Kementerian Luar Negeri Turut Kembangkan Ekosistem Digital Indonesia
Pemerintah telah membina 1.307 perusahaan rintisan dalam program Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi. Dari jumlah itu, sebanyak 13 perusahaan kategori mapan bermodal Rp 4,5 miliar telah beromzet RP 125 miliar.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus menggarap pembentukan ekosistem digital yang sehat di Indonesia. Upaya ini diharapkan dapat membantu pertumbuhan berbagai perusahaan rintisan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar, Senin (25/11/2019), mengatakan, pemerintah berupaya menciptakan ekosistem digital yang berstandar dan berwawasan internasional. Untuk itu, pemerintah menyediakan platform diskusi bagi pendiri perusahaan rintisan serta perusahaan pemodal ventura dalam negeri dan luar negeri.
”Kami ingin pertemuan mereka dapat menghasilkan masukan atau saran mengenai apa yang menjadi kebutuhan perusahaan rintisan dan pemodal ventura. Perusahaan rintisan merupakan tumpuan penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan dalam menghadapi kondisi global yang dinamis,” kata Mahendra dalam konferensi pers tentang ”Kemlu for Startup” di Jakarta.
Acara tersebut dihadiri 361 perusahaan rintisan. Sebanyak 82 perusahaan rintisan potensial difasilitasi bertemu langsung dengan tujuh perusahaan pemodal ventura ternama, seperti BRI Ventures, Central Capital Ventura, Finch Capital, dan Vertex Ventures.
Menurut Mahendra, ekosistem yang baik akan mendorong daya saing perusahaan dalam negeri di tingkat internasional. Terdapat tiga elemen yang dapat membuat perusahaan rintisan Indonesia berdaya saing tinggi, yakni bonus demografi, sistem demokrasi, serta besarnya kelompok masyarakat yang belum mendapat akses pasar, modal, dan wawasan.
”Elemen-elemen ini menjadikan Indonesia penting dalam dunia perusahaan rintisan dan dunia digital. Sekarang tinggal bagaimana membangun ekosistem (digital) yang positif,” ujar Mahendra.
Terdapat tiga elemen yang dapat membuat perusahaan rintisan Indonesia berdaya saing tinggi, yakni bonus demografi, sistem demokrasi, serta besarnya kelompok masyarakat yang belum mendapat akses pasar, modal, dan wawasan.
Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, keterlibatan pemerintah dalam menyediakan platform diskusi antarpelaku usaha merupakan strategi untuk membangun bangsa yang inovatif. Platform serupa juga perlu dibentuk untuk menjembatani pelaku usaha dengan akademisi.
”Ini adalah triple helix atau sinergi antara pemerintah, sektor bisnis, dan akademisi dalam pengembangan inovasi bidang digital. Swedia menerapkan strategi ini sehingga menjadi salah satu negara paling inovatif di dunia,” ujarnya.
Menurut Bambang, interaksi antara sektor bisnis dan akademisi sangat penting. Pelaku usaha bisa membaca pasar, tetapi sering kesulitan menemukan solusi, sedangkan kalangan akademisi kerap bisa menemukan solusi kebutuhan pasar, tetapi sulit membaca prospek bisnis.
Keberadaan perusahaan rintisan yang berkelanjutan penting karena Indonesia kekurangan wirausahawan. Keberadaan wirausahawan di bidang digital penting karena dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru.
”Sejauh ini, pemerintah telah membina 1.307 perusahaan rintisan dalam program Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT). Dari jumlah itu, sebanyak 13 perusahaan kategori mapan (tenant mature) bermodal Rp 4,5 miliar telah menghasilkan pendapatan sebesar Rp 102 miliar,” ujarnya.
Aspek penting
CEO GDP Venture Martin B Hartono menyampaikan, terdapat sejumlah aspek penting yang perlu diperhatikan para pendiri perusahaan rintisan ketika ingin menjalin kerja sama dengan perusahaan modal ventura. Salah satunya adalah kesesuain visi dan misi antara kedua belah pihak.
”Perusahaan modal ventura itu tidak selalu selaras. Sebagai pengusaha, jangan asal terima investor saja,” kata Martin.
Perusahaan modal ventura itu tidak selalu selaras. Sebagai pengusaha, jangan asal terima investor saja.
Selain itu, lanjutnya, para pengusaha juga perlu menyadari besaran ukuran atau valuasi suatu perusahaan bukan patokan kesuksesan. Perusahaan harus menentukan ukurannya sesuai kemampuan dan model bisnis yang dibawa. Dalam berbagai kasus, valuasi yang berlebihan justru menghancurkan keberlangsungan perusahaan.