JAKARTA, KOMPAS- Kekerasan fisik maupun non fisik masih menjadi ancaman terbesar bagi jurnalis di Indonesia dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistiknya. Hal ini tercermin dalam hasil riset Holding the Line: South East Asia Media Freedom Report 2019 yang diluncurkan 23 November 2019 kemarin.
Riset yang dikerjakan International Federation of Journalists (IFJ) dan South East Journalists Unions (SEAJU) ini melibatkan 1.270 jurnalis dan pekerja media dari tujuh negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Timor Leste. Khusus di Indonesia, dari 511 responden jurnalis yang diteliti, 67 persen di antaranya merasa tidak nyaman karena mengalami ancaman fisik dan non fisik.
"Tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis ini disebabkan karena tidak adanya penanganan kasus oleh aparat. Karena itulah, AJI meminta kasus kekerasan terhadap jurnalis harus diselesaikan hingga tuntas menggunakan delik Undang-Undang Pers," kata Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim, Senin (25/11/2019) di Jakarta. AJI yang merupakan afiliasi IFJ dan bagian dari SEAJU turut berkontribusi dalam menyusun riset ini.
Selain kekerasan fisik, bentuk ancaman lain yang dialami jurnalis di Indonesia adalah doxing atau pelacakan serta pembongkaran identitas jurnalis yang menulis tidak sesuai dengan aspirasi pelaku kekerasan. Karena tidak terima, pelaku kemudian menyampaikan stigma negatif kepada jurnalis lalu menyebarkannya melalui media sosial untuk tujuan negatif.
Persoalan lain yang tak kalah peliknya bagi jurnalis Indonesia adalah masalah upah yang rendah dan kondisi kerja tak teratur. Dua hal ini juga menjadi bentuk ancaman non fisik bagi mereka.
Sasmito menegaskan, dalam kondisi tak tak mengenakkan ini, perusahaan media semestinya memberikan jaminan perlindungan dan keselamatan kerja yang pasti bagi para jurnalisnya. Begitu jurnalis mengalami ancaman, maka perusahaan harus menjadi garda terdepan dalam mendampingi korban kekerasan sampai dengan kasusnya tuntas diselesaikan sesuai UU Pers.
Karena itulah, kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, baik yang dilakukan oleh aktor non negara maupun negara mesti dituntaskan proses pengungkapannya. Ini penting supaya dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan dan mencegah kasus serupa terulang kembali.
Peringkat bawah
Di konteks Asia Tenggara, nilai Indonesia dalam hal efektivitas penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis hanya 7,5. Ini tergolong nilai rendah dari skala terbaik 1 hingga paling buruk 10. Demikian pula, nilai Indonesia dalam konteks impunitas, nilai Indonesia juga terpuruk pada level 7,6.
Riset Holding the Line: South East Asia Media Freedom Report 2019 juga membahas mengenai situasi kebebasan media di Indonesia yang menunjukkan kondisi stagnan. Beberapa faktor yang menyebabkan situasi ini, antara lain soal kepemilikan media, kurangnya penegakan etika jurnalistik dan profesionalitas jurnalisme, persoalan kebijakan pemerintah dan legislasi, serta intervensi aktor politik dan negara terhadap kebebasan media.
Direktur IFJ Asia Pasifik Jane Worthington mengatakan bahwa peningkatan kekerasan terhadap jurnalis termasuk kekerasan online menunjukkan, bahwa situasi di level regional masih sangat mengancam bagi jurnalis dalam menjalankan pekerjaan. “Kami berharap riset ini dapat menjadi bagian dari advokasi untuk jurnalis dan serikat pekerja untuk terus melawan dan mendesak perubahan guna memperkuat kebebasan media dan demokrasi,” ujarnya.