Presiden Joko Widodo melibatkan generasi milenial dalam pemerintahan. Pekan lalu, tujuh anak muda dari generasi Y diangkat sebagai staf khusus.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Beberapa hari lalu Presiden Joko Widodo menunjuk staf khusus dari generasi milenial. Penunjukan ini sangat menarik karena mereka memiliki latar belakang bisnis dan wirausaha sosial. Sudah tentu, Presiden berharap mereka memiliki ide-ide brilian dalam menerjemahkan kebijakan pemerintah, terutama untuk generasi mereka dan masyarakat lebih luas. Akan tetapi, hal yang lebih menarik, milenial umumnya cenderung tidak suka alur kerja birokratis. Namun, kini mereka ada dan memegang jabatan di birokrasi. Bagaimana mereka bisa banyak berperan dalam pemerintahan ini?
Kata milenial muncul pada 1987. Sebutan ini untuk mereka yang bakal memasuki kampus pada sekitar tahun 2000. Saat itu disebutkan, ciri-ciri mereka—antara lain—idealis, tidak menyukai ambiguitas, ingin mencapai karier tinggi, sekaligus ingin membantu orang lain. Sebagian perkiraan itu terbukti benar. Kini mereka ada di berbagai bidang pekerjaan dan di organisasi dengan porsi berkisar 60-80 persen.
Keberadaan milenial atau generasi Y di dalam birokrasi pernah dibahas beberapa lembaga. Melalui studi Deloitte, ”Understanding Millennials in Government”, sejak awal sudah dibahas mengenai kebingungan milenial di dalam organisasi pemerintah. Malahan, organisasi pemerintah tak terlalu menarik bagi kelompok yang lahir setelah 1980. Di Amerika Serikat, jumlah mereka hanya sekitar 24,5 persen dari tenaga kerja di lembaga pemerintahan, sangat kecil dibandingkan dengan milenial di lembaga swasta, yaitu 33,7 persen.
Salah satu hal yang membuat milenial tidak tertarik dengan birokrasi adalah perekrutan oleh pemerintah yang mereka pandang memiliki banyak halangan dibandingkan dengan swasta. Milenial memiliki banyak pilihan kerja daripada generasi sebelumnya. Maka, mencari pekerjaan dan memasuki dunia bekerja tak lagi menakutkan sehingga mereka lebih memilih bekerja di swasta.
Kita bisa membayangkan, tak mudah membawa milenial ke dalam birokrasi. Meski demikian, Presiden Joko Widodo memiliki perhitungan sendiri dalam memasukkan kaum milenial ke dalam organisasinya. Kalangan peneliti juga sudah memahami berbagai kesulitan yang akan dialami milenial dan pendahulunya ketika mereka berinteraksi di dalam pemerintahan. Mereka menyadari, tak mudah mengajak langsung milenial ke dalam birokrasi yang sedang berjalan.
Masih dari penelitian Deloitte, mereka menyarankan tiga pendekatan agar relasi milenial di dalam pemerintahan bisa mulus. Pertama, pemerintah perlu terbuka dengan data, misalnya bagian yang bisa dikerjakan milenial dan yang tidak bisa. Kedua, pemerintah perlu menawarkan jaminan yang menarik bagi generasi ini. Ketiga, pemerintah perlu menjamin manfaat bagi mereka melalui program yang dijalankan. Oleh karena itu, perekrutan staf khusus akan menjadi efektif saat ketiganya mendapat perhatian.
Sangat disayangkan jika perekrutan staf khusus milenial tidak dirancang dengan benar. Mereka akan bosan dan merasa tidak bermanfaat sehingga memilih keluar dari birokrasi. Apalagi, jika perekrutan ini hanya sekadar langkah politik tertentu. Jika ini yang terjadi, keberadaan milenial akan mubazir dan sekadar jadi kembang di dalam perpolitikan nasional.
Kalau mereka tidak mendapat peran yang cukup, mereka tak bakal mengubah keadaan. Perlu disediakan ruang-ruang baru yang memungkinkan ide dan langkah mereka diakomodasi. Keterlibatan generasi milenial mungkin bisa membenahi dan menerobos birokrasi yang selama ini dikenal tidak efisien dan tidak produktif.
Sebenarnya, pemerintah cukup bekerja dengan mendengarkan suara mereka. Pengalaman di dunia bisnis dan sosial membuat mereka peka dengan keadaan serta mampu mencari solusi dalam memecahkan persoalan. Hal ini sesuai dengan cara dan model bisnis baru, yakni mereka harus mendengarkan suara konsumen.
Selama ini mereka telah membuat perubahan. Apabila pemerintah ingin membuat perubahan lebih besar, peran mereka perlu diperbanyak. Selain itu, Presiden mesti lebih banyak mendengar pendapat generasi yang berprestasi bukan dari sistem indoktrinasi dan birokrasi yang ruwet. Oleh karena itu, jika mereka bisa berperan lebih besar, kita yakin perubahan besar bakal terjadi. (ANDREAS MARYOTO)