Kekerasan Sulit Dihapuskan jika Masih Ada Diskriminasi
Hingga kini, praktik-praktik diskriminasi masih banyak terjadi dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan lainnya. Jika hal itu tak bisa diatasi dan ditekan, kekerasan pada perempuan akan sulit dihapuskan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Hingga kini, praktik-praktik diskriminasi masih banyak terjadi dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan lainnya. Jika hal itu tak bisa diatasi dan ditekan, kekerasan pada perempuan akan sulit dihapuskan. Diskriminasi ialah akar kekerasan.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Azriana Manalu mengatakan itu pada Kongres Perempuan Jawa Tengah I di Kota Semarang, Senin (25/11/2019). Diskriminasi terhadap perempuan terjadi salah satunya karena ada aturan-aturan masyarakat yang membatasi.
”Kalau ada pembedaan jenis kelamin, pembatasan ruang gerak perempuan, itu diskriminasi terhadap perempuan. Tak hanya dalam kebijakan, tetapi juga pada praktik keseharian. Saat relasi tak setara, yang di bawah bisa mengalami kekerasan,” kata Azriana.
Azriana menambahkan, auktor intelektualis diskriminasi terhadap perempuan tidak tunggal. Selain negara, lewat kebijakan atau peraturan, juga oleh masyarakat dan keluarga. Selain itu, perusahaan juga bisa menjadi pelaku diskriminasi terhadap perempuan.
Kalau ada pembedaan jenis kelamin, pembatasan ruang gerak perempuan, itu diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam catatan Komnas Perempuan, terdapat 421 kebijakan yang diskriminatif. Dari jumlah itu, sebanyak 40 kebijakan di tingkat nasional, yakni terkait kriminalisasi perempuan, pengabaian afirmasi, dan pengurangan hak konstitusional. Sementara 381 kebijakan di tingkat daerah yang mengatur soal agama, moralitas, dan ketertiban umum.
”Saya berharap ibu-ibu memantau. Bagaimana peraturan-peraturan dari provinsi hingga desa dihasilkan. Dengan adanya pengawalan, kita bisa mencegah kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Dimulai dengan melihat isinya, apa yang diatur,” ujar Azriana kepada sekitar 700 peserta kongres yang hadir.
Kongres Perempuan Jateng I pada 25-26 November 2019 diinisiasi Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Jateng dan Badan Koordinasi Organisasi Wanita Jateng. Kongres ini juga merupakan konsolidasi gerakan sosial untuk mencari solusi bersama.
Berdasarkan data DP3AP2KB Jateng, kasus kekerasan terhadap perempuan di provinsi itu masih tinggi. Pada 2016, terdapat 2.044 kasus, kemudian menjadi 1.869 kasus (2017), dan 1.883 kasus (2018). Pada 2018, tiga kasus paling dominan adalah kekerasan seksual, fisik, dan psikis.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan, sejumlah isu terkait perempuan, seperti pernikahan dini, angka kematian ibu melahirkan, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terjadi karena perempuan dalam posisi sulit. Kesetaraan belum ada.
Oleh karena itu, koridor bagi perempuan perlu dibuka, termasuk melalui Kongres Perempuan Jateng I. ”Kongres ini saya titipi untuk menyelesaikan masalah-masalah itu. Kita tunggu rekomendasi yang akan membuat perempuan Jateng lebih berdaya,” ucapnya.
Ganjar menuturkan, hal positif yang didapatkannya adalah perempuan Jateng terlibat aktif dalam berbagai musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Ia pun mendorong perempuan untuk bersuara agar program-program pemerintah berperspektif jender.
Uminatus Sholikah (38), perempuan nelayan asal Kabupaten Demak, menuturkan, pihaknya kerap terlibat dalam musrenbang tingkat desa. Namun, ketika pada tahap perumusan, mereka tak lagi dilibatkan sehingga apa yang disampaikan tak dijadikan acuan.
”Sebagai perempuan nelayan, kami harap ada pengakuan. Selain nelayan, ibu-ibu pedagang dan pengolah hasil perikanan juga kami harapkan bisa diakui negara,” ujarnya. Sebelumnya, lewat perjuangan selama tiga tahun, ada 31 perempuan nelayan di Demak yang mendapat kartu asuransi nelayan, tetapi itu masih sebagian kecil.