Dituding Langgar Aturan WTO, Indonesia Andalkan Pembelaan Sinergis
Dari 541 kasus tuduhan antisubsidi pada 1995-2018 yang dilayangkan ke WTO, sebanyak 24 kasus ditujukan ke Indonesia. Indonesia jadi negara ke-4 setelah China, India, dan Korea Selatan yang mendapatkan tuduhan terbanyak.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah menyiapkan langkah pembelaan sinergis menghadapi sejumlah tuduhan pelanggaran aturan Organisasi Perdagangan Dunia yang dilayangkan kepada Indonesia. Indonesia tergolong dalam lima besar negara yang sering mendapatkan tuduhan itu dalam perdagangan internasional.
Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Pradnyawati mengatakan, intensitas penggunaan instrumen tuduhan tersebut tengah meluas.
”Pemerintah akan mengambil langkah pembelaan secara sinergis dengan mengetahui dasar-dasar untuk berargumen (terhadap tuduhan) tersebut,” ujarnya saat membuka ”Trade Remedies Dialogue Series: Subsidy and Countervailing Duty”, di Jakarta, Senin (25/11/2019).
Berdasarkan data Kemendag, terdapat 541 kasus tuduhan antisubsidi sepanjang 1995-2018 yang dilayangkan negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebanyak 24 kasus di antaranya dilayangkan ke Indonesia. Indonesia menjadi negara keempat setelah China, India, dan Korea Selatan yang mendapatkan tuduhan terbanyak.
Saat ini, terdapat tujuh kasus tuduhan antisubsidi yang sedang dihadapi Indonesia. Kemendag memperkirakan, jika Indonesia kalah menghadapi ujuh tuduhan itu dan akhirnya dikenakan bea masuk antisubsidi, nilai ekspor yang hilang sebesar 1,25 miliar dollar Amerika Serikat (AS).
Dari tujuh kasus itu, Indonesia tengah menyelesaikan kasus tuduhan Uni Eropa (UE) terhadap biodiesel Indonesia yang berbahan baku minyak kelapa sawit. Saat ini, UE telah mengenakan bea masuk antisubsidi (BMAS) sementara sebesar 8 persen-18 persen.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana mengemukakan, pemerintah dan pelaku usaha telah mengirimkan argumentasi terkait tuduhan itu kepada UE. Finalisasi keputusan UE terhadap argumentasi Indonesia akan keluar pada Desember 2019.
Sementara UE akan mengenakan BMAS secara permanen terhadap biodiesel Indonesia pada Januari 2020. ”Jika argumentasi Indonesia berhasil, UE tidak akan menerapkan BMAS secara permanen dan akan mengembalikan BMAS yang sudah dipungut sementara,” ujarnya.
UE berpotensi menambah kasus tuduhan antidumping yang dilakukan Indonesia. UE tengah mengajukan komplain kepada WTO terkait aturan pembatasan ekspor nikel dari Indonesia pada Jumat lalu waktu setempat.
UE keberatan dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Penjaminan keberlangsungan pasokan fasilitas pengolahan dan permurnian nikel di dalam negeri menjadi salah satu pertimbangan perubahan peraturan itu.
Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 mengubah Pasal 46. Perubahan itu berupa penghapusan klausul penjualan nikel dengan kadar kurang dari 1,7 persen ke luar negeri. Regulasi ini akan berlaku mulai 1 Januari 2020.
Menurut Komisioner Perdagangan UE Cecilia Malmstrom, hambatan ekspor nikel tersebut dapat berdampak pada ketenagakerjaan negara anggota UE di sektor terkait.
”Bagi kami, Indonesia (tampaknya) telah merancang dan menetapkan hambatan ini dengan mengumumkan larangan ekspor (nikel) pada Januari 2020,” katanya.
Hambatan ekspor nikel tersebut dapat berdampak pada ketenagakerjaan negara anggota UE di sektor terkait.
Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara eksportir baja tahan karat (stainless steel) yang mengandung nikel di pasar UE. Pangsa pasarnya meningkat dari nol persen pada 2017 menjadi 18 persen pada triwulan II-2019.
Menanggapi hal itu, Wisnu mengatakan, Indonesia telah menerima permintaan konsultasi dari UE. Indonesia berharap UE menunjukkan sikap kooperatif.
Secara umum, tahap konsultasi dalam komplain di WTO berlangsung selama 60 hari antara pihak-pihak yang terlibat untuk menyelesaikan persengketaan.
”Strategi pembelaan terhadap tuduhan-tuduhan itu membutuhkan data dan fakta empiris. Kami juga berharap pelaku usaha juga perlu bersikap kooperatif,” ujarnya. (REUTERS)