Kesederhanaan Menjadi Harapan
Polri harus membangun budaya hidup sederhana dan tak berlebihan untuk dirinya dan keluarganya agar layak menjadi teladan masyarakat. Publik pun setuju polisi tidak bergaya hidup mewah.
Telegram Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis agar jajaran kepolisian beserta anggota keluarganya hidup sederhana dan tidak tampil mewah di hadapan publik, tak hanya urgen dan penting. Namun, juga mesti disosialisasikan dan diterapkan di semua lingkup Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali berbenah diri. Kali ini, Polri membangun budaya hidup tak berlebihan untuk dirinya dan keluarganya agar layak menjadi teladan masyarakat. Sejalan dengan itu, publik pun setuju polisi yang tidak bergaya hidup mewah.
Pada 15 November lalu, terbit Surat Telegram Polri bernomor ST/30/XI/HUM.3.4./2019/DIVPROPAM yang memuat aturan terkait gaya hidup personel dan pegawai di kepolisian. Surat itu berisi tujuh poin larangan dan imbauan agar anggota Polri tak bermewah-mewah dan bergaya hidup hedonis sehingga bisa menimbulkan kecemburuan sosial.
Selain larangan konsumerisme, aturan itu juga melarang anggota Polri memamerkan barang mewah di tengah kehidupannya sehari-hari, saat berdinas, di area publik ataupun di media sosial. Mereka diharapkan hidup sederhana menyesuaikan kondisi lingkungan tempat tinggalnya.
Aturan ini dibuat sebagai rangkaian dari reformasi mental untuk menjauhi pelanggaran serta mewujudkan Polri yang lebih dekat dan dicintai masyarakat. Sanksi tegas akan dikenakan baik terhadap anggota maupun keluarganya jika melanggar.
Pemberlakuan aturan ini cukup menarik karena jarang ada penegasan terkait gaya hidup aparatur pemerintah, apalagi terkait keamanan. Jajak pendapat Kompas menyoroti hal itu dan menemukan hasilnya, publik sangat mendukung langkah Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis. Mayoritas responden (91,2 persen) menyatakan perintah berpola hidup sederhana bagi internal Polri dalam praktik hidup bermasyarakat perlu diterapkan.
Anjuran bagi anggota Polri berpola hidup sederhana menjadi poin yang memiliki urgensi paling tinggi.
Meski demikian, soal larangan memakai barang mewah dalam kehidupan sehari-hari responden terbelah. Separuh responden (50,4 persen) menyatakan hal itu perlu diterapkan, tetapi separuhnya (46,7 persen) menilai tak perlu. Hasil yang mirip juga terlihat pada poin aturan yang membatasi istri anggota polisi memperlihatkan gaya hidup mewah.
Publik juga tak sepenuhnya menganggap perlu aturan yang melarang mengunggah foto atau video ke media sosial, dengan hanya 38,3 persen yang setuju aturan tersebut.
Baca Juga: Wawancara Keluarga Calon Kapolri Idham Azis, Komisi III DPR Ingin Tahu Hal-hal Pribadi Idham
Dengan demikian, anjuran bagi anggota Polri berpola hidup sederhana menjadi poin yang memiliki urgensi paling tinggi. Sementara aturan yang bersifat personal, seperti unggahan di media sosial, memiliki tingkat urgensi lebih rendah.
Telegram tersebut tak merinci hukuman apa yang dikenakan bagi pelanggar. Padahal, sebagian besar publik (83,7 persen) menilai aturan yang berisi sanksi pada anggota yang melanggar sangat diperlukan.
Persinggungan
Perbedaan pendapat publik menanggapi aturan baru di kepolisian dapat dilatarbelakangi oleh pengalaman publik bersentuhan dengan keseharian anggota polisi. Dari sisi pengalaman responden, keluarga anggota Polri selama ini dinilai cukup terbuka dan dekat dengan masyarakat (47,3 persen).
Separuh lebih responden (58,6 persen) juga mengatakan tidak pernah melihat personel atau keluarga polisi memamerkan gaya hidup mewah. Sementara itu, 40,4 persen responden yang menyatakan pernah melihat personel atau keluarga polisi memamerkan gaya hidup mewah.
