Indonesia dan Korea Selatan merampungkan perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Korea Selatan.
Oleh
Laksana Agung Saputra, dari Busan, Korea Selatan
·3 menit baca
BUSAN, KOMPAS - Indonesia dan Korea Selatan merampungkan perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Korea Selatan. Penyelesaian itu meningkatkan keragaman pasar dan sumber investasi bagi Indonesia.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, dokumen tentang penyelesaian perundingan itu akan ditandatangani di Busan, Korea Selatan, Senin (25/11/2019). Presiden Joko Widodo dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in akan menyaksikan penandatanganan dokumen itu.
Perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) Indonesia-Korsel terbagi atas enam kelompok kerja. CEPA membahas perdagangan barang, perdagangan jasa; investasi; ketentuan asal barang, prosedur kepabeanan dan fasilitasi perdagangan (ROOCPTF); kerja sama dan pengembangan kapasitas, serta isu hukum dan kelembagaan.
Lewat CEPA, Indonesia akan mendapatkan akses pasar yang lebih baik untuk produk industri, perikanan, dan pertanian di pasar Korsel. Sebaliknya, Indonesia akan memberikan akses pasar untuk bahan baku industri dan memfasilitasi investasi Korsel.
Tantangan Indonesia adalah meningkatkan ekspor produk manufaktur ke Korea Selatan.
Dengan penyelesaian perundingan CEPA, Jakarta berharap hubungan bilateral dengan Seoul semakin baik. Selama ini, Korsel jadi salah satu mitra ekonomi penting Indonesia. Korsel menanamkan 7,5 miliar dollar AS pada 7.607 proyek di Indonesia sepanjang 2012-2016.
Untuk perdagangan, nilai ekspor Indonesia ke Korsel mencapai 9,54 miliar dollar AS dan impor senilai 9,08 miliar dollar AS. Indonesia surplus 460 juta dollar AS dari perdagangan dengan Korsel. ”Jenis komoditas yang diperdagangkan komplementer. Tantangan Indonesia adalah meningkatkan ekspor produk manufaktur ke Korea Selatan,” kata Duta Besar RI untuk Korsel Umar Hadi.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan, CEPA Indonesia-Korsel dapat menciptakan keragaman industri dalam negeri dan pasar ekspor. Itu penting di tengah pelemahan perekonomian global dan perang dagang.
Lewat CEPA, Indonesia bisa mengatasi ketertinggalan hak khusus dalam perdagangan. Negara lain yang telah menandatangani perjanjian sejenis dengan Korsel telah lebih dulu menikmati hak khusus itu.
Lewat CEPA, Seoul juga bisa menjadi investor dan mitra untuk reformasi ekonomi domestik. Perubahan demi percepatan ekonomi dalam negeri dibutuhkan agar Indonesia semakin mampu bersaing secara global. Perubahan juga dibutuhkan agar Indonesia bisa menjadi bagian dari rantai pasok global.
Reformasi ekonomi
Shinta mengatakan, penyelesaian CEPA selayaknya diimbangi dengan penyelesaian masalah industrialisasi dan reformasi ekonomi. Perpaduan itu dibutuhkan untuk memaksimalkan manfaat CEPA. ”Jangan hanya fokus pada penyelesaian perjanjian dagang,” ujarnya.
Pengusaha, kata Shinta, berharap pemerintah melakukan hal lain untuk mengoptimumkan manfaat perjanjian dagang. Perjanjian itu diharapkan benar-benar membuka akses pasar. Hal itu membutuhkan lebih dari sekadar soal tarif bea masuk impor atau kebijakan standar barang dan jasa, atau teknis perdagangan lain.
Untuk mencapai hasil optimum, Indonesia juga perlu menghilangkan hambatan ekspor di dalam negeri. Perlu kendali agar tidak ada kebocoran arus dalam perdagangan dan ketidaksesuaian dokumen impor saat mengklaim hak istimewa berdasar perjanjian dagang. Dibutuhkan pula kontrol atas persaingan tidak sehat seperti subsidi atau harga ekspor lebih rendah dibandingkan dengan di dalam negeri.
Para pengusaha juga perlu diberi pemahaman tentang cara memanfaatkan perjanjian, mengatasi hambatan ekspor di negara lain, hingga pemenuhan persyaratan ekspor di negara lain. Pengusaha juga perlu mendapat informasi tentang komoditas yang dapat mereka ekspor. Pengusaha juga membutuhkan informasi tentang cara memanfaatkan fasilitas perdagangan dalam koridor perjanjian dagang bilateral hingga bantuan dari perwakilan Indonesia di luar negeri.
Sementara terhadap investor yang datang dalam koridor perjanjian dagang, jangan sampai ada hambatan tambahan. Hal itu dibutuhkan untuk membuat perjanjian yang disepakati benar-benar bisa bermanfaat bagi perekonomian Indonesia.
Shinta menyebut sebaiknya pengusaha tak perlu dilarang impor atau didesak menyerap produk lokal yang tidak kompetitif. Pemenuhan kebutuhan dengan daya sendiri bukan ciri ekonomi masa kini. Daya saing dan kemangkusan lebih penting dalam perekonomian kiwari (zaman kontemporer).
Pemerintah didorong fokus merevitalisasi sektor yang tak produktif. Selain itu, pemerintah sebaiknya memastikan sektor itu mendapat suntikan dana dan teknologi agar mangkus dan berdaya saing. Dengan cara itu, Indonesia akan benar-benar mendapat manfaat. (RAZ)