Bencana banjir dan banjir bandang di Solok Selatan, Sumatera Barat, dalam enam hari terakhir diduga dipicu oleh kerusakan daerah resapan air di hulu sungai.
Oleh
Yola Sastra
·4 menit baca
SOLOK SELATAN, KOMPAS - Bencana banjir dan banjir bandang di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, dalam enam hari terakhir diduga dipicu oleh kerusakan daerah resapan air di hulu sungai. Kerusakan itu disebabkan antara lain pembalakan liar dan alih fungsi lahan.
Ketua Kelompok Pecinta Alam Winalsa, Abdul Aziz, di Padang Aro, Solok Selatan, Senin (25/11/2019), mengatakan, daerah resapan air sebagian sungai di Solok Selatan sudah rusak. Kerusakan itu membuat air hujan yang turun langsung masuk ke sungai dan meluap.
Fungsi resapan air di wilayah hulu berkurang drastis.
“Hutan di hulu Sungai Batang Bangko, Batang Suliti, Pinti Kayu, dan Batang Liki sudah rusak. Jadi, tidak heran saat curah hujan tinggi daerah yang dilewati sungai-sungai itu terjadi banjir. Fungsi resapan air di wilayah hulu berkurang drastis,” kata Aziz.
Dalam enam hari terakhir, terjadi banjir dan banjir bandang di daerah yang dilewati oleh sungai-sungai tersebut. Banjir terjadi berselang sehari, yaitu Rabu (20/11) malam, Jumat (22/11) malam, dan Minggu (24/11) malam. Secara keseluruhan, banjir membuat ribuan warga terdampak, rumah dan bangunan rusak, serta sejumlah fasilitas publik rusak.
Di Sungai Batang Bangko, Aziz menemukan kasus pembalakan liar dan masifnya alih fungsi lahan menjadi ladang, seperti kopi dan sayuran. Sementara itu, di Sungai Batang Suliti, Pinti Kayu, dan Batang Liki juga ditemukan alih fungsi lahan menjadi areal perladangan.
Aziz melanjutkan, kerusakan daerah resapan air itu mulai terjadi lima tahun lalu dan semakin masif dua tahun terakhir. Aziz berulang kali mengingatkan risiko bencana akibat kerusakan ini kepada tokoh dan masyarakat sekitar, tetapi tidak menjadi perhatian.
“Jika ini tidak mendapat perhatian serius pemangku kebijakan, banjir akan terus terjadi dan dampaknya semakin meluas,” ujar Aziz.
Manajer Program Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Rainal Daus, mengatakan, faktor utama banjir di Solok Selatan memang curah hujan tinggi dan lereng yang relatif dekat dengan sungai. Sungai tidak mampu menahan jumlah air yang jatuh. Namun, berkurangnya tutupan hutan di wilayah hulu turut berpengaruh.
Menurut Rainal, tutupan hutan pada areal hulu sejumlah sungai di Solok Selatan tidak banyak. Hal itu menjadi indikasi faktor yang menyebabkan hilangnya daya dukung untuk menahan air ketika curah hujan sangat tinggi.
Berdasarkan analisis keruangan yang dilakukan Warsi per 1 September 2019, di hulu Sungai Pintu Kayu terdapat 15 titik bukaan lahan. Sementara itu, di hulu Batang Bangko juga terdapat banyak bukaan lahan, sekitar 20 titik.
"Terbukanya hutan pada bagian hulu sungai akan mengurangi kemampuan daya untuk menahan laju air. Ketika curah hujan sangat tinggi, air akan mengalir dalam jumlah besar," kata Rainal.
Rainal menambahkan, ke depan harusnya ada upaya untuk memulihkan wilayah hulu oleh berbagai pihak dan mendukung masyarakat untuk bersama-sama meningkatkan tutupan lahan. Banjir secara teori dapat di minimalisasi dengan perencanaan pengelolaan catchment area (daerah tangkapan air) dengan perlindungan dan pengayaan lahan.
Sementara itu, Staf Advokasi dan Penegakan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar Zulpriadi berpendapat, banjir yang terjadi di Sumbar, termasuk Solok Selatan, terjadi karena deforestasi dan degradasi lahan di hulu sungai. Masifnya aktivitas pertambangan di aliran sungai, legal ataupun ilegal, juga menjadi pemicu.
Aktivitas tambang di daerah aliran sungai juga menyebabkan sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan sungai.
"Aktivitas pembalakan liar menjadi salah satu faktor penyebab berkurangnya resapan air di daerah hulu. Air langsung mengalir ke sungai. Aktivitas tambang di daerah aliran sungai juga menyebabkan sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan sungai. Hal itu membuat sungai tidak mampu menampung debit air ketika intensitas hujan tinggi," kata Zulpriadi.
Menurut Zulpriadi, kerusakan lingkungan itu akibat lemahnya pengawasan dan penindakan aktivitas penyebab deforestasi dan degradasi lahan oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini membuat bencana banjir terus berulang yang menimbulkan korban dan harta serta kerugian materil lainnya.
"Walhi Sumbar mendorong pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota agar melakukan audit lingkungan secara kolektif untuk menanggulangi bencana banjir untuk ke depannya," ujar Zulpriadi.
Kerugian
Kepala Bagian Humas Pemkab Solok Selatan Firdaus Firman mengatakan, Minggu malam, banjir merendam Nagari Pakan Rabaa, Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh, sedangkan banjir dan longsor menimpa Pinti Kayu, Nagari Pakan Rabaa Timur. Kerugian pada bencana Minggu malam itu mencapai Rp 6,2 miliar.
Sebanyak 46 keluarga yang terdiri atas 350 jiwa di Pintu Kayu, Nagari Pakan Rabaa Timur mengungsi, 38 rumah terendam, 10 rusak berat, dan 3 hancur. Sementara itu, di Nagari Pakan Rabaa, Jembatan Sungai Pangkua yang juga terdampak dua banjir sebelumnya terputus dan tidak dapat dilalui kendaraan.
Jorong Kampung Tarandam, Nagari Pasar Muara Labuh, Kecamatan Sungai Pagu, yang dua banjir sebelumnya juga terdampak, kembali dilanda banjir. Lebih dari 2.000 jiwa rumahnya terendam akibat banjir.
Terkait dugaan kerusakan hulu sungai sebagai pemicu, kata Firdaus, pemkab belum punya kajian. Namun, Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria, kata Firdaus, berencana menemui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Selasa (25/11). Ada empat sungai yang diusulkan untuk dinormalisasi, yaitu Batang Suliti, Batang Liki, Batang Sangir, dan Batang Bangko.
Untuk Batang Suliti, pemkab mengusulkan pembangunan tanggul banjir dan sodetan. Sementara itu, Batang Liki dan Batang Sangir diusulkan upaya pengendalian banjir dan perkuatan tebing. Adapun Batang Bangko diusulkan pengendalian banjir dan sedimentasi. Total anggaran yang diusulkan sekitar Rp 768 miliar.