Dari kelompok responden ini, sebagian besar melihat gaya hidup itu di acara seperti arisan, kumpul keluarga atau acara di lingkungan. Hanya 7,3 persen responden yang melihat paparan narsisisme anggota kepolisian di media sosial.
Bagi responden yang menyatakan pernah melihat personel Polri yang pamer kemewahan, 61 persen menyatakan bahwa rumah dan kendaraan merupakan barang yang paling sering dipamerkan. Sementara 23,9 persen responden lainnya mengingat perhiasan atau gawai baru sebagai bahan pamer.
Selain dua kelompok barang tersebut, bentuk lain yang ditunjukkan, misalnya lokasi berwisata, jabatan, kegiatan sosial, dan acara ulang tahun anak.
Mewah
Reaksi responden yang beragam terkait barang mewah tak bisa dimungkiri. Setiap kelas ekonomi memiliki definisinya sendiri tentang apa itu barang mewah. Dilihat dari kacamata hukum, menurut Peraturan Kapolri No 10 Tahun 2017 tentang Kepemilikan Barang yang Tergolong Mewah oleh Pegawai Negeri pada Polri, yang dianggap barang mewah adalah alat transportasi pribadi yang harganya melebihi Rp 450 juta atau tanah dan bangunan pribadi yang harganya melebihi Rp 1 miliar.
Aturan tersebut menyebutkan pegawai negeri atau polisi yang memiliki barang mewah diharapkan untuk melaporkan pada divisi Profesi dan Pengamanan (Propram). Memang, dalam aturan itu tak ada larangan memiliki barang mewah, tetapi hanya sebatas imbauan untuk melapor dan tak membawanya saat dinas. Meski demikian, hingga saat ini, belum ada aturan tegas yang menindaklanjuti pelanggaran kepemilikan barang mewah yang tak dilaporkan atau dipakai saat dinas.
Baca Juga: Hidup Sederhana, Antikorupsi
Sebagai pejabat publik, orang yang berprofesi sebagai polisi akan selalu menjadi sorotan publik. Misalnya saja, publik akan mengukur kepemilikan barang dari besaran gaji yang diterima anggota kepolisian.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Belas Atas PP No. 29 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota Polri, secara umum gaji tamtama berkisar Rp 1,6-1,9 juta, bintara berkisar Rp 2,1 juta-Rp 2,4 juta, perwira pertama berkisar dari Rp 2,7 juta-Rp 2,9 juta, perwira menengah Rp 3 juta-Rp 3,3 juta, dan perwira tinggi sebesar Rp 3,4 juta. Jumlah tersebut di luar tunjangan yang juga diterima setiap bulan.
Melalui parameter tersebut, publik dapat mengira-ngira gaya hidup yang bisa dicapai anggota kepolisian. Meski demikian, perkiraan tersebut bisa saja meleset karena pertimbangan lain, misalnya saja kepemilikan harta warisan, gaji atau perolehan dari pasangan, dan hibah. Polisi juga diharapkan mengikuti Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2017 tentang Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara untuk memperbaharui status kepemilikan harta.
Proyek sampingan
Menanggapi isu terkait kapolda dan kapolres yang meminta proyek dan ”jatah” pada kepala daerah, Idham Azis, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen pada Rabu (20/11/2019), berjanji menindak tegas pimpinan satuan kewilayahan Polri yang mengganggu kinerja kepala daerah saat membangun (Kompas, 21/11).
Dari sisi aturan, dalam PP No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri pada Pasal 5 disebutkan, polisi dilarang bekerja sama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain. Anggota polisi juga dilarang memiliki saham/modal perusahaan yang kegiatan usahanya dalam lingkup kekuasaannya.
Publik pun menyatakan tak setuju jika polisi punya pekerjaan lain. Menurut mereka, pekerjaan di luar profesi dapat mengganggu profesionalitas (42,2 persen) dan dianggap tak etis (18,2 persen). Sementara sebagian responden lain (37,5 persen) menganggap sah-sah saja jika anggota polisi punya kerjaan sambilan.
Sebagai pelayan dan pengayom masyarakat, kinerja Polri akan selalu menjadi sorotan publik. Apalagi, citra kepolisian cukup baik di mata publik. Harapannya, aturan yang termuat di surat telegram tersebut dapat disosialisasikan hingga lingkup kerja terkecil di kepolisian, yang persinggungannya di antara keduanya justru paling sering terjadi.