Memahami Singapura
Singapura adalah negara yang menyadari bahwa mereka terbatas. Namun, kesadaran itulah yang mendorong mereka berinovasi dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki.
Gardens by the Bay rasanya menjadi salah satu lokasi yang pasti didatangi oleh siapa pun yang berkunjung ke Singapura. Di sinilah kita dapat menemukan ”keajaiban”. Tanaman kaktus yang hidup di padang pasir atau bunga indah yang hanya tumbuh di kawasan Laut Tengah (Mediterania) dapat ditemui di Gardens by the Bay.
Padahal, berada tidak jauh dari garis khatulistiwa, Singapura adalah negara tropis yang memiliki suhu bisa mencapai 35 derajat celsius dan kelembaban udara menembus lebih dari 80 persen. Dengan kondisi ini, secara alamiah hampir tak mungkin tanaman khas wilayah iklim mediterania tumbuh di Singapura.
Namun, inilah keajaiban Gardens by the Bay. Tumbuhan dari lima benua tersedia. Dengan sistem pendingin udara di dalam kubah besar—menyerupai rumah kaca raksasa—apa pun tersedia, termasuk bunga indah yang hanya ditemukan di tepi Laut Tengah.
Selain menyediakan rumah kaca raksasa beriklim kering dan sejuk, Gardens by the Bay juga menyediakan kubah besar yang disetel beriklim khas dataran tinggi di wilayah tropis: dingin dan basah. Rasa segarnya seperti saat kita berada di Gunung Pangrango, Jawa Barat. Di dalam kubah raksasa itu ada juga tiruan air terjun.
”Apa pun bisa dibuat oleh Singapura,” kata seorang teman saat kami bersama-sama mengunjungi Gardens by The Bay hampir dua pekan silam. Dengan kata lain, meski tidak memiliki gunung, dataran tinggi, dan air terjun besar yang alami, Singapura tetap bisa menyajikannya kepada turis. Tentu semuanya adalah buatan manusia.
Apa pun bisa dibuat oleh Singapura.
Sadar diri
Kemampuan Singapura untuk ”meniru” ini didorong oleh kesadaran pemimpin dan rakyatnya bahwa negara itu tidak memiliki sumber serta kekayaan alam yang memadai. Namun, tak cukup hanya sadar, mereka juga berikhtiar dan bekerja keras agar bisa menghadirkan sesuatu yang tidak mereka miliki: bentang alam beserta iklim khasnya, termasuk flora yang mengisinya.
Kesadaran akan keterbatasan yang melingkupi Singapura juga sangat dirasakan oleh Perdana Menteri pertama Lee Kuan Yew saat memimpin Singapura yang baru merdeka pada 9 Agustus 1965.
Dalam buku From Third World to First World, Lee mengatakan, meski memiliki pelabuhan strategis dan ramai, Singapura tak mempunyai daerah pedalaman (hinterland). Mereka pun tak mempunyai sumber daya alam yang bisa dibawa ke pelabuhan untuk diekspor. Peran Singapura ialah tempat transit komoditas alam yang mungkin dibeli dari pedalaman di Indonesia untuk kemudian diangkut ke Eropa.
”...Bagaimana membuat penghidupan bagi rakyat kami? Indonesia sedang berkonfrontasi dengan kami dan perdagangan macet. Malaysia ingin mengabaikan Singapura dan hendak berhubungan langsung dengan seluruh mitra dagang, importir, serta eksportir, dan hanya ingin melalui pelabuhan mereka sendiri. Bagaimana Singapura yang merdeka bisa bertahan jika tidak lagi menjadi pusat dari area lebih luas yang dulu diperintah Inggris sebagai satu kesatuan?” ungkap Lee dalam buku itu.
Saat masih baru berdiri sebagai negara merdeka, Singapura juga mendapati Inggris memiliki rencana menarik semua kekuatan militer dari negara itu awal 1970-an. Rencana ini membuat Singapura yang baru merdeka kebingungan mencari sumber pendapatan baru. Pengeluaran militer Inggris di Singapura merupakan pemasukan berharga, konon mencapai 20 persen produk domestik bruto Singapura.
Tantangan nyata yang juga dihadapi Singapura saat baru merdeka adalah angka pengangguran yang tinggi. Seperti diungkapkan Lee, angka pengangguran saat itu mencapai 14 persen dan terus meningkat. Singapura memilih industrialisasi untuk membangun negara. Investor dari berbagai negara diundang untuk membangun pabrik. Disertai dengan perencanaan dan eksekusi yang baik, langkah itu berhasil. Jasa dan perdagangan pun berkembang pesat. Tanpa kekayaan alam, mereka mampu menjadi kekuatan ekonomi penting.
Pada 2018, pendapatan per kapita Singapura ialah 87.108 dollar Singapura (63.843 dollar Amerika Serikat) atau lebih kurang Rp 899,4 juta. Pada 1960-an, angka itu adalah 1.310 dollar Singapura. Adapun Indonesia pada 2018 memiliki pendapatan per kapita 3.870 dollar AS. Tingkat pengangguran di Singapura pada tahun lalu adalah 2,1 persen. Selain itu, 91 persen penduduk
Singapura memiliki kediaman sendiri dan 100 persen warganya mempunyai akses ke air bersih. Singapura menyadari mereka tidak bisa apa-apa jika menjadi negara tertutup. Mereka harus membuka diri, berdagang dengan banyak negara, banyak pihak. Dengan penduduk sekitar 5 juta orang dan hampir tak memiliki kekayaan alam, sulit bagi mereka untuk membangun tanpa membuka diri selebar-lebarnya.
Semangat untuk membuka diri dan menjalin hubungan seerat mungkin dengan dunia luar merupakan kekhasan masyarakat Singapura sejak lama. The History of Singapore (Jean E Abshire) menyebutkan, ada bukti bahwa Singapura pada abad ketujuh telah memainkan peran di bidang diplomasi sebagai tempat pertemuan para pedagang, belum sebagai pelabuhan. Di era Kerajaan Sriwijaya ini, Asia Tenggara merupakan perlintasan penting perdagangan serta relasi antara India dan China.
Indonesia yang sejahtera, stabil, dan berkembang baik akan berdampak positif pula bagi Singapura.
Gambaran tentang perjalanan Singapura sejak milenium pertama hingga era modern tergambar baik di Bicentennial Experience, di Fort Canning, Singapura. Bicentennial Experience dibangun dalam rangka peringatan 200 tahun kedatangan Inggris di Singapura (tahun 1819).
Kehadiran Inggris pada tahun itu penting karena menandai kelahiran Singapura sebagai pelabuhan besar dan penting. Kemakmuran di wilayah ini membuat warga berdatangan dari berbagai penjuru untuk berdagang dan menetap. Warga China selatan dan India termasuk bagian dari gelombang migrasi yang menetap di Singapura.
Saat ini, ada tiga etnis terbesar di Singapura, yakni China (lebih dari 70 persen), Melayu (lebih kurang 13 persen), dan India (lebih kurang 9 persen). Singapura pun berupaya keras mengelola keberagaman agar tak menjadi faktor pemecah. Di setiap blok apartemen, misalnya, harus ada kehadiran tiga etnis itu. Singapura tak ingin ada kantong etnis tertentu. Di bidang politik, diterapkan model yang memastikan grup sejumlah anggota parlemen yang terpilih meliputi setidaknya satu orang etnis minoritas.
Dengan merunut sejarah Singapura yang mau tak mau selalu terbuka dan terhubung dengan dunia luar agar dapat berkembang, dapat dipahami mereka pun merasa harus selalu terhubung dengan Indonesia.
Keterhubungan ini, seperti disampaikan pejabat tinggi negara itu kepada para wartawan Indonesia yang berkunjung ke Singapura, dua pekan silam, membuat mereka menginginkan Indonesia terus aman, stabil, dan makmur. Indonesia yang sejahtera, stabil, dan berkembang baik akan berdampak positif pula bagi Singapura.
Dua negara tetangga ini tentu memiliki berbagai isu yang masih harus dibicarakan bersama. Namun, dengan menyadari posisi masing-masing serta rasa saling percaya satu sama lain, masalah apa pun akan dapat diatasi oleh Indonesia dan Singapura.