Kapal Wisata Tenaga Surya Pertama Dikenalkan di Sungai Kahayan
Kapal wisata bertenaga surya diproduksi di Kalimantan Tengah dan dikenalkan kepada kalangan terbatas di Sungai Kahayan, Palagkaraya, Senin (25/11/2019).
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kapal wisata bertenaga surya diproduksi di Kalimantan Tengah dan dikenalkan kepada kalangan terbatas di Sungai Kahayan, Palagkaraya, Senin (25/11/2019). Kapal ramah lingkungan itu berpotensi menjadi pembuka jalan bagi kegiatan ekowisata.
Kapal itu dibuat Yayasan Eko Hapakat didukung Fairventures Worldwide, lembaga nonprofit yang fokus pada pengembangan ekonomi masyarakat lokal dan lingkungan. Kapal dibuat lebih kurang dua setengah bulan, berukuran 4,8 meter x 1,8 meter dengan kapasitas sembilan penumpang ditambah dua operator kapal. Kapal dibuat dari kayu alau atau cemara hutan(Casuarinaceae).
Panel surya dipasang pada bagian atap kapal, sedangkan pada bagian belakang terdapat dua aki. Berbeda dengan perahu wisata di Kalteng, perahu tenaga surya ini memiliki lantai datar. Tidak runcing.
Ini yang saya belum temukan di Kalteng, ramah lingkungan harusnya diterapkan untuk semua fasilitas ekowisata yang dijual ke luar.
Salah satu ahli energi bertenaga matahari asal Jerman, Richard Leiner, mengungkapkan, Indonesia khususnya Kalimantan Tengah, memiliki energi surya yang luar biasa. Ada di bawah garis Khatulistiwa, sinar matahari bisa dimanfaatkan menjadi energi tanpa batas.
”Ramah lingkungan karena kapal ini tidak akan mencemari sungai yang dilaluinya. Suaranya tidak berisik dan tidak mengeluarkan asap, seperti kapal wisata lainnya,” kata Leiner, pengajar di Universitas Konstanz, Jerman.
Leiner mengungkapkan, pembuatan satu kapal itu didukung dana dari Kedutaan Jerman di Indonesia sebesar Rp 380 juta. Biaya paling besar untuk pembelian baterai, yang tidak dijual di Indonesia.
”Spesifikasinya khusus, kami dapatkan di Tiongkok. Kalau desain badan kapal dan yang lain, semua bisa dibeli dan dibuat di Kalteng,” katanya.
Kapal dengan kecepatan 16 kilometer per jam itu didesain bagi turis yang ingin menikmati alam melalui sungai dan membantu masuk ke hutan-hutan alami di Kalteng. ”Kebutuhannya memang bukan untuk ngebut, jadi benar-benar menikmati alam,” ujarnya.
Belum sesuai
Konsultan wisata asal Jerman dari Fairventures Worldwide, Helmut Weber, mengungkapkan, Kalimantan Tengah salah satu tujuan ekowisata di dunia yang belum berkembang maksimal. Ada begitu banyak halangan, salah satunya deforestasi.
”Saya sudah ke sini (Kalteng) pada tahun 1982 dan, jika dibandingkan saat ini, ada pemandangan yang jauh berbeda, deforestasi mengubah segalanya,” ungkap Weber.
Menurut Weber, ekowisata memiliki tiga prinsip. Prinsip ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Banyak turis memilih ekowisata karena ingin menikmati alam yang memenuhi unsur perlindungan terhadap lingkungan, termasuk ramah lingkungan. Bahkan, ekowisata mempertimbangkan perubahan iklim.
”Ini yang saya belum temukan di Kalteng, ramah lingkungan harusnya diterapkan untuk semua fasilitas ekowisata yang dijual ke luar,” kata Weber.
Meskipun demikian, Kalteng memiliki potensi ekowisata yang luar biasa karena masih terdapat kawasan-kawasan lindung yang bisa dikunjungi, baik untuk penelitian, sekadar menikmati alam, maupun konsep wisata menjelajah alam.
”’Heart of Borneo’ harusnya bisa jauh lebih berkembang,” ujar Weber.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kalteng Guntur Taladjan mengungkapkan, kapal wisata ramah lingkungan bisa menjadi pembuka awal perjalanan ekowisata di Kalteng menuju internasional. Ia pun berkomitmen mendukung dan memfasilitasi para pelaku usaha untuk bisa mempertimbangkan kerentanan lingkungan dalam menjalankan usaha wisata.
”Ini adalah awal yang baik dan bisa menjadi contoh untuk semua pelaku usaha. Kami optimistis ekowisata di Kalteng bisa menjadi unggulan di Indonesia,” ujarnya.
Guntur menjelaskan, setelah kapal tersebut dibuat, menurut rencana kapal akan dioperasikan Destination Management Organization (DMO), sebuah wadah untuk membantu memajukan konsep wisata di Kalimantan Tengah.
DMO itu, lanjut Guntur, berisi perwakilan Dinas Pariwisata Provinsi Kalteng dan para pelaku wisata dari berbagai aspek, seperti kuliner, transportasi, dan kelompok sadar wisata. Destinasi sampai persoalan tarif kapal akan dibahas saat DMO sudah dibentuk.
”Diskusinya akan berlanjut nanti setelah semua pihak sudah ketemu dan sepakat,” ucapnya.