Komersialisasi ruang budaya warisan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin itu diyakini akan meminggirkan, mengerdilkan dan bahkan “membunuh” kebudayaan itu sendiri.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan/Stefanus Ato/Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Komersialisasi ruang budaya warisan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin itu diyakini akan meminggirkan, mengerdilkan dan bahkan “membunuh” kebudayaan itu sendiri. Karena itu, sejumlah seniman menolak rencana pembangunan infrastruktur dan bisnis di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.
Rencana revitalisasi PKJ TIM disosialisasikan sejak Juli 2019 lalu oleh Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Dwi Wahyu Daryoto dalam acara Musyawarah Masyarakat Kesenian Jakarta, Rabu (17/7/2019). Revitalisasi PKJ TIM akan dikombinasikan dengan desain revitalisasi TIM karya arsitek Andra Matin yang menang sayembara pada tahun 2007.
Dalam paparannya, TIM akan dibangun sebagai pusat kesenian bertaraf internasional dengan pengelolaan secara mandiri dan berkesinambungan. Karena berkonsep mandiri dan berkesinambungan dalam pengelolaan, maka infrastruktur yang dibangun di kompleks PKJ TIM akan dikomersialkan, antara lain hotel berbintang lima dan galeri seni.
Gagasan itu kembali muncul dalam diskusi “PKJ TIM Mau Dibawa ke Mana?” yang digelar, Rabu (20/11/2019) lalu di TIM. Acara itu dihadiri Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Dadang Solihin yang dikecam banyak seniman karena ucapannya saat diskusi menyulut emosi para seniman.
“Jangan sampai pemerintah memaksakan kehendak dan kepentingannya atas kerja kesenian dan kebudayaan semata-mata untuk keuntungan politik atau keuntungan finansial,” kata Budayawan Radhar Panca Dahana, Minggu (24/11/2019) di Jakarta.
Menurut Radhar, kerja kebudayaan jangan dianggap sebagai cost (biaya), tetapi harus dilihat sebagai investasi immaterial untuk membangun manusia yang tanggung, berintegritas, antikorup, dan toleran yang hasilnya baru bisa dipetik beberapa puluh tahun ke depan. Sebab, kebudayaan merupakan bangunan peradaban, bukan bangunan gedung. Karena itu, cara pandang kebudayaan yang keliru akan meminggirkan, menghina, dan bahkan membunuh kebudayaan itu sendiri.
Radhar mencontohkan bagaimana dalam video desain revitalisasi PKJ TIM, Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin hanya diberi tempat semacam selasar, tidak disiapkan gedung khusus. Semestinya, dengan koleksi dokumentasi yang banyak, warisan luar biasa HB Jassin untuk Indonesia tersebut diberi tempat yang layak. Kalau perlu, Pemprov DKI juga bisa menyiapkan anggaran kepada PDS HB Jassin untuk menambah koleksi dari dalam dan luar negeri agar referensi para pengarang-pengarang muda semakin kaya.
Pernyataan Cikini
Diskusi “PKJ TIM Mau Dibawa ke Mana?” di TIM, Rabu (20/11/2019) lalu berlangsung memanas saat Dadang berulang-ulang melontarkan pertanyaan, “Mau tidak berdiskusi?” dengan nada keras di hadapan hadirin. Mendengar hal tersebut, para seniman protes keras dan kecaman. “Gak bisa pejabat kayak anda seperti itu? Jangan ancam-ancam, ini bukan zaman Orde Baru ya,” ucap peserta diskusi.
Dadang sendiri membantah kalau saat diskusi berlangsung penjelasannya tentang konsep revitalisasi TIM disampaikan dengan nada kasar. “Saya juga lagi batuk dan serak. Itu saya bilang diskusi ini mau dilanjutin enggak. Habis, itu kami ketawa bercanda,” katanya.
Setelah diskusi berlangsung memanas, beberapa seniman mengeluarkan “Pernyataan Cikini” yang dibacakan Radhar. Isi “Pernyataan Cikini” itu pertama menolak pelibatan Jakpro dalam mengurus atau mengembangkan seluruh fasilitas/isi kompleks TIM, kedua menolak jika revitalisasi dalam bentuk apa pun tidak melibatkan secara langsung pendapat dan atau kerja para seniman dan seniwati yang ada di dalamnya.
Ketiga, menolak upaya pembangunan dalam ruang kebudayaan yang luas, termasuk membangun manusia unggul, tanpa pemahaman komprehensif dari pemerintah serta melakukan sosialisasi di kalangan masyarakat yang lebih adekuat tentang makna kebudayaan yang sebenarnya.
Pegiat seni Imam Maarif masa Gubernur DKI Ali Sadikin, pengelolaan PKJ-TIM diserahkan sepenuhnya kepada para seniman. Seniman juga diberi kebebasan menentukan bentuk dan jenis kesenian yang mau dihadirkan dan Pemprov DKI Jakarta hanya memberikan dana yang dibutuhkan seniman. Kebijakan itu diperkuat melalui Surat Keputusan Gubernur Jakarta tanggal 7 Juni 1968 – no. 1b.3/2/19/1968 yang menyebutkan dua jenis kegiatan yang dikembangkan di sana hanya seni kreatif dan seni hiburan.
Namun, Imam melanjutkan, kebijakan Gubernur Ali Sadikin yang pro seniman tampaknya bertolak belakang dengan kebijakan Gubernur Anies Baswedan. Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 ini akan menempatkan seni hiburan jadi prioritas dan seni kreatif jadi pelengkap. Indikasi itu terlihat dari penyerahan mandat pengelolaan PKJ-TIM selama 30 tahun kepada Jakpro, badan usaha milik daerah yang tidak terkait kehidupan kreativitas seni.
Gubernur menyerahkan pengelolaan kepada Jakpro karena selama ini PKJ-TIM dianggap sebagai “cost center” atau pusat pengeluaran bagi Pemprov. Selanjutnya, untuk membiayai operasional selama 30 tahun kontrak dan mengembalikan penyertaan modal pembangunan revitalisasi fisik PKJ-TIM Rp 1,8 triliun, Jakpro merencanakan membangun hotel bintang lima dan bisnis lain di lingkungan PKJ TIM.