Memahami Anak Jalanan
Sampai saat ini keberadaan anak jalanan masih menjadi persoalan sosial yang belum terselesaikan. Kemiskinan disinyalir menjadi faktor pendorong. Terpenting, apapun status sosialnya hak anak tetap wajib dipenuhi.
Secara garis besar siapa saja yang disebut anak jalanan terbagi menjadi tiga kelompok, yakni anak-anak yang rentan menjadi anak jalanan (children at high-risk to be street children), anak yang bekerja di jalanan (children on the street), dan anak yang menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk hidup dan tinggal di jalanan (children of the street).
Anak yang rentan menjadi anak jalanan dan yang bekerja di jalanan pada umumnya masih tinggal bersama orang tua meski dalam keadaan ekonomi yang tergolong miskin. Kondisi keluarga yang serba kekurangan ini lah yang membuat anak-anak mereka rentan untuk turun ke jalan maupun terpaksa bekerja di jalanan.
Sebanyak 58,8 persen responden menjawab perlu perhatian jika mendengar kata ‘anak jalanan’.
Hasil jajak pendapat Kompas menggambarkan apa yang pertama kali terlintas di pikiran responden ketika mendengar kata ‘anak jalanan’. Sebanyak 58,8 persen responden menjawab perlu perhatian jika mendengar kata ‘anak jalanan’. Selanjutnya adalah ungkapan kasihan yang dilontarkan oleh 21,2 persen responden.
Lontaran ‘perlu perhatian’ dan ‘kasihan’ terhadap anak jalanan tersebut berkonotasi positif. Sayangnya, meski jumlahnya terbilang sedikit, masih ada sejumlah lontaran responden yang berkonotasi negatif terkait anak jalanan, seperti nakal, miskin, dan kotor.
Kondisi Anak Jalanan
Hasil jajak pendapat menunjukkan 68 persen responden mengaku di daerahnya terdapat anak jalanan. Menurut data dari Kementerian Sosial jumlah anak jalanan di Indonesia memang menurun setiap tahunnya. Akan tetapi, jumlahnya masih terbilang besar.
Pada tahun 2015 terdapat 33.400 anak jalanan di Indonesia. Jumlahnya berkurang lebih dari separuh di tahun 2018 dengan tersisa 12.000 anak jalanan. Angka ini menyebar di sejumlah wilayah di Indonesia.
Berdasarkan data dari Kemensos tahun 2017 diketahui Jawa Barat adalah wilayah dengan jumlah anak jalanan tertinggi. Meski mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2016 (5.849 anak) ke tahun 2017 (2.953 anak), jumlahnya tetap menjadi yang tertinggi di Indonesia.
Menurut data dari Kementerian Sosial jumlah anak jalanan di Indonesia memang menurun setiap tahunnya. Akan tetapi, jumlahnya masih terbilang besar.
Penurunan jumlah anak jalanan juga terjadi di sejumlah provinsi di Indonesia yakni Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Bengkulu.
NTT menjadi salah satu provinsi dengan penurunan anak jalanan yang cukup signifikan yakni dari 600 anak di 2016 menjadi 147 anak di tahun 2017. Komitmen pemerintah provinsi untuk mengentaskan anak jalanan terlihat dengan dibentuknya Perda Nomor 7 tahun 2012 tentang Perlindungan Anak dan Perda Nomor 9 tahun 2012 tentang Perlindungan Anak yang Bekerja.
Dalam perda terkait perlindungan anak bekerja mengatur jenis-jenis dan prasyarat pekerja anak serta perlindungannya. Pemerintah provinsi NTT memandang pekerja anak sering ada pada lingkungan keluarga dengan kondisi ekonomi rendah. Hal ini lah yang membuat anak-anak terjun ke dunia kerja baik di jalanan maupun di sektor lain.
Di sisi lain, terdapat pula provinsi dengan jumlah anak jalanan yang meningkat dari tahun 2016 ke 2017, yakni DKI Jakarta (2.750), Sumatera Barat (822), Banten (556), dan DI Yogyakarta (503).
Terkini menurut data Dinas Sosial DKI Jakarta di tahun 2019 terdapat 349 anak jalanan yang berada di dua Panti Sosial Asuhan Anak. Sedangkan di 22 rumah singgah tercatat 2.339 anak binaan yang separuhnya merupakan anak rentan menjadi anak jalanan atau biasa disebut anak miskin kota.
Kemensos telah mengeluarkan sejumlah program untuk menanggulangi anak jalanan, mulai dari bantuan tabungan hingga rehabilitasi sosial. Akan tetapi, persoalan sosial ini memang sulit diselesaikan. Lembaga lainnya seperti Kementerian Dalam Negeri juga berkomitmen untuk pembuatan akta kelahiran bagi anak jalanan sebagai bukti legal kependudukan.
Akhir November tahun 2018, DKI Jakarta termasuk salah satu dari 10 penerima penghargaan dari Kemensos karena berhasil menurunkan jumlah anak jalanan. Daerah lainnya yang juga mendapat penghargaan adalah kota-kota Surabaya, Yogyakarta, Serang, Semarang, Mataram, Padang, Bandar Lampung, dan Kupang.
Dasar dari penilaian ini adalah pertama, adanya regulasi pemerintah daerah kabupaten/kota terkait penanganan anak jalanan. Kedua, penurunan jumlah anak jalanan di daerah tersebut dengan lepasnya anak-anak dari kehidupan di jalanan.
Faktor Ekonomi
Hasil jajak pendapat juga menunjukkan sebanyak 46,6 persen responden menilai penyebab utama seorang anak menjadi anak jalanan karena persoalan ekonomi atau kemiskinan. Situasi ini memang menghambat anak-anak untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal. Dampaknya sangat besar terhadap tingkat pendidikan, kondisi kesehatan, dan psikososial.
Kemiskinan anak merupakan masalah multidimensional mengingat banyak faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi miskin. Kemiskinan menjadi salah satu faktor pendorong hadirnya anak jalanan. Tidak terpenuhinya kebutuhan anak membuat mereka harus ikut berjuang.
Berdasarkan data dari BPS di tahun 2018 terdapat 12,5 persen penduduk Indonesia berusia di bawah 18 tahun yang hidup di bawah kemiskinan. Angka ini lebih besar daripada mereka yang berusia di atas 18 tahun (8,77 persen). Hal ini menandakan bahwa jumlah anak-anak miskin lebih banyak dari orang dewasa miskin.
Menurut BPS, anak miskin adalah anak berusia 0-17 tahun yang tinggal di rumah tangga miskin, yaitu rumah tangga dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan. Apabila nilai rata-rata pengeluaran per kapita per bulan suatu rumah tangga berada di bawah garis kemiskinan, maka seluruh anggota keluarga dikategorikan penduduk miskin. Begitu juga jika ada yang berusia di bawah 18 tahun, merupakan anak miskin.
Data BPS juga menunjukkan anak miskin lebih banyak ditemukan dalam rumah tangga yang dikepalai perempuan, jumlah anggota rumah tangga lebih dari tujuh orang, dan kepala rumah tangga yang berpendidikan rendah.
Kemiskinan membuat hak-hak anak secara material, spiritual, dan emosional terampas. Hal ini menjadi penghambat terpenuhinya kebutuhan mereka untuk tumbuh dan berkembang, tidak dapat mencapai potensi diri, berpartisipasi secara penuh dan setara dalam lingkup sosial.
Nilla Sari Dewi, peneliti persoalan anak, menyatakan bahwa faktor pendorong untuk turun ke jalan dan faktor penarik dari jalanan itu sendiri sama kuatnya.
Meski demikian, terdapat juga faktor penarik dari jalanan itu sendiri. Misalnya keinginan anak untuk berkumpul dengan teman-teman mereka atau menyalurkan minat di jalanan. Nilla Sari Dewi, peneliti persoalan anak, menyatakan bahwa faktor pendorong untuk turun ke jalan dan faktor penarik dari jalanan itu sendiri sama kuatnya. Di lapangan, pernah ditemukan kasus anak dari keluarga mampu menjadi anak jalanan karena pengaruh pertemanan.
Pada akhirnya perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Setiap anak apapun status sosialnya berhak untuk tumbuh dan berkembang. Lantas sudahkah kita bersikap baik terhadap anak jalanan yang kita temui? (Litbang Kompas/Ida Ayu Grhamtika Saitya)