jalanan lain menanti giliran mereka untuk juga terlindung dari para predator buas